webnovel

Bab 4. Diam-Diam Mengintai

"Balik, yuk!" ajak teman Berry kepadanya. Urusan mereka di perpustakaan sudah selesai dan mereka tak memiliki alasan untuk lebih lama di tempat yang hening tersebut. Lagipula, sedikit dari mahasiswa yang suka di tempat itu.

"Kalian duluan aja, gue masih ada yang masih harus dikerjakan," jawab Berry menolak. Tak ada pertanyaan lanjutan dari mereka tentang keputusan Berry yang akan tetap di sana, mereka pamit kepada lelaki itu untuk kembali ke Fakultasnya.

Seperginya teman-temannya, tak ada yang dilakukan Berry kecuali hanya terdiam sambil menatap ke depan dengan wajah datar. Apa yang dikatakan kepada teman-temannya akan mengerjakan sesuatu itu adalah hanya alibinya saja.

Jangankan mengerjakan sesuatu, buku-buku yang diambil dari rak perpustakaan saja belum dikembalikan dan masih memenuhi mejanya. Lebih memilih memasang wajah datar dan meladeni pikirannya yang melayang kemana-mana. Memikirkan sesuatu yang harusnya tidak boleh dilakukan.

Tapi mau bagaimana lagi, dia tak bisa berhenti. Peringatan itu sudah diberikan kepada hatinya, sayangnya otaknya lebih memilih membangkang dan jelas berdampak juga pada hatinya.

Karena merasa jengkel dengan dirinya sendiri, lelaki itu memejamkan matanya, menghela nafasnya, menyenderkan punggunya ke senderan kursi dan kedua tangannya saling meremas seperti seorang gadis yang akan dinikahkan oleh lelaki hasil perjodohan.

Jelas ini kejadian langka bagi Berry. Mana pernah hatinya terusik dengan hal-hal seperti ini sebelumnya. Sayangnya kali ini berbeda, mata tegas yang ditampilkan oleh gadis itu terngiang jelas di matanya. Seolah dengan terang-terangan sedang menantangnya.

Dan bukan hanya itu, tapi tatapan gadis itu seolah menjeratnya sehingga membuat dirinya tak ingin berhenti untuk terus menatapnya seperti yang dilakukan beberapa saat lalu. Apa benar kata orang, jika cinta itu berawal dari mata kemudian turun ke hati? Apa benar Berry juga akan merasakan hal tersebut nanti?

Memang jika ditelusuri lebih lanjut, Berry merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam tatapan gadis itu. Tegas dan tenang. Karena itulah kenapa kali ini dia terusik dengan ketenangan yang dimiliki oleh gadis itu.

'Cherry! Itu namanya bukan?' Begitu tanya hatinya. 'Manis' entah dari mana kata itu muncul di dalam pikirannya. Terdengar sangat menggelikan. Beruntung itu hanya dikatakan di dalam hati, bukan secara verbal dan didengar oleh orang lain.

Ini jelas tak benar. Dia tak boleh melakukan hal yang yang selama ini dihindarinya. 'Lupakan dan pikirkanlah sesuatu yang lebih bermanfaat' sisi hatinya mengatakan demikian. Sayangnya, semakin dia mencoba untuk menghilangkan hal yang mengganggu itu di dalam kepalanya, semakin melekat pula di dalam pikirannya.

Sekali lagi, Berry belum ingin terjebak dengan hal picisan macam ini. Dia tak membencinya, hanya saja dia menghindarinya. Dia tak ingin diperbudak oleh cinta ketika dia harus memikirkan hal penting yaitu tentang masa depannya. Inilah yang terkadang membuat dirinya uring-uringan sendiri. Pemikiran tak penting yang harus masuk ke dalam otaknya.

membereskan buku-buku yang diambilnya dari rak buku, mengembalikan ke tempatnya, barulah kemudian pergi dari perpustakaan. Kepalanya memperingatkan kepada dirinya sendiri untuk tidak lagi mengingat apapun tentang itu. Toh, mereka hanyalah orang asing. Dan memikirkan orang asing adalah sebuah kesalahan.

°•°•°

Takdir seolah tidak membiarkan Berry tenang, karena sesampainya dia di parkiran motor, dia melihat gadis itu duduk di kursi bawah pohon, dengan memegang ponselnya secara khidmat. Entah apa yang dilakukan oleh Cherry di sana dia pun tak tahu. Inginnya dia mengabaikan, tapi sayangnya matanya tak bisa berpaling.

Lagi, diam-diam dia memperhatikan dari kejauhan. Ada yang menolak di dalam logikanya, tapi sayangnya ada bagian dari dirinya yang menginginkan dia melakukan tindakan bodoh tersebut.

"Berry!" bahkan panggilan dari sampingnya sama sekali tidak diperdulikannya. Atau memang dia benar-benar tak mendengarkan saking konsentrasinya menatap Cherry.

"Berry, woy!" dengan geplakan di punggungnya barulah dia sadar dari lamunannya.

"Oh, kenapa, Ka?" Berry menoleh ke sampingnya, seperti biasa, bibirnya hanya menampilkan senyum kecil untuk kawannya itu. Mati-matian menahan matanya agar tidak menoleh ke tempat Cherry duduk.

"Bengong aja ente, lihatin apa sih?" Kaka, teman yang sedari tadi memperhatikan nya merasa heran, karena temannya itu tidak pernah kehilangan fokusnya. Bahkan pria yang dipanggil Kaka itu berusaha melihat apa yang diperhatikan oleh Berry.

"Enggak, gue lagi kepikiran sesuatu aja tadi." pria itu berusaha berkelit.

"Kirain lihatin awewe gelis," pria bernama Kaka itu berusaha menggoda laki-laki yang selalu memasang muka datar tersebut. "Eh, tapi ada yang bening juga itu," tunjuk Kaka kepada Cherry yang masih dengan fokus menatap ponselnya.

"Nggak usah dilihatin, dicolok pacarya tahu rasa lo." Berry meninju lengan Kaka pelan sambil tersenyum kecil. Dan Kaka juga ikut terkekeh.

Bukannya melupakan akan keberadaan gadis di bawah pohon, Kaka kembali menatap ke arah sana, "Eh mau kemana itu?" begitu katanya ketika melihat Cherry berjalan ke arah pagar kampus. Berry juga tak menolak untuk menatap ke arah gadis itu, ada sesuatu yang tak nyaman di dalam hatinya ketika Cherry tengah berjalan ke arah seorang pria bermotor.

Matanya melihat dengan seksama, terlihat pria itu menggunakan jaket hitam dan ada tulisan salah satu perusahaan ojek online. Dan entah kenapa, bibirnya tersenyum namun dengan cara dikulum agar Kaka tak melihat dia bertingkah aneh.

"Yaelah bengong lagi dia." gumaman kecil itu keluar dari bibir Kaka. Merasa heran karena sedari tadi nyawa Berry seolah sebentar hilang dan sebentar kembali. Seperti signal di musim hujan.

"Gue balik deh Ka, udah siang. Masih ada urusan juga. Nggak balik, lo?" Berry mengalihkan pembicaraan Kaka agar dia bisa cepat pergi dari kampus dan pria itu bersiap untuk melajukan kendaraannya.

"Gue masih betah di kampus tersayang gue ini, Ber, jadi gue di sini dulu aja."

"Ya udah gue duluan ya." Pria itu melajukan motornya setelah menyapa Kaka dengan membunyikan klakson. Dia harus segera pergi dan segera me-refresh otak dan hatinya agar hal yang seharusnya tidak dipikirkan dan dia rasakan bisa hilang bersama angin.

Berry merebahkan tubuhnya di kasur miliknya setelah sampai di rumah. Matanya menutup karena rasa kantuk itu seolah ingin segera dilampiaskan. Sayangnya perutnya lebih dulu bersuara untuk minta diisi. Maka dengan malas dia kembali bangun, masuk ke dalam kamar mandi untuk mengguyur badannya dengan air, barulah pergi ke dapur untuk membuat makanan.

Membuka kulkas, Berry mencari bahan makanan yang mungkin bisa dimasak, sayangnya dia belum berbelanja. Hanya ada telur dan mie instan, jadi dia hanya memanfaatkan dua makanan itu untuk dimasak. Biasanya dia memang menyetok makanan bersama teman-temannya, namun memang dia belum sempat berbelanja, karenanya hanya ada sisa telur dan mie instan saja.

Berry memang tinggal di kontrakan bersama dua temannya. Dia mandiri sejak kuliah dan benar-benar tak merepotkan kedua orang tuanya.

'Kak, urgent.' Sebuah chat dari seseorang membuatnya segera menghabiskan makanannya dan segera menemui pengirim chat tersebut.

*.*

Chapitre suivant