webnovel

Bab 16. Ajakan Pertama

Kembali masuk ke dalam kamar inap ibunya, Berry sudah mendapati ayahnya berada di sana. Lelaki itu sedang duduk di kursi di samping ranjang. Melihat kedatangan putranya, dua orang itu menatap ke arah Berry dan menghentikan apapun itu yang tadi sedang dibicarakan. Kecanggungan masih terasa melekat di antara keduanya. Dan hal semacam itu tak akan hilang begitu saja.

"Ma, Berry mau izin dulu buat pulang. Hari ini Berry ada kuliah." Katanya.

"Nanti datang lagi, kan?"

"Iya. Tapi mungkin agak malam. Berry harus kerja dulu." Mendengar putranya yang berbicara tentang bekerja, membuat wajah ibu Berry terlihat muram. Kesedihan itu terpancar dari matanya dan hal itu disadari oleh putranya.

"Sekeras apa selama ini kamu di luar sana, Nak?" tanyanya dengan nada sedih yang tidak bisa ditutupi. Tangannya menggenggam tangan putranya dengan erat dan meremasnya. Berry tak bisa mengelak perjuangannya selama ini sekeras apa.

Beliau pasti tidak tahu bagaimana di awal-awal dia pergi dari rumah. Dia bahkan menjadi tukang pencuci piring di restoran. Mengambil shift pagi karena dia harus kuliah malam, dan itu berjalan selama beberapa bulan saja. Berry berpikir, dia tak akan berkembang kalau hanya bekerja di belakang dan berteman dengan piring dan gelas kotor. Dia bisa saja menggunakan ketampanannya untuk masuk ke dalam sebuah agensi aktor dan bisa menjadikannya actor. Tapi dia tak bisa melakukannya.

Itu bukanlah bakat terpendam yang dimilikinya, dan dia juga tidak suka menjadi sorotan. Kehidupannya tidak bisa dikatakan sempurna. Dia adalah seorang 'pejuang' yang harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Berr!"

"Ah, maaf, Ma. Berry melamun." Membayangkan kehidupannya dua tahun yang lalu, memanglah sangat menyedihkan. Dia bahkan lupa jika sekarang sedang berhadapan dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu kemudian tersenyum dan ikut mengelus tangan ibunya dengan lembut.

"Berry baik-baik saja, Ma. Kehidupan Berry juga. Mama nggak perlu khawatir." Masih ada satu lelaki lagi di sana menatap interaksi istri dan anaknya itu dengan tatapan yang tenang seolah tak terusik dan tak tak ingin ikut dalam percakapan tersebut. Sedari tadi dia hanya bungkam tanpa mengatakan apapun untuk sekedar basa-basi.

"Boleh Berry pergi sekarang?" tanyanya. Matahari sudah sedikit nampak karena cahanya sudah mulai masuk ke celah-celak jendela kamar perempuan paruh baya tersebut.

"Janji nanti malam datang?"

"Iya." Berry tak ingin banyak kata dan hanya memberikan harapan palsu kepada perempuan yang sudah melahirkan dirinya tersebut. Jadi dia akan mengusahakannya dan tidak akan mengecewakan ibunya. Dan barulah beliau memberikan anggukan kepada Berry tanda menyetujui agar putranya bisa pergi dari sana. Pamit kepada kedua orang tuanya, Berry mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan ibu dan ayahnya. Tanpa lagi banyak kata. Kemudian pergi dari tempat itu.

Berry tak mengharapkan banyak dari sikap ayahnya. Lelaki itu terlalu keras kepala dan menginginkan semua keinginannya dipenuhi oleh siapapun. Lelaki yang memang tidak mengenal penolakan itu jelas saja harga dirinya tergores ketika putranya sendiri menolak perintahnya. Apalagi perundingan itu sudah berkali-kali dibahas dan tak mendapatkan kesepakatan. Dan akhirnya hal itulah yang membuat beliau murka dan meminta agar Berry pergi dari rumah dan menjalani kehidupannya sendiri. Tanpa topangan dari uang orang tuanya.

Siapa yang menyangka jika Berry menyanggupi. Bahkan Berry kuliah saja memilih jalur beasiswa dan beruntung dia mendapatkannya. Paling tidak dia harus memiliki nilai yang bagus untuk semester satu dan beasiswa itu akan berlanjut jika nilai Berry tidak mengalami penurunan. Berry bersungguh-sungguh. Waktunya hanya digunakan untuk bekerja dan belajar. Tanpa ada hal lain yang dia lakukan.

Sesekali dia bisa ikut nongkrong bersama teman-temannya, meskipun hanya sebentar. Dari dulu, Berry yang memang sudah terlihat dingin dengan siapapun, membuat teman-temannya juga merasa segan dengannya.

"Mas, mari saya antarkan!" Berry tidak berpikir jika sopirnya akan tiba-tiba muncul di depan lobby rumah sakit. Pasti itu adalah ayahnya yang memerintahkan. Atau ibunya? Entahlah, Berry tak bisa menebaknya. Mungkin dia akan tahu jawabannya ketika dia sudah bertanya dengan lelaki paruh baya yang menjadi sopirnya.

Berry mengangguk, dan dia masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi belakang, dan langsung menyenderkan kepalanya di kepala kursi. "Siapa yang meminta Bapak buat antar saya?" matanya memejam, dan dia menunggu jawaban dari lelaki yang sekarang sedang mengemudi tersebut.

"Bapak, Mas." Dan ayahnya adalah jawabannya. Lelaki itu ternyata masih peduli padanya. Lalu kenapa selama ini beliau hanya diam saja dan tak menurunkan egonya untuk meminta Berry kembali ke rumah? Entahlah. Berry juga tak paham dengan apa yang dipikirkan oleh lelaki itu.

Sampai di rumah kontrakannya, Berry turun dan langsung masuk ke dalam rumah. Dia harus segera bergegas karena dia memiliki kelas jam 07.30 pagi. Dia hanya memiliki waktu sepuluh menit untuk telat. Karena itu dia harus segera pergi kalau tidak ingin ketinggalan satu mata kuliahnya.

Sayangnya semua itu hanya angan saja. Secepat apapun dia berangkat, nyatanya waktunya masih terlalu mepet. Dan aturan tetaplah aturan, Berry tak bisa masuk kelas dan absennya harus bolong. Mungkin dia bisa bernegosiasi dengan dosennya untuk mengikuti kelas lain di lain waktu.

Tak ada yang bisa dilakukan oleh lelaki itu, karenanya dia memilih melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Meminta kunci loker kepada petugas perpustakaan, meletakkan tasnya di dalamnya dan hanya membawa ponsel dan dompetnya. Dia naik ke lantai dua, dan mengedarkan pandangannya. Seperti biasa, suasana perpustakaan tak terlalu banyak orang apalagi sekarang waktunya kuliah.

Pandangan Berry tertuju pada sudut bagian kiri. Dia melihat ada Cherry di sana seorang diri. Keningnya mengernyit dan dia mencoba berpikir sedang apa gadis itu di sana sedangkan seharusnya Cherry mengikuti perkuliahan.

"Hem." Deheman yang diberikan Berry membuat Cherry mendongak. Gadis itu terlihat terkejut tapi tetap memberikan senyum kecilnya.

"Hai!" katanya. Berry tak menyahut dan duduk begitu saja di depan Cherry.

"Nggak ada kuliah?" tanyanya.

"Tiba-tiba dosennya nggak bisa hadir. Udah terlanjur datang, jadi tetap di sini." Berry mengangguk tanda mengerti, "Lalu dua teman kamu?"

"Ada di fakultas." Penilaian Berry terhadap Cherry adalah jika gadis itu terlalu mandiri. Dia tak terpengaruh dengan teman-temannya. Meskipun tanpa temannya menemani, dia tetap pergi ke perpustakaan seorang diri. Itu bagus, ketergantungan terhadap teman juga kurang baik.

Mereka lagi-lagi diam tak mengatakan apapun. Cherry sibuk dengan tab nya, sedangkan Berry sibuk dengan pikirannya. Hanya saja sembari berpikir Berry terus saja menatap gadis di depannya itu dengan wajah datar. Tak ada percakapan lagi yang terjadi diantara mereka berdua meskipun mereka berada di satu meja yang sama.

Tapi tiba-tiba Berry bersuara, "Masih lama kan kelas kedua?" tanya Berry. Cherry mendongak dan kemudian mengangguk.

"Mau makan bareng?" dan tawaran itu membuat Cherry terlihat kaget.

*.*

Chapitre suivant