webnovel

Pengakuan yang konyol

Khanza sedang berusaha menahan diri dan melawan pak Gibran yang memaksa ingin bertemu ibu nya di lorong sebelah, ketika masih sedang berbelanja.

"Dimana? Dimana ibumu, Za?" Tanya pak Gibran lagi.

"Di, di sebelah. Tapi untuk apa? Tidak sekarang, jika ingin mengenal ibu ku." jawab Khanza cetus.

"Memangnya kenapa? Bukan kah aku adalah guru di sekolahmu?"

"Guru???" Khanza terhentak dengan hatinya yang bergetar hebat. Ia bertanya-tanya, apakah selama ini ia hanya di anggap sebagai murid biasa?

"Yah, kau hanya guruku." ujar Khanza lagi dengan wajah menunduk.

"Ya ampun, ternyata disini. Ibu mencarimu, ibu pikir kau sudah pulang lebih dulu."

Dan akhirnya pun, ibu Khanza muncul tiba-tiba di hadapan Khanza dan pak Gibran. Sontak saja Khanza gugup dan terkejut di sela hatinya yang sedang mempersiapkan diri.

"E,eh.. Bu, aku..."

Khanza kebingungan menjawabnya, ketika sang ibu sudah menatap wajah pak Gibran dengan penuh tanda tanya.

"Halo, bu. Saya Gibran, guru sekaligus wali kelas Khanza di sekolah."

Kini pak Gibran sudah menyapa ibu Khanza, melangkah maju dan berdiri tepat di hadapan Khanza.

"Oh, halo. Pak guru, saya ibunya Khanza. Senang bisa bertemu langsung, wah.. Masih muda ya, tampan, terlihat sangat wibawa."

"Bu..." panggil Khanza dengan lirih.

"Eh, hehe. Maafkan ibu, hihi. Kenapa kau tidak pernah bercerita pada ibu, jika memiliki guru yang tampan begini di kelas. Pantas saja, kau selalu terburu-buru untuk segera pergi ke sekolah setiap pagi. Kadang kau malah sampai salah lihat jam dinding."

"Apakah sungguh begitu?" tanya pak Gibran dengan sumringah.

"Benar, ternyata karena semangat bertemu guru tampan ya. Hahaha, aduh maaf. Hanya bercanda, jangan di ambil hati ya pak guru. Biasa, ibu-ibu." ujar ibu Khanza dengan tertawa kecil.

"Bu, jangan genit deh. Apaan sih, aku tidak pernah segila itu. Aku selalu semangat pagi ke sekolah karena untuk... Untuk belajar." Bantah Khanza dengan cemberut.

"Bu, anak ibu selain pintar di sekolah dia juga sangat cantik dan lucu. Ehm, ibu sudah selesai berbelanja?" sapa pak Gibran lagi pada ibu Khanza.

Ibu Khanza sedikit terperangah ketika pak Gibran memuji Khanza tak biasa, dia melirik puterinya itu lalu menatap pak Gibran kembali. Sedangkan Khanza masih menahan kegelisahannya seraya meremas jari jemarinya sendiri.

"E,eh.. Oh, ya. Sudah, ini.. Ehm, ibu belanja bahan di dapur dan untuk cemilan dirumah. Karena Khanza dan kakaknya sangat suka nyemil, heh." jawab ibu Khanza kemudian.

"Oh, jika begitu tambah saja belajanya bu. Biar saya yang membayarnya sekalian, ayo dipilih saja. Ayo, Za. Pilih saja mana cemilan yang kamu suka,"

Jawaban pak Gibran tentu saja mengundang tanya yang semakin dalam di benak ibu Khanza. Rasanya sedikit aneh jika hanya seorang guru di sekolah puterinya sangat perhatian dan peduli begitu.

"Eh, tidak usah pak guru. Ini sudah cukup, saya jadi tidak enak." jawab ibu Khanza sembari menoleh ke arah Khanza.

"Huh, ibu. Ambil saja, ada rejeki nomplok jangan di tolak. Jika perlu kita beli saja semua yang ada di toko ini. Dia tetap akan mampu membayarnya, ibu jangan khawatir." Jawab Khanza kali ini dengan lantang.

"Hei, pelankan suaramu di depan gurumu saat ini, bikin malu saja." bentak ibu nya dengan setengah berbisik.

"Gapapa, bu. Sudah biasa, Khanza memang suka galak begitu di sekolah. Hihi, tapi dia tetap manis kok."

"E,eh.. Haha, iya nih. Anak ibu sedikit tomboy, jadi harap maklum ya pak guru. Jika dia jadi sedikit galak, dan jauh dari kata anggun sebagai perempuan."

Pak Gibran hanya tersenyum tipis menanggapi, lantas pada akhirnya Khanza dan ibunya memilih banyak bahan makanan serta berbagai macam cemilan snack ringan untuk jatah satu minggu. Dan itu semua pak Gibran yang membayarnya di kasir toko tersebut.

*****

"Wah, kami jadi tidak enak. Sudah di traktir sebanyak ini oleh pak guru, semoga tidak kapok ya pak. Maaf, Khanza memang suka khilaf soal makanan ringan, begitupun kakak nya." ujar ibu Khanza mengucapkan terimakasih setelah tiba diluar toko tersebut. Mereka sudah hendak pulang kerumah masing-masing.

Khanza masih saja cemberut, walau sejak tadi sangat jelas terbaca oleh ibu nya jika sejak tadi dia sedang kesal. Terlebih bila pak Gibran mengajaknya bicara.

"Tidak perlu sungkan, ibu Khanza. Kebetulan saja saya membawa uang lebih, jadi saya beli ini semua untuk ibu sekeluarga." Jawab pak Gibran dengan senyuman ramah.

Huh, rupanya mau merayu ibu ku juga. Pikir Khanza dalam hatinya. Tanpa mau mengeluarkan suara lagi.

"Baiklah, sekali lagi terimakasih pak guru. Senang bisa bertemu dengan anda, jika ada waktu luang singgahlah kerumah kami, ya."

"Oh, apakah boleh?" tanya pak Gibran dengan mata melotot.

"Oh tentu boleh dong, mengapa tidak? Bisa juga sembari mengajari Khanza pelajaran di sekolah."

Mendengar jawaban itu, pak Gibran menundukkan wajah nya yang memerah. Dia tersipu malu dan berpikir liar sesaat.

"Dih, ibu. Apaan sih, jangan mengajaknya kerumah. Dia akan terkejut melihat kondisi rumah kita yang sudah hampir saja roboh."

"Hust.. Kamu ini." bentak ibu Khanza.

"E,eh.. Gappa, nanti lain waktu saya akan datang berkunjung." Jawab pak Gibran lagi.

"Hehe, maafkan puteri saya pak guru. Baiklah, saya harus pulang. Hati-hati di jalan saat akan pulang nanti." ucap ibu Khanza membungkukkan setengah badannya sebagai tanda terimakasih yang kesekian kali.

"Oh, ya. Baiklah, bu. Hati-hati juga kalian, semoga lain kali bisa bertemu seperti ini." balas pak Gibran dengan santun dan hangat. Pak Gibran memandang wajah Khanza sejenak. Lalu tersenyum manis dengan tatapan lekat. Khanza menjadi tersipu malu akan sikap itu.

*****

Di tengah perjalanan, ibu Khanza sengaja melajukan motor bututnya dengan pelan. Khanza masih memeluknya di belakang dengan erat, tanpa suara. Dalam hatinya ada perasaan takut juga senang, sikap pak Gibran tadi membuat hatinya berbunga-bunga.

"Za, tidur?" tanya ibu Khanza mengejutkannya dari lamunan.

"Eh, ibu. Apaan sih, bagaimana mungkin aku tertidur."

"Ibu hanya bertanya saja, kenapa kau marah begitu. Apakah karena pak guru tadi?"

"Aaakh, ibu. Jangan menggodaku,"

"Ibu tidak menggodamu, ibu hanya bertanya saja. Kau ini sensitif sekali, apakah sedang datang bulan?"

"Aaah, ibu. Sudah lah, jangan bicara lagi." cetus Khanza dengan kembali bersungut-sungut. Beruntung saja, ibu Khanza tidak melihatnya karena wajah Khanza menempel di punggung ibunya.

Hingga beberapa saat kemudian, tiba di rumah. Khanza tergesa-gesa segera memasuki kamarnya, ibunya yang sudah bisa membaca gerak gerik puterinya itu menahannya.

"Heh, mau kemana? Bantuin ibu, bawa ini ke dalam."

"Hem, baiklah." Jawab Khanza dengan membawa beberapa tas kantong belanja di tangannya.

"Za, ibu belum selesai bicara loh."

"Bu, aku lapar. Mending ibu masak buat makan malam, aku bantuin deh."

"Wah, ada maunya nih." goda ibu Khanza.

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Michella91creators' thoughts
Chapitre suivant