A.H Architect Yogyakarta
Andrew sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya. Tanpa mengetuk pintu, Nadine langsung masuk begitu saja. Wanita itu melihat foto pernikahan Andrew dan Clarissa di atas meja. "Cantik juga istrimu yang kabur," cetus Nadine sambil menyeringai.
Andrew hanya melirik Nadine sekilas. Wanita itu malah duduk di pangkuan Andrew tanpa rasa berdosa. Andrew begitu risih dengan tingkah wanita itu. "Pergilah! Jangan menggangguku," usir Andrew.
Nadine masih duduk di pangkuan Andrew, lalu wanita itu mengarahkan tangan Andrew di perutnya. "Anak ini juga butuh sentuhanmu," kata Nadine sambil menatap Andrew yang sedang kesal.
"Mas Andrew!" Suara Clarissa membuat Andrew langsung mendorong Nadine menjauhinya.
"Clarissa! Sayang. Kamu sudah kembali?" cetus Andrew begitu melihat istrinya.
Andrew tak menduga, Clarissa datang disaat Nadine sedang menggodanya. Seolah Andrew dapat merasakan kekecewaan yang Clarissa rasakan. Lelaki itu merasa sangat bersalah sekaligus berdosa pada istrinya. "Sayang. Ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan," jelasnya.
"Kapan Mas Andrew sadar dari koma?" tanya Clarissa sambil menahan air matanya.
"Kemana saja kamu selama Andrew koma? Disaat suamimu terbaring koma, kamu justru pergi meninggalkannya dengan lelaki lain. Jangan salahkan dia, jika sampai berpaling darimu," seru Nadine di tengah pembicaraan mereka.
"Cukup Nadine!" teriak Andrew dalam kemarahan.
Andrew langsung memeluk istrinya di depan Nadine. Lelaki itu sama sekali tak peduli dengan mantan kekasihnya itu. Dia terus menciumi Clarissa dengan sangat lembut. Andrew mencoba mencurahkan seluruh kerinduannya selama ini.
"Jangan Lupa Honey, aku sedang mengandung anakmu," cetus Nadine ditengah pelukan mesra mereka.
Clarissa menjadi sangat kesal dan kecewa dengan apa yang didengarnya. Nadine terus saja memprovokasi Clarissa, dengan cerita yang di karangnya sendiri. Meskipun Andrew berusaha menjelaskan Clarissa sudah terlanjur kecewa dan meninggalkan ruangan itu.
Andrew akan langsung mengejar istrinya, namun Nadine justru menghalangi. Lelaki itu langsung menghempaskan tangan Nadine dari lengannya, kemudian berlari secepat mungkin untuk menyusul istrinya.
Clarissa berjalan secepat mungkin sambil berurai air matanya. Dia ingin segera pergi meninggalkan kantor itu. Baru sampai lobby kantor, Andrew memanggilnya dengan sangat lantang. "Tunggu Clarissa!" teriak Andrew.
Ingin rasanya Clarissa segera berlari meninggalkan gedung itu. Namun seolah tubuhnya menolak untuk meninggalkan tempat itu. Rasanya sangat berat untuk melangkah maju. Kemudian Andrew berdiri dihadapannya, sambil menatapnya lekat. "Dengarkan dulu penjelasanku," ucapnya memohon.
"Aku tak ingin melihat Mas Andrew, tolong biarkan aku pergi," pinta Clarissa sedih.
Andrew memeluk istrinya itu, "Kumohon jangan tinggalkan aku."
"Sampai kapanpun aku tak bisa meninggalkanmu, meskipun aku menginginkannya," ucap Clarissa dalam hati.
"Berikan aku bukti, jika Mas Andrew memang tidak mengkhianati aku. Sekarang biarkan aku pergi, setelah Mas Andrew terbukti tak bersalah, aku pasti kembali padamu," jelas Clarissa sebelum wanita itu menaiki mobil Joe yang masih terparkir di depan kantor.
Andrew hanya bisa memandang mobil yang membawa Clarissa meninggalkannya. Lelaki itu terlalu rapuh, ketika tak bisa membela dirinya sendiri. Hatinya semakin terluka, saat melihat istrinya pergi jauh darinya. Andrew menarik rambutnya dengan kuat, dia tak dapat menahan sakit kepala yang menyerangnya. Rasanya dia ingin membenturkan kepalanya di lantai kantornya. Terasa sangat menyakitkan, begitu sesak di dadanya.
Didalam mobil, Clarissa hanya bisa menangisi pertemuannya dengan Andrew. Dia tak menyangka pertemuan indah yang dibayangkannya, berubah bagai sebuah petaka dalam hidupnya. Joe hanya diam sambil sesekali melirik wanita yang duduk di sampingnya. Lelaki itu tak menyangka, kalau Clarissa akan kembali kepadanya.
"Joe! Mengapa kamu belum pergi dari sana," tanya Clarissa masih sedikit terisak.
"Rasanya tadi, aku seperti sangat tak rela meninggalkanmu," jawabnya.
"Antar aku ke apartemen," kata Clarissa lirih.
Joe tak banyak berbicara, dia memberi ruang pada wanita itu. Sampai di apartemen, Clarissa sengaja ingin masuk seorang diri. Joe akan menunggu di apartemennya sendiri.
Untung saja sandi pintu apartemen belum diganti oleh Andrew. Jadi Clarissa bisa membuka pintunya. Begitu masuk ke dalam, kondisi apartemen sangat mengerikan. Begitu berantakan dan kotor. Beberapa pakaian berserakan dimana-mana, banyak botol minuman beralkohol tergeletak di lantai. Keadaan dapur bak kapal pecah, benar-benar tak dapat dibayangkan.
"Bagaimana Mas Andrew bisa hidup seperti ini," gumamnya.
Clarissa menangis tanpa suara. Dia tak mampu membayangkan, kehidupan seperti apa yang sudah dilakukan oleh suaminya. Wanita itu membersihkan seluruh bagian apartemen. Dia tak rela jika suaminya hidup seperti itu. 1 jam berlalu, semua sudah terlihat lebih bersih dan rapi. Tak ingin bertemu Andrew saat dia pulang, Clarissa segera pergi dan mendatangi apartemen Joe.
Joe sedikit terkejut dengan wajah kelelahan Clarissa. "Apa yang sudah kamu lakukan, sehingga kamu terlihat sangat lelah?" tanyanya.
"Aku baru saja membersihkan apartemen Mas Andrew. Biarkan aku istirahat sebentar." Clarissa langsung membaringkan tubuhnya di atas sofa.
Wanita itu memejamkan matanya dan tertidur. Joe hanya bisa memandangi Clarissa yang mulai terlelap. Rasanya hati Joe sangat terluka, melihat Clarissa sangat mempedulikan Andrew. Bahkan wanita itu rela kelelahan, hanya untuk membersihkan apartemen suaminya.
Sore hari sepulang dari kantor, Andrew langsung mendatangi apartemen miliknya. Begitu membuka pintu, matanya membelalakkan melihat semua sudah bersih dan rapi. Dia yakin kalau semua itu karena Clarissa. Hanya dia dan Clarissa yang tahu sandi apartemen miliknya.
"Clarissa! Sayang! Kamu dimana?" Andrew berteriak memanggil istrinya.
Lelaki itu masuk ke semua ruangan, namun tak mendapati istrinya. Andrew terduduk di lantai kamarnya, sambil menatap foto dirinya dan Clarissa. Dia termenung seperti sesosok manusia tak bernyawa. Entah kemana jiwa Andrew terbawa oleh angin? Hanya luka, penyesalan dan air mata yang tersisa. Lelaki itu benar-benar menangis, seolah dia sudah tak mampu lagi untuk hidup. Hatinya hancur lebur tak bersisa, ingin rasanya Andrew menjerit sekeras mungkin. Seolah dia tak sanggup menahan beban di hidupnya.
Tiba-tiba Andrew tersadar dan bangkit dari keterpurukannya. "Aku harus membuktikan diriku tak bersalah. Clarissa masih sangat mencintaiku, dia masih peduli pada hidupku," ucap Andrew pada dirinya sendiri.
Andrew langsung menghubungi Reno sahabatnya. Hanya Reno yang bisa membantunya dalam hal seperti. Dalam kegelisahan, Andrew menunggu kedatangan Reno di sofa ruang tamu. Rasanya dia sudah tak sabar bertemu dengan lelaki itu. Beberapa saat menunggu, Reno benar-benar datang. Dia merasa prihatin bmelihat keadaan Andrew yang terlalu menyedihkan.
"Apa yang ingin kamu ketahui?" tanya Reno padanya.
"Clarissa sudah kembali. Namun ada kesalahpahaman diantara kami. Dia meminta bukti, kalau aku tidak mengkhianatinya," jawab Andrew.
"Maksudnya?" Reno tidak mengerti ucapan sahabatnya.
"Nadine mengatakan pada Clarissa kalau aku sudah menghamilinya. Padahal aku merasa tak melakukan apapun padanya. Hanya saja, Nadine pernah mendatangi kantorku dan aku melupakan apa yang sudah terjadi diantara kami. Namun begitu aku tersadar, kami berdua terbaring di sofa tanpa pakaian. Nadine juga memiliki foto diriku saat melakukan hubungan terlarang itu," jelas Andrew dalam kebingungannya.
Reno akhirnya semakin yakin, kalau itu semua adalah jebakan yang dibuat oleh Nadine. "Sepertinya wanita itu sedang menjebakmu," ucap Reno.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" tanya Andrew dengan wajah berbinar.
"Sebelumnya kamu kecelakaan, kamu memintaku menyelidiki Nadine. Sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini padamu," jawab Reno sedikit ragu.
"Cepat katakan!" seru Andrew.
Reno seperti sedang berpikir keras. Dia terlalu berat mengatakan hasil penyelidikannya. Namun semua harus diungkapkan, untuk kebaikan Andrew. Sekuat hati Reno akhirnya membuka mulutnya. "Sepertinya Nadine memiliki hubungan gelap dengan ayahmu, Ferdinand," ucapnya.
Seperti sebuah petir yang menyambar di malam hari. Andrew membelalakkan matanya, begitu mendengar jawaban Reno. Lelaki itu tak menyangka, ayahnya sendiri yang menjebak dirinya. Ingin rasanya Andrew berlari dan menghabisi ayahnya sendiri. Namun dia tak mampu melakukannya, dia hanya bisa menahan amarahnya.
Happy Reading