Rasa terbakar di tenggorokanku membuatku terbangun di tengah kegelapan. Kutarik selimut yang menutupi tubuhku lalu turun dari tempat tidur, walaupun hampir tidak ada cahaya yang menerangi tempat ini tapi aku masih bisa melihat dengan jelas.
Nick tidak ada di sebelahku. Sedikit rasa panik menyela rasa terbakar ini. Kutelan ludahku lalu berjalan ke arah pintu, mungkin Nick ada di ruang duduk. Apa aku akan meminum darahnya lagi? Ingatanku tentang rasa darahnya yang mengisi tenggorokanku beberapa jam lalu membuat rasa terbakar ini semakin parah, tapi sedetik kemudian rasa jijik mengikuti ingatan itu.
Darah Nick... tidak terasa seperti darah sama sekali. Rasanya seperti sesuatu paling nikmat yang pernah menyentuh lidahku. Mendengar denyut nadinya saat aliran darahnya yang kental dan hangat membasahi tenggorokanku, aku tidak pernah merasakan perasaan sebaik itu sebelumnya.
Tapi setelah aku selesai Nick terlihat menjaga jaraknya dariku, Ia bahkan berusaha menjauh dariku secepat mungkin. Apa Ia marah karena aku mengambil darahnya terlalu banyak? Kutelan ludahku lagi sebelum membuka kenop pintu di depanku. Ruang duduk di suite hotel ini menyatu dengan pantry kecil di sudut ruangan, rasa terbakar ini membuat instingku bergerak ke pantry lebih dulu. Kuambil gelas baru lalu mengisinya dengan air, tapi saat aku meminumnya rasanya seperti meminum seteguk pasir bukan air. Kumuntahkan seluruh air yang kuminum di wastafel lalu mengelap mulutku dengan jijik.
"Ah, Nick bilang kau baru akan bangun beberapa jam lagi."
Kubalikkan badanku ke sumber suara di belakangku dengan sangat cepat, nafasku hampir tertahan saat melihat siapa yang berdiri didepanku saat ini. Senyumannya membuat lesung pipi kanannya terlihat jelas, kedua mata birunya yang mirip dengan Nick membalas tatapan terkejutku.
"Greg?" suaraku yang serak hampir terdengar asing bagiku.
"Eleanor?" Balasnya dengan suara menyebalkannya yang sama dengan sebelumnya. Aku menatapnya selama satu menit penuh hingga Ia tertawa. "Aku bukan hantu, okay?"
Aku berjalan ke arahnya lalu mengangkat tumitku untuk melingkari kedua tanganku ke lehernya, "Kupikir... Kupikir kau—"
Greg membalas pelukanku sama eratnya, "Mati? Kau pikir aku selemah itu?"
Suara denyutan nadi di lehernya membuat pertanyaan yang akan keluar dari mulutku menghilang. Tanpa kusadari kedua taringku sudah memanjang lagi di sela bibirku yang berjarak beberapa senti dari lehernya.
"Whoa! Eleanor, tunggu sebentar." Greg melepas kedua tanganku dari lehernya lalu mendorongku menjauh, "Nick akan mendorongku terjun dari balkon hotel ini jika Ia tahu kau minum darahku!" Ia mengerutkan kedua alisnya dengan serius saat menatapku.
Tangan kananku bergerak untuk menutup mulutku, dengan panik kakiku melangkah mundur hingga pinggangku menabrak counter pantry.
"Aku tahu kau haus, Nick sudah memberitahuku." Ia berjalan mendekati salah satu lemari pantry lalu membukanya, "Dan sebagai kakak yang baik untukmu, aku membawakan Wine terbaik."
"Kakak?" gumamku masih dengan tangan kananku yang menutupi mulutku. Wine?
"Well, yeah. Secara teknis kau jauh lebih muda dariku, Eleanor. 200 tahun lebih muda tepatnya." Jawabnya sambil menuangkan cairan berwarna merah ke gelas Wine. Bau yang enak memenuhi ruangan ini dengan cepat, tapi aku berusaha menahan rasa lapar dan terbakar ini.
Kalimat Greg masih terngiang di dalam kepalaku. "Kau bukan kakakku."
Greg menutup botol Wine lalu menatapku dengan salah satu alisnya yang terangkat, "Yeah, sekarang aku kakakmu." Ia berhenti sejenak untuk mengendus sesuatu di udara lalu menatapku lagi, "Baumu sudah bercampur dengan Nick."
"Apa?" pertanyaanku sedikit teredam tanganku yang menutup mulutku. Aku masih belum bergerak dari tempatku sedikitpun.
"Hanya ada dua cara hingga bau kalian bercampur..." Greg terlihat canggung saat menatapku lagi, "Tidur dengannya atau kalian berbagi darah."
"Aku tidak tidur dengan Nick." Balasku dengan cepat, kurasakan wajahku mulai memanas dan untuk sepersekian detik aku melupakan rasa hausku. Kutatap Greg dengan marah lalu mengambil gelas berisi Wine di depannya, tegukan pertama terasa seperti surga bagiku. Kupejamkan kedua mataku saat menghabiskan segelas penuh Wine itu dalam dua detik. Walaupun rasanya tidak sehebat darah Nick, tapi Wine bercampur darah ini tidak terlalu buruk. Saat aku mendongak lagi Greg sedang menatapku dengan ekspresi tidak percaya.
"Nick membiarkanmu meminum darahnya?" suaranya terdengan serasi dengan ekspresi di wajahnya. "Nick...?"
Aku merasa dari ekspresi Greg saat ini, apa yang dilakukan Nick untukku tidak normal bagi para Volder.
"Nick membiarkanmu meminum darahnya..." ulang Greg lagi, kali ini dengan wajah cemberut.
"Apa... itu tidak normal?"
"Well, jika hanya memberikan darahnya sedikit untuk menyembuhkan luka itu normal. Tapi membiarkan seseorang meminum darahnya langsung... itu tidak normal, Eleanor." Pandangannya beralih pada gelas Wineku yang kosong lalu mengisinya lagi hingga penuh. "Pantas saja Ia sampai meminum darah dingin tadi." Gumamnya sambil menyerahkan gelasku.
Kuhabiskan seluruh isi gelasku dengan cepat lalu Greg mengisinya lagi. Rasa terbakar di tenggorokanku sudah menghilang tapi aku tidak bisa menolak satu gelas lagi, kali ini aku menyesapnya perlahan.
"Hey... Greg, apa yang terjadi setelah kecelakaan itu?" Ini adalah pertanyaan yang paling menggangguku selama ini, "Dan bagaimana bisa tidak ada yang mengingatnya?"
Greg menghela nafasnya lalu menggumam pada dirinya sendiri, "Aku tahu kau akan bertanya tentang itu."
"Aku tidak terlalu mengingatnya, Eleanor. Yang jelas saat aku terluka seseorang menolongku lalu menghubungi Sebastian dan Ludmilla, setelah itu Nick meminta bantuan beberapa Volder lainnya untuk menghapus seluruh ingatan orang-orang yang menyaksikan kecelakaan itu. Mereka membutuhkan dua hari penuh." Greg menarik kedua sudut mulutnya ke bawah lalu mengambil handphonenya yang bergetar dari saku jeansnya.
"Tapi kau—" kutelan ludahku sebelum melanjutkan, "Kukira kau sudah mati." Aku kembali membayangkan pandangan kosong di wajah Greg saat itu, dan potongan besi yang menancap di lehernya...
"Yeah, tapi aku hanya kehilangan kesadaran saat itu. Lalu seseorang memberiku darah sebelum keadaanku semakin parah."
Aku memandangnya dengan bingung, "Darah?"
"Darah Volder. Kau tahu darah kami sangat efektif untuk menyembuhkan. Saat aku terbangun lagi dua jam setelah kecelakaan itu aku bertanya siapa yang memberiku darahnya untuk berterimakasih, tapi tidak ada yang merasa memberikan darahnya untukku. Dan kau tahu, dengan luka separah itu aku membutuhkan cukup banyak darah Volder agar bisa sembuh secepat itu."
"Saat terbangun aku masih bisa merasakan darahnya mengalir di tubuhku. Aku bisa mendeteksi darah yang familiar, seperti darah Nick, Eric, atau Sebastian... tapi darah yang ini terasa lebih tua dari darah Nick atau yang lainnya. Dan seingatku... Alastair lebih tua dari Nick."
Kuletakkan gelasku yang masih setengah penuh di atas counter. "Apa maksudmu?"
"Nick akan membenciku jika aku memberitahumu, tapi kau berhak tahu." Greg terlihat ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Kurasa Alastair tidak bermaksud untuk membunuh kita saat kecelakaan itu, atau saat menculikmu."
"Tunggu dulu... jadi kecelakaan itu adalah perbuatannya?"
Greg mengangkat bahunya, "Aku tidak memiliki bukti, tapi aku tahu Ia yang memberiku darahnya. Ia tidak membunuhmu tapi mengubahmu, lalu video itu..."
Perasaan dingin menjalari tulang belakangku, untuk sesaat pikiranku kembali ke kejadian itu. "Nick menontonnya?" tanyaku dengan suara tercekat. Rasa malu dan jijik memenuhi diriku saat Greg mengangguk kecil. Mungkin karena itu Nick meninggalkanku cepat-cepat setelah memberiku darahnya...
"Kau tahu Volder hidup lebih lama dari mahkluk lain, sebagian dari kami berumur lebih dari beberapa century. Hidup selama itu bisa membuatmu gila, Eleanor. Karena itu banyak Volder yang memilih bunuh diri saat hidup mereka tidak... menarik lagi. Aku menyelidiki latar belakang Alastair setelah Ia mengirim video itu. Tidak ada yang tahu berapa umurnya, tapi kurasa lebih dari empat century."
Lebih dari empat ratus tahun? Aku mengingat pandangannya saat kami bertemu pertama kali siang itu. Kedua mata abu-abunya terlihat kosong bagiku, mungkin itu efek dari hidup selama empat ratus tahun? Tapi untuk apa Ia menyerangku?
"Alastair baru saja kehilangan istrinya 50 tahun yang lalu." Greg menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Kutatap kedua mata birunya dengan pandangan ngeri. Kalimat terakhirnya cukup untuk menjawab pertanyaanku, Alastair menyerangku karena satu hal; Ia ingin Nick membunuhnya.
"Tapi mengapa Nick?" Dan jika Ia memang ingin mati, kenapa Ia tidak melakukannya sendiri?
"Karena Alastair berada di dalam klan." Greg menghela nafasnya saat melihatku bersiap untuk bertanya lagi, "Banyak hal yang harus kau ketahui tentang Volder. Dulu kami hidup dalam klan, tapi setelah jumlah kami berkurang drastis banyak yang memutuskan untuk hidup diantara manusia. Seperti Nick dan aku. Sedangkan sebagian yang tersisa bertahan di dalam klan, mereka masih menganggap bangsa Volder sebagai bangsa superior di dunia ini dan mempertahankan kehidupan Volder kuno hingga saat ini. Seperti meminum darah langsung dari sumbernya."
Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi jijik di wajahku saat mendengarnya, Greg hanya membalas dengan sedikit senyuman. "Mengapa Nick?" ulangku lagi.
"Mereka yang berada di dalam lingkaran klan memiliki ikatan yang sangat kuat. Dan jika salah satu bagian dari klan dibunuh... anggota yang lainnya akan membalasnya." Greg mengucapkan kalimat terakhirnya dengan perlahan, sedikit kerutan khawatir menghiasi keningnya. "Sekarang kau tahu alasan mengapa aku mengatakan ini semua padamu."
"Jika Nick membunuh Alastair, maka klannya akan membunuhnya..." gumamku. Dan hanya aku yang bisa menghentikan Nick saat ini. "Tapi mengapa—"
"Aku tidak tahu." Potong Greg. "Tapi aku memiliki beberapa perkiraan. Nick bukan Volder terkuat saat ini, tapi Ia salah satu Volder yang cukup terkenal. Kami memanggilnya Jack The Ripper."
Jack Ther Ripper? Aku tidak yakin ingin mendengar ini.
"Dengar, Eleanor, aku tidak ingin menceritakan hal ini. Kurasa lebih baik jika Nick sendiri yang mengatakannya padamu. Yang jelas—"
"Aku ingin mendengarnya." Potongku, aku hanya mengetahui sedikit tentang masa lalu Nick. "Katakan padaku, Greg."
Greg kembali terlihat ragu-ragu jadi aku mendesaknya, "Mengapa kalian menyebut Nick dengan Jack The Ripper?"
"Well, karena Nick adalah Jack The Ripper."
"Apa?"
"Kau tahu Nick adalah dokter sekitar seratus tahun yang lalu. Ia sangat menyukai pekerjaannya, kurasa dokter adalah pekerjaan favoritnya diantara yang lainnya. Tapi Nick merasa ilmu di dunia kedokteran saat itu tidak cukup, jadi Ia melakukan eksperimen. Sayangnya saat itu bahan eksperimen yang ada tidak memadai, Ia membutuhkan bahan yang asli. Nick adalah dokter bedah."
Rasanya seperti aku baru saja meminum segelas asam, perutku terasa sangat perih. "Ia—Ia membunuh semua wanita itu?" Tidak mungkin. Seingatku Jack The Ripper adalah kriminal legendaris karena korbannya, seluruh wanita itu adalah pekerja seks dan semuanya ditemukan mati dengan beberapa organ tubuhnya menghilang. Hingga saat ini pelakunya tidak diketahui.
"Eleanor, Nick tidak membunuh para wanita itu karena pekerjaan mereka. Ia hanya kebetulan menciptakan motif. Kami Volder bisa mencium bau darah dengan detail, seperti berapa umur pemiliknya, jenis kelamin, golongan darah, dan penyakit. Wanita-wanita itu memiliki AIDS, Nick tahu mereka tidak akan bertahan lama."
"Jadi Ia membunuh mereka?" suaraku terdengar sedikit bergetar. Aku tidak bisa mempercayai apa yang baru saja kudengar. Nick adalah Jack The Ripper?
Greg menarik kedua sudut mulutnya ke bawah, "Kami bukan malaikat. Dan saat ini kau juga bagian dari jenis kami, Eleanor."
Aku membalas tatapannya dengan marah, "Bukan pilihanku."
"Dengar, Nick bukan hanya dikenal dengan sebutan Jack The Ripper di dunia manusia. Di dunia kami Ia juga memiliki sebutan yang sama, Nick adalah seseorang yang fokus dan solid. Ia tidak akan pernah berhenti sebelum apa yang diinginkannya tercapai, termasuk dalam hal membunuh. Tidak ada seorang pun yang berhasil selama ini. Karena itu lebih banyak dari kami yang menjadi sekutunya daripada menjadi musuh Nick... kecuali jika ingin bunuh diri tentu saja."
Tapi perempuan itu berhasil melakukannya. "Elizabeth berhasil sebelumnya." Gumamku tanpa kusadari. Untuk sepersekian detik Greg terlihat bersalah, sedikit rasa panik menempel di hatiku. "Ada apa, Greg?"
"Nick tidak pernah berencana untuk membunuh Elizabeth sebelumnya." Greg menatapku dengan hati-hati sebelum melanjutkan, "Karena Ia mencintainya."
Aku tahu Elizabeth mencintainya, tapi tetap saja mendengarnya langsung seperti ini membuatku merasa... aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. "Apa yang akan terjadi padanya?"
"Aku tidak tahu. Semua itu keputusan Nick." Greg menatap layar handphonenya sekilas sebelum memandang ke arah pintu lalu memandangku lagi. "Kau tahu apa yang akan kau lakukan, kan?"
Aku mengangguk kecil. Menghentikan Nick sebelum Ia membunuh Alastair. "Kemana Nick pergi?"
"Ke rumah Sebastian. Ia memiliki sedikit urusan disana." Greg berdiri lalu berjalan ke arah sofa besar di depan Tv. "Aku harus kembali sekarang."
"Well, pergi saja. Aku akan baik-baik saja."
Ia menoleh lalu menarik salah satu sudut mulutnya ke atas, wajahnya terlihat beberapa tahun lebih muda saat tersenyum. "Kau pikir Nick akan membiarkanmu sendirian?"
Ah tentu saja tidak. "Kau tinggal di hotel ini juga?" aku berjalan ke arahnya lalu mengambil remote Tv di atas meja.
"Um, tidak." jawabnya pendek.
"Oh?" kunyalakan Tv di depanku lalu memandangnya dengan kening berkerut.
"Aku tinggal di apartemenku."
Untuk pertama kalinya hari ini, pikiranku kembali ke Lana. "Oh, sial." Umpatku sambil berjalan ke arah telepon di samping Tv. Aku tidak tahu dimana handphoneku saat ini.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya saat aku mengangkat gagang telepon.
"Menghubungi Lana, Ia pasti sedang panik saat ini." Jariku menekan nomor Lana yang sudah kuhapal di luar kepala.
"Aku sudah mengurusnya."
Jariku berhenti di udara lalu aku menoleh ke arah Greg. "Mengurusnya?"
"Aku membuatnya berpikir kau sedang dalam perjalanan bisnis."
Walaupun suara Greg terdengar tenang tapi ekspresi di wajahnya tidak mendekati tenang sama sekali. "Dan?" kugenggam gagang telepon di tanganku hingga aku mendengar suara retakan.
"Eleanor, tenang." Jawabnya sambil mengangkat kedua tangannya. "Ada apa denganmu dan sifat protektifmu pada Alayna." Gumamnya dengan wajah cemberut.
"Alayna?" Sebelum ini Greg memanggilnya Lana, dan sekarang Alayna? "Apa yang kau lakukan padanya Greg?" Kuletakkan gagang telepon yang sudah retak kembali ke tempatnya lalu berjalan ke arah Greg.
"Hey, aku tidak melakukan apa-apa..." Kali ini Ia memandangku dengan sedikit khawatir. Bagus.
"Tapi?" kutarik kedua sudut mulutku ke bawah.
"Eleanor, aku hanya berusaha melindunginya."
"Jika kau melukainya, sedikit saja, aku akan membunuhmu Greg."
"Aku tahu." Greg menghindari tatapanku saat mengatakannya. Ia sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
"Greg, apa yang akan kau lakukan pada Lana?" ulangku sambil melipat kedua tanganku di dada. Ia menyisir rambut hitamnya dengan salah satu tangannya sebelum menatapku lagi. Ia terlihat gugup dan sedikit... malu?
"Aku akan melamarnya." Kali ini Ia tidak menghindari tatapanku. Tubuhku membeku mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Melamar? Ia berencana menikahi Lana? "Greg... apa Lana sudah tahu apa kau sebenarnya?" sedikit perasaan ngeri terselip di hatiku. Bagaimana jika Lana sudah tahu? Bagaimana jika Ia tidak bisa menerima keadaanku yang sekarang?
"Belum. Tapi aku berencana memberitahunya setelah—"
"Tidak boleh." Aku berusaha meredam rasa marahku sebelum mengucapkan kalimat berikutnya, "Kau tidak boleh melamar Lana." Jika Lana menikah dengan Greg maka Ia akan memaksanya untuk berubah menjadi Leech juga, sama sepertiku. Dan aku masih bisa mengingat dengan sangat jelas rasa sakit yang kurasakan saat aku berubah. Aku tidak akan membiarkan Lana terluka.
Ekspresi Greg berubah dingin, "Kau tidak berhak memutusakannya, Eleanor."
"Kau. Tidak. Boleh. Melamarnya." Desisku sambil mengepalkan kedua tanganku. Aku bisa merasakan kedua taringku mulai muncul lagi. "Tidak akan."
"Aku akan melakukannya." Balasnya dengan nada meninggi, "Kau tidak perlu ikut campur."
Kedua tanganku seakan-akan bergerak sendiri untuk meraih kerah kemejanya, "Aku akan membunuhmu jika kau tetap melakukannya."
Greg mencengkeram salah satu pergelangan tanganku dengan erat, "Kau bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Lana. Aku hanya ingin menolongnya."
"Apa maksudmu?"
Kedua mata biru Greg menatapku dengan sangat dingin, "Kau akan mengetahuinya sendiri nanti."
Kedua taringku sudah muncul dengan sempurna di antara bibirku, rasa marah dan panik yang kurasakan saat ini membuatku semakin marah pada Greg. Aku tidak akan membiarkannya melukai Lana. Kutarik kerah kemejanya mendekatiku, setelah itu aku bergerak menurut instingku. Tapi sebelum taringku bisa menyentuh kulitnya, sepasang tangan yang kuat menarik pinggangku menjauh dari Greg. Aku sangat mengenal bau ini, suhu tubuhnya yang hangat melingkupi punggungku yang sekarang menempel di dadanya. Tapi aku masih melawan, pandanganku tertuju pada Greg yang masih duduk dengan tenang di sofa. Ia membalas pandanganku dengan wajah cemberut.
"Ada apa dengan kalian berdua?" suara Nick di belakangku terdengan kesal, "Kalian selalu seperti ini saat bertemu." Kedua tangan Nick masih menekan tubuhku ke dadanya, membuat seluruh usahaku untuk memberontak sia-sia. Kuhentikan usahaku lalu menarik nafas dalam-dalam, bau Nick yang melingkupiku memenuhi paru-paruku seketika membuatku lebih tenang.
Greg berdiri dari tempatnya lalu merapikan kerah kemejanya yang terkoyak. "Tugasku sudah selesai, Nick. Aku kembali sekarang."
"Aku belum selesai denganmu." Desisku dengan suaraku yang hampir terdengar asing di telingaku sendiri.
"Oh, aku tidak ingin berurusan dengan anak kucing yang sedang marah saat ini. Itu pekerjaan Nick." Ia melemparkan senyuman kecil pada kakaknya yang berdiri di belakangku sebelum berjalan ke arah pintu.
"Tunggul dulu! Greg, aku akan membunuhmu jika—"
Tapi Greg sudah menghilang dari balik pintu sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Kuhela suara frustasiku lalu memejamkan mataku, saat aku merasa marah rasanya seperti ada api di dalam diriku yang membakarku. Tidak menyakitkan tapi membuatku ingin melukai sesuatu, atau seseorang. Aku tidak pernah merasakan rasa marah seperti ini sebelumnya.
"Hey." Suara Nick membuatku membuka mataku lagi. Bibirnya mencium pelipis kananku lalu bertahan di tempat itu. Selama beberapa detik aku melupakan rasa marahku. "Aku harus pulang." Gumamku saat Ia menarik bibirnya dari kulitku.
Nick menghela nafasnya tapi tidak melepaskan pelukannya, "Tidak sekarang, Eleanor."
"Nick—"
"Kau belum terbiasa berada di antara manusia. Greg akan menjaga Miss Morrel sementara ini, kau tidak perlu khawatir."
Oh, justru itu yang membuatku sangat khawatir. "Bagaimana dengan telepon?" tanyaku sambil mendongak sedikit hingga aku bisa melihat wajahnya yang tampan.
"Yeah, tidak apa-apa." Ia tersenyum padaku dengan lembut, kedua mata birunya yang biasanya tanpa ekspresi dan dingin terlihat berbeda saat menatapku. Sebuah perasaan hangat memenuhiku saat melihatnya seperti ini.
Jack The Ripper? Tidak mungkin. Pria ini adalah Nicholas Shaw, mungkin Ia sedikit dingin dan arogan dan menyebalkan tapi Nick bukan pembunuh berdarah dingin itu. Tidak mungkin.
Tapi jauh di dalam hatiku aku tahu. Aku salah.