webnovel

Bab 7. Kejadian Tak Terduga

Cherry sampai di sebuah rumah satu lantai yang berada di sebuah perumahan. Bukan sebuah perumahan elit, hanya perumahan biasa yang tidak terlalu jauh dari kampusnya. Mencocokkan kembali alamat rumah yang diberikan oleh pemilik rumah yang dicatat di ponselnya untuk memastikan jika dia tak salah alamat. Dia mengangguk karena memang alamat yang diberikan itu sama dengan rumah yang sekarang dia datangi.

Cherry menyempatkan diri untuk memindai rumah tersebut dengan pandangan matanya. Dari luar terlihat nyaman dan asri. Memang bukan tipe rumah mewah dan gedongan, tapi sepertinya siapapun akan merasa damai jika berada di sana. Ada pohon-pohon kaktus berjejer di sudut halaman, Cherry berpikir pastilah pemilik rumah ini adalah pengoleksi tumbuhan berduri tersebut. Sedangkan di kanan rumah ada garasi kecil yang tertutup rapat.

Menilai rumah seseorang, seharusnya tidak dia lakukan. Tidak sopan sama sekali. Maka dengan itu, dia keluar dari mobilnya dan melangkahkah kakinya untuk sampai di depan rumah. Rumah terlihat dalam keadaan sepi, tapi dia harus mengetuk pintu rumah tersebut untuk memastikan.

"Permisi!" katanya sambil mengetuk pintu "Assalamualaikum!" masih sambil mengetuk. Tapi sayangnya tidak ada jawaban dari dalam rumah. Cherry barulah yakin jika di dalam sana memang tidak ada orang. Karena tidak ingin gegabah, maka dia mencoba menghubungi pemilik rumah. Baru dia mengeluarkan ponselnya, tapi tiba-tiba pintu rumah terbuka dan muncullah seorang lelaki yang sama sekali tak pernah diduga sebelumnya.

Cherry terkaget dengan debaran jantung yang menggila. Menelan salivanya pelan namun dia juga harus menanyakan keberadaan orang yang dicarinya. "Sorry! Bener ini rumah Aga?" tanyanya untuk memastikan.

"Iya," Cherry bisa melihat keanehan dari diri lelaki itu. Suaranya parau, wajahnya terlihat sedikit pucat, dan ada titik-titik keringat yang muncul di wajahnya.

"Kamu nggak papa?" lelaki itu menyenderkan tubuhnya di kusen pintu dengan menggenggam kenop pintu dengan erat.

"Nggak papa." Katanya dengan parau.

"Aga nggak ada di rumah sekarang." Beberapa kali lelaki itu memejamkan matanya seperti menahan sakit.

Cherry akan menjawab, ketika deringan ponselnya menggema, dan ada kontak Aga tertulis di layar ponselnya. "Lo masih lama? Iya nggak papa sih, oke." Aga baru saja mengkonfirmasi jika lelaki itu tiba-tiba harus mengganti jam kuliah yang kosong minggu kemarin.

"Iya, Aga harus mengganti jam kuliahnya." Cherry memberitahu, "Kamu pucat, serius kamu nggak, astaga!" teriaknya ketika lelaki itu limbung dan hampir terjatuh jika tak berpegangan.

"Ayo, biar aku pegangi kamu," dengan sigap Cherry mencoba memapah dengan mengalungkan tangan lelaki itu ke lehernya dan mencoba berdiri dengan hati-hati. Berat, tentu saja. Tapi dia memang harus melakukan ini.

Dengan pelan mereka berjalan, "Dimana kamar kamu?" tanya Cherry.

Lelaki itu hanya menunjuk pada sebuah pintu di sebelah kiri Cherry menggunakan jarinya. Setelah berusaha keras menahan tubuh lelaki itu, akhirnya Cherry bisa menidurkannya keatas kasur dan menyelimutinya. Cherry menempel kan tangannya ke atas dahi lelaki itu yang sekarang telah memejamkan matanya.

Cherry panik tentu saja, dia tidak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Otaknya terasa kosong sekarang, tapi dia berusaha untuk tetap melakukan sesuatu. Maka dia keluar kamar dan dengan Langkah tergesa dia masuk ke dalam ruangan dapur. Sedikit lega karena ada benda bernama dispenser di sana. Paling tidak dia tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan air hangat.

Mencari sesuatu yang mungkin ada kotak P3K di sana, sayangnya tak ada. Air panas sudah tersedia, meletakkannya di dalam baskom dan memberinya air dingin agar menjadi hangat, kemudian dia kembali ke kamar lelaki itu.

Mengobrak-abrik tasnya mencari sebuah handuk kecil yang memang kebetulan dia hari membawanya entah untuk apa, kemudian mencelupkannya ke air untuk dijadikan kompres. Meletakkan di dahi lelaki itu, sedikit menekannya. Kembali membuka tasnya untuk mencari kotak kecil yang selalu dia bawa karena perintah dari sang kakak.

Dan lagi-lagi menemukannya. Diambilnya satu kaplet obat dan menyentuh tangan lelaki itu, "Kamu udah makan?" tanyanya dengan pelan. Gelengan ringan terlihat di mata Cherry. Dengan Langkah tergesa lagi, dia keluar kamar untuk mencari sesuatu yang bisa diberikan kepada Berry.

Hanya ada nasi di rice cooker. Maka tanpa lagi basa-basi, dia mengambil nasi tersebut untuk dijadikan bubur. Membuka kulkas, dan ada banyak persediaan bahan makanan di sana. Senyumnya terbit dan langsung mengambil satu buah wortel dari sana. Mengupasnya dengan cepat, mengiris tipis-tipis, dan dicampurkan ke dalam bubur yang masih berada di atas kompor.

Beberapa menit kemudian bubur matang, dan dia kembali ke kamar Berry membawa untuk memberinya lelaki itu makan terlebih dahulu sebelum dia memberinya obat.

"Kamu tidur?" dipegangnya tangan Berry dengan lembut, Cherry bisa merasakan panas tubuh Berry di telapak tangannya. Dalam keadaan Berry yang tidak bisa diajak kompromi, Cherry mendesah lelah. Mengedarkan matanya di penjuru kamar lelaki itu, tak ada ide apapun untuk melakukan apapun.

"Harusnya dia makan dulu, biar aku bisa kasih dia obat penurun panas." Cherry menggantikan kompresan di dahi Berry ketika dirasa kompresan itu sudah dingin. Berry memang sepertinya tertidur, maka dia harus menunggu lelaki itu sampai bangun. Membiarkan lebih dulu lelaki itu istirahat.

Mungkin jika gadis lain, dia akan memotret dan mengatakan kepada teman-temannya jika dia terjebak dengan lelaki tampan yang pernah mereka bicarakan. Hanya untuk pamer. Sayangnya Cherry tidak seperti itu. Justru ini adalah sesuatu yang harus ditutupi untuk orang lain.

Cherry berdiri, dan mendekati rak buku. Dan senyumnya keluar ketika melihat diantara buku-buku tebal, ada tumpukan komik juga di sana. Tapi gadis itu tak mau lancang dengan menarik satu komik keluar dari tempatnya.

Menatap Berry yang sedang terbaring, masih belum ada tanda-tanda lelaki itu ingin membuka matanya. Entah sampai kapan dia akan terjebak si tempat ini. Meninggalkan lelaki itu sendirian di sana dalam keadaan sakit bukanlah pilihan yang tepat. Dia tak sampai hati kalau lelaki itu memerlukan sesuatu namun harus melayani dirinya sendiri.

Cherry kembali duduk di samping Berry, dan mengecek kompresannya. Mengecek suhu tubuh Berry melalui dahi dan leher lelaki itu. Panasnya belum turun betul, tapi dibandingkan beberapa saat lalu, suhu tubuhnya sudah lebih baik.

Gerakan dari Berry menandakan jika lelaki itu sepertinya sudah sadar, "Kamu udah bangun?" Cherry bertanya pelan, bola mata Berry bergerak dengan kelopak mata tertutup. Gadis itu berusaha sabar menunggu mata tajam itu terbuka kembali. Kalau pun lelaki itu akan menatapnya sinis lagi, itu urusan belakangan. Yang terpenting adalah dia memastikan lelaki itu sudah baik-baik saja. Jadi dia bisa pergi dari rumah itu dengan tenang.

*.*

Chapitre suivant