Agar tidak membuat bingung, tolong baca terlebih dahulu (jika berkenan) struktur penulisan di bawah ini :
"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[Kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'Kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu (makna ganda) / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selamat Membaca ^-^
@ @ @ @ @
DARI sekian banyak kalimat yang bisa diciptakan, terdapat kalimat 'Kasar' yang begitu jujur sampai-sampai membuatku berpikir pada perjalananku pagi hari ini.
'Kalau kau tidak punya, maka pinjamlah. Kalau mereka tidak mau, ancamlah mereka dengan cara yang benar'.
Sepertinya kata 'Ancam' hanyalah sebuah klise. Dengan begitu, hanya pelaku sajalah yang mampu mengartikan apa yang dia mau, tapi tidak untuk sang korban. Rekam jejak benar-benar akan terlihat sampai di ujung perjalanan nanti. Siapa yang menjadi pemenang, siapa yang menjadi pecundang.
Dengan pemikiran di atas, sepertinya bisa disimpulkan suatu hal yang penting. Bahwa, karena setiap orang memiliki pola pikir dan pandangan yang berbeda, itu juga berarti setiap orang punya cara yang berbeda-beda untuk memenuhi keinginannya. Entah dengan yang cara benar atau salah. Benar secara niatan atau hanya sekedar perilaku. Itulah intinya.
Hmph, kalimat yang ku ulas barusan yang kutemui di dalam komik tadi malam benar-benar menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Akhirnya aku tidak perlu memikirkannya lagi kali ini.
'FESTIVAL BUDAYA NASIONAL KE-12. PAGELARAN SENI BUDAYA TRADISIONAL. MARI MERDEKAKAN BUDAYA BANGSA'
"Terima kasih. Kalau kau punya sesuatu yang ingin ditunjukkan tentang budaya, boleh ikut partisipasinya, kok."
Selebaran. Kerumunan. Siswa dan siswi yang bersikap ramah. Sepertinya ini adalah acara penting sekolah.
Setibanya diriku di depan gerbang, pagi hari ini rasanya kehadiranku begitu dinanti. Setidaknya dengan mengambil selebaran yang mereka tawarkan, aku bisa mendapatkan senyum pagi dari seorang siswi di depanku ini. Cukup mengesankan.
Setelahnya, aku melanjutkan langkah kakiku lagi dan menemukan Hana yang sedang memegang selebaran dan ikut menawarkannya pada siswa-siswa yang baru datang sepertiku.
"Kau sudah mendapatkannya???"
Sepertinya yang ia maksud adalah kertas yang sedang ku pegang.
"Ah—sudah." angkat tanganku dengan menunjukkan selebarannya.
Ia hanya sedikit mengangguk mengerti. "Mohon partisipasinya, ya Haika." dan menambahkan sedikit senyuman.
Sebagai orang yang terlahir dengan minim kemauan, ajakannya barusan adalah suatu hal menakutkan untukku—walaupun aku tidak begitu paham apakah ajakannya serius atau tidak. Tapi karena dia tersenyum, lebih baik aku balas pula dengan senyumku yang khas lalu melarikan diri.
Aku tidak begitu tahu persisnya, tapi ku rasa memang Hana bukan bagian dari Organisasi sekolah. Mungkin ia hanya diajak oleh seseorang sebagai partisipan semata. Tapi setidaknya itu jauh lebih hebat dariku—bahkan dengan memberikan senyumnya, aku justru melarikan diri.
Jika dilihat lagi, entah memang atau bukan, mungkinkah kegiatan membagi-bagikan selebaran ini memiliki sebuah strategi???
Sepertinya memang.
Jika perempuan yang datang, siswa-siswalah yang mengundang mereka. Dan jika laki-laki yang datang, siswi-siswilah yang mengundang mereka. Termasuk Hana dari kelasku itu.
Ya, ampun. Sekolah adalah benar-benar tempat untuk mencari jodoh.
Camkan Itu!!!
@ @ @ @ @
Kehebohan.
"Baiklah semuanya, kerjakan dengan baik dan dilarang menyontek!"
Pertama. Kudapati Vino tidak masuk hari ini. Mungkin bukan sesuatu kehebohan yang bombastis. Tapi jika itu untuknya, kurasa hal ini setidaknya bisa disebut dengan fantastis. Bukan tanpa alasan, anak pintar yang berprestasi baik dan absensi yang hebat, masuk tanpa adanya keterangan, sama saja seperti cowok keren yang bau, pasti akan selalu menjadi pertanyaan. Namun apapun alasannya, sepertinya ketidakhadirannya memiliki alasan tersendiri. Mungkin ia sedang tidak enak badan atau semacamnya. Jika melihat kondisinya kemarin, mimik wajahnya memang menyiluetkan hal ganjil. Ketidak-beradaannya membuat kursi di depan kosong. Itu sangat terlihat jelas dari belakang.
Kedua.
Setelah bel berbunyi beberapa waktu yang lalu, masuklah seorang perempuan yang menyebut dirinya sebagai seorang guru idaman. Kini ia berada di depan kelas sambil terus berjalan berkeliling mengawasi para domba-domba peliharaannya ini. Termasuk diriku.
Singkatnya, ia memberikan ujian dadakan pada pagi hari ini.
"Mikki. Kerjakan dengan baik, ya." bisikannya benar-benar membuat telingaku ingin meledak.
Walaupun terdengar seperti motivasi, bagiku bisikannya barusan lebih terdengar seperti, "Haha. Kau tidak bisa, ya? Rasakan itu!!!"
Cih. Sebagai 'Domba', aku mengerti peraturannya. Walaupun dengan nada rendahnya, tapi senyumannya benar-benar mengekspresikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Perempuan ini benar-benar bisa mengancam dengan cara yang benar.
Ku ulangi, ia memberikan ujian dadakan pagi ini.
Heboh???
Sudah pasti. Jikalau ada orang yang tidak terpukau dengan kejutan ini, namanya adalah Vino. Tapi sayang hari ini dia tidak mendapatkan jackpot super. Jadi, bisa dipastikan semua domba di sini terbelalak sampai matanya ingin keluar. Ah—tidak-tidak. Kurasa domba yang ekspresinya sampai sebegitunya maksudnya adalah aku. Hanya aku.
Hanya aku.
Sebenarnya bukan itu masalah utamanya. Aku tidak begitu peduli pada ujian dadakannya ada atau tidak hari ini. Tapi hanya saja.....
Ketiga.
Kimia. Kimia adalah mata pelajaran yang tidak memiliki slot didalam otakku. Dengan kata lain, otakku tidak sanggup menyimpan pelajaran kimia menjadi sebuah memori terprogram yang mampu untuk ku terjemahkan. Intinya, aku tidak bisa kimia. Kurasa aku telah membongkar aib ku yang lain.
Sungguh, setelah peristiwa tadi pagi dimana aku mendapatkan sebuah brosur dari seorang siswi, kukira aku memiliki kesempatan yang baik dalam hidupku. Bukan, bukan karena siswi yang menyodorkan brosur itu, tapi tertulis jelas di selebaran itu bahwa acara akbar sekolah akan diadakan 4 Minggu lagi. Dimana acaranya akan berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu. Terlebih aku mendengar desas-desus yang sampai-sampai membuatku merinding senang. Karena acara ini adalah skala Nasional-Provinsi, maka dari itu sekolah inilah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab penuh untuk acarnya nanti. Dengan begitu, kabarnya 1 Minggu sebelum acara, sekolah akan diliburkan dan difokuskan untuk acara akbar ini. Kecuali bagi anggota OSIS dan relawan yang rela bekerja keras untuk ikut andil dalam kesuksesan acara ini nanti.
Mengerti maksudnya???
Maksudku, aku bisa libur setidaknya 1 Minggu karena ini. Dengan banyaknya waktu itu, aku bisa hidup tenteram dan libur panjang. Ya, walau hanya menghabiskan waktu dirumah, tapi itulah tujuan hidupku. Dengan begitu aku bisa membaca persediaan komik milikku dan tidur berjam-jam. Lagipula aku memang tidak punya acara apapun yang bisa kulakukan di luar kebiasaan itu.
Tapi perempuan ini.... walau aku belum tahu hasilnya, setidaknya aku paham akan takdirku hari ini. Dia benar-benar menghancurkannya.
Kicauan-kicauan provokatif terdengar jelas sebelumnya yang menolak ujian dadakan ini beberapa saat yang lalu. Sejujurnya aku juga sefaham dengan itu karena satu alasan. Namun setelahnya, mereka tetap anteng-anteng saja dan mengerjakannya. Lalu mengumpulkannya dengan wajah yang cemerlang.
Mengesalkan.
@ @ @ @ @
"Baiklah. Kalian sudah tahu hasil masing-masing, bukan? Karena kita sudah sepakat, jadi Ibu harap kerja samanya. Dan jangan menganggap tindakan ini sebagai paksaan, lho. Ini acara yang seru kok, kalian bisa punya teman-teman baru dan pengalaman yang baik untuk diri kalian sendiri. Jadi semangat, ya."
Dengan masih di posisi terduduk dan melantunkan perkataan setengah bujuk rayunya, ia hanya di sahuti beberapa senyuman, anggukan serta jawaban semestinya. Kurasa itu sudah cukup.
"Untuk Nawa, Tirta, Sany dan Kinar, setelah pulang sekolah nanti harap temui ibu diruang guru, ya."
"Baik."
"Dan untuk Haika Michi, ikut Ibu sekarang juga ke ruang guru."
Dengan posisinya yang berubah menjadi berdiri, ia berderap perlahan keluar kelas.... dan aku mengekor di belakangnya.
@ @ @ @ @
Seperti kucing penurut yang diiming-imingi makanan oleh majikannya, aku masih berjalan mengekor di belakang guru kimiaku ini.
Setelah melewati lorong sekolah serta banyak ruang kelas, akhirnya tujuan dari perjalanan ini menemui titik terangnya. Kami berdua sudah sampai diruang guru.
Sejujurnya aku tidak terlalu menyukai ruang guru. Karena di sini tergambar jelas akan pola pikir orang-orang dewasa. Tapi setidaknya dengan memasuki ruang guru, mungkin aku terlihat seperti anak teladan yang menjadi panutan anak-anak lain untuk memberikan contoh bagaimana caranya menjadi anak emas dari seorang guru.
Atau itu juga bisa diartikan dengan anak sekolah yang dipanggil keruang guru karena telah bertindak kriminal.
"Baiklah, Mikki. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu."
Dengan menaruh berkas-berkas diatas mejanya, ia langsung menarik kursi dan mendudukinya. Dan aku berada di seberangnya dengan posisi berdiri.
"Karena kau diam saja waktu itu, jadi kau kupastikan tidak keberatan dengan aturan yang ku buat itu, bukan?"
"Tentu saja aku keberatan."
Ini mudah saja. Aku mengenal perempuan ini. Sangat mengenalnya. Namanya adalah Echa. Walaupun dia adalah guruku, dengan latar belakang kami yang tak asing, aku jadi sangat mudah untuk beradu argumen dengannya. Dan untuk peraturannya waktu itu, walau sudah banyak yang memprotes, tetap saja ia mutlak menjadi pemenang.
"Lalu kenapa kau tidak protes?"
[Memang ada gunanya?]
Gayanya yang menopang wajah dengan tangan kanannya diatas meja saat ini, sepertinya dia benar-benar sudah mendeklarasikan perang.
"Jujur saja, ini permainanmu, 'kan?"
"Hmm~" ugh. Dengan wajah datarnya yang sedang menatapku sekaligus jawabannya yang begitu, sepertinya ini adalah tanda-tanda kekalahan. "Tidak. Aku tidak sedang mempermainkan mu. Aku justru sedang mencoba menyelamatkanmu, tahu."
"Apanya??" mungkin ada benarnya, tapi tetap saja apa yang dilakukannya bukan sesuatu yang bisa diterima begitu saja olehku.
"Kau sudah dapat selebaran pagi tadi?"
"Kurasa aku meninggalkannya di kolong meja."
"Kau sudah membacanya?"
"Sudah berkali-kali."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Apa yang ada di dalam pikiranmu?"
"Libur. Libur panjang."
"Tuh 'kan!!!"
Apa yang salah sampai-sampai ia bilang 'Tuh 'kan'? Padahal ia sedang bertanya padaku, bukan? Ekspresinya juga layaknya seseorang yang sedang kalah taruhan.
"Kau benar-benar sudah membacanya 'kan, Mikki?"
"Kurasa aku sudah menjawabnya."
"Lantas kenapa itu jawabanmu?"
"... karena yang kupikirkan memang begitu. Itulah yang terlintas di kepalaku."
Hhhh. Padahal aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. Sangat jujur. Entah kenapa ia justru semakin memberikan nada suara serta mimik wajah yang kesal padaku? Ya, walaupun aku cukup tahu alasannya.
"Seminggu yang lalu sekolah ini diberi tugas penting dari Kementrian Kebudayaan untuk menyelenggarakan festival kebudayaan nasional se-provinsi tingkat SMA. Acara ini dimaksudkan agar generasi muda mengenal sekaligus mencintai budaya mereka sendiri. Kau paham?"
"Uh."
"Karena sekolah ini menjadi tuan rumahnya, pihak-pihak sekolah yang terkait sudah menentukan rumusan masalahnya. Salah satunya dengan membuat serta menyebarkan selebaran yang kau dapat tadi pagi itu. Alasannya sudah pasti mencari anak-anak yang tertarik dengan budaya sebagai partisipan dan mencari relawan untuk membangun acara ini."
Dari pada menjadi guru kimia, ia sebenarnya lebih cocok menjadi guru konseling atau komite kesiswaan. Alasannya, walaupun umurnya masih 23 tahun, ia begitu cerewet seperti ibu-ibu. Benar-benar orang yang sama yang kukenal sejak dulu. Ah—sepertinya alasannya tidak nyambung. Tapi tak apalah, karena aku tahu profesinya adalah seorang guru, aku sangat menghormati tindakannya ini.
"Ya, sebenarnya kau tidak salah, Mikki. Pikiranmu tentang ini adalah permainanku memang bukan sebuah omong kosong. Kau memang hebat."
[Sebenarnya bukan diriku yang hebat. Hanya saja aku sudah mengenal watakmu itu.]
"Memberikan ujian dadakan pagi tadi, tujuannya memanglah untuk menggiringmu ke sini."
[Bukan hanya sekedar menggiring, kau sudah mencetak gol, tahu!]
"Aku tahu kau sangat payah dalam mata pelajaran kimia, Mikki. Maka dari itu, aku mengambil kesempatan yang bagus untukmu."
"Begitukah? Aku masih punya kartu AS ku."
"Hmm?"
Hmph, gestur wajahnya yang hanya bisa mengernyitkan dahinya itu sudah menjadi jalan keluar untukku.
"Begini. Aku mengerti bahwa usaha itu tidak akan pernah membohongimu. Walau aku tidak bisa kimia, walau nilai ulangan kimiaku jelek, setidaknya aku telah berusaha. Aku telah berjuang. Dengan begitu—"
"Sudah cukup. Singkatnya, kau ingin melarikan diri, bukan?"
Sial. Aku tidak punya kemampuan yang cukup untuk bersilat lidah dengannya.
Tapi akan ku gunakan logika sederhana.
".... tidak. Hanya saja kau punya pilihan yang sulit saat ini."
Untung saja ruangan saat ini benar-benar hening. Setidaknya faktor ini cukup mendukung untuk berpikir.
"Kuberikan kau kesempatan untuk mengelak, Mikki. Tapi coba saja."
Wajah percaya dirinya sangat memperlihatkan apapun nanti hasilnya, ia adalah pemenangnya. Ini seperti debat yang sama sekali tidak seimbang.
"Aku tidak bermaksud mengelak ataupun melarikan diri. Aku hanya ingin membuat sebuah pengertian,"
"Kau tak perlu khawatir, Mikki. Aku perempuan yang cukup mudah mengerti, kok."
[Jangan membanggakan kata cukup.] "Karena Vino tidak masuk, kau bisa menggantikan posisiku untuk Vino."
"Hah???"
Sesuai dugaanku, ternyata logika itu tidak berhasil. Dia langsung menjawabnya. Ternyata dia tipe perempuan yang memang mudah untuk mengerti. Dia terlalu pintar. Bahkan ekspresi wajahnya saat ini menggambarkan keheranan akan kepuasan.
"Kau sadar 'kan Mikki alasanmu barusan tidak akan bisa membuatmu lolos!?"
"Ya~, walau kau bilang begitu, sebenarnya aku tidak bermaksud melarikan diri. Itu hanya sekedar pengertian semata. Hanya itu." kurasa aku telah kalah oleh seorang perempuan berusia 23 tahun. Mata tajamnya akan semangat ketidak-percayaan padaku itu benar-benar membuat nyaliku melunak. Sampai jari-jariku ini dengan sendirinya menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana kau bisa-bisanya mengelak dengan opini yang seperti itu? Walaupun Vino tidak masuk, bukan berarti dia mendapat nilai nol. Minggu depan aku akan memberinya ujian mandiri yang sama sepertimu hari ini. Mungkin kau juga bisa menebak-nebak berapa nilai yang akan didapatkan Vino, bukan?"
Tentu. Walau dia ujian paling terakhir nanti, nilainya ku pastikan dialah yang paling tinggi. Jika ada nilai yang melesat tinggi dibatas ambang 100, ku pikir Vino akan mendapat nilai 120.
Kurasa memiliki sebuah poin emas di dalam kehidupan memanglah suatu hal yang menyenangkan. Terserah apa kata orang lain, ketika kau bangga akan poin emas milikmu sendiri, setidaknya kau memiliki teman yang bisa kau terus banggakan.
"Itulah yang kumaksud. Vino adalah anak yang baik dan berprestasi. Tidak sepertiku,"
"Hmm? Mencoba merendah, ya?"
"Kalau dilihat lebih jauh lagi, rasanya tidak mungkin anak teladan dan penurut seperti Vino membuat kesalahan dan keonaran. Dengan menugaskan anak baik sepertinya akan dapat membantu sedikit banyak sebuah masalah. Setidaknya dia tidak akan membuat sebuah keonaran dengan sengaja. Walau kau harus waspada pada orang lain, setidaknya kau bisa percaya pada Vino daripada diriku. Karena kau tahu watakku, kurasa kau paham aku bisa saja berbuat hal semauku kapan pun."
Perempuan ini benar-benar pendengar yang baik.
"Satu hal lagi—"
"Aku percaya padamu,"
???
Apa yang dia katakan barusan? Padahal aku sudah memasang wajah seorang pria yang menginginkan balas dendam lho. Tapi karena omongannya yang mengagetkan, aku hanya bisa mengerjap menatapnya.
"Aku percaya padamu. Lagi pula aku yakin kau tak mau repot-repot melakukan sesuatu yang ujung-ujungnya justru membuatmu semakin repot nantinya. Contohnya membuat onar. Kau takkan melakukan hal semacam itu. Kau itu tipe orang yang menginginkan kehidupan yang datar dan membosankan,"
Setelah ia membuatku terbang tinggi, ia langsung menjebloskanku lagi ke dalam kata-kata yang menyakitkan itu.
"Jadi aku yakin kau takkan pernah melakukan sesuatu yang akan merugikanmu."
Kalau bisa dibilang, pernyataannya barusan memanglah ideologiku. Aku takkan menyangkal ucapannya yang penuh kebenaran itu.
"Sebenarnya itu terserah pendapatmu saja. Tapi aku hanya bingung kenapa kau percaya padaku."
"Karena kau adalah laki-laki yang baik. Ku harap kau belum berubah, Mikki."
Apa-apaan orang ini? Apa dia suka laki-laki yang lebih muda darinya? Atau dia hanya ingin melihat ekspresi aneh dari laki-laki yang salah tingkah?
"Tidak-tidak. Aku masih sama seperti dulu kok. Masih memukau dan mempesona. Barusan kau mengatakannya 'kan?" percaya diri adalah hal yang penting. Sangat penting. Bahkan aku sampai pose segala.
Seulas senyum terpancar di bibirnya. "Bercanda."
Pastikan satu hal. Terlalu percaya diri akan membuatmu malu. Itu semacam pil kebodohan.
"Ya. Aku juga tahu kau sedang bergurau. Haha. Hmph."
Untung saja aku mengenal orang ini. Dia adalah orang yang baik. Aku yakin dia akan memaklumi dan merahasiakan ekspresi pongo ku ini.
Senyumnya kembali muncul. Aku tidak yakin itu adalah senyum mengejek. Terlihat alami. Tapi sayangnya dibarengi dengan dengusannya. "Jadi bagaimana?"
Biar kuluruskan.
"Relawan adalah pekerjaan yang terpuji. Dengan menolong orang atau bekerja untuk sesuatu yang memiliki tujuan baik, terlihat jelas bahwa orang-orang yang terlibat di sana memiliki pribadi yang jelas. Dengan masuknya pribadi yang bobrok, tentu itu jelas-jelas mengotori kesucian kata 'Relawan' itu sendiri."
"Kau sedang membuat pengertian atau memang menghina dirimu sendiri, Mikki!??"
[Jangan membaca pikiranku.] Pelarian yang mudah. Aku hanya bisa menjawabnya dengan memutar bola mataku ke langit-langit.
"Hhh. Padahal ini kesempatan bagus untukmu, Mikki. Padahal aku sudah capek-capek memikirkan rencana ini matang-matang untukmu, tahu!"
Kau memikirkan dan mempersiapkan semua ini hanya demi diriku yang kotor ini?? Aku sangat terharu sekali, Bu Echa. Semoga kau mendapatkan suami yang pengertian.
"Aku memang tidak bisa bohong kalau ujian dadakan pagi ini hanya untuk menggiringmu ke sini, Mikki. Aku berencana untuk mengadakan ujian dadakan hari ini. Dimana 5 orang dengan nilai terendah akan ku hukum menjadi relawan untuk acara festival budaya nanti. Karena nilai Kimiamu selalu jelek, selaku gurumu, aku sangat tahu itu." dan inilah kehebohan yang keempat.
"Terima kasih atas doronganmu itu, Bu Echa."
"Jangan membuatnya terdengar seperti hinaan, Mikki. Sebagai guru dan wali kelasmu, tentu aku punya tanggung jawab terhadap anak-anakku sendiri."
"Ya. walau kau bilang 'Anak', sepertinya kau harus lebih dulu mencari aya-"
Bip. Tidak, mungkin harusnya, Duaaar. Ya, sebelum aku menyelesaikan pembicaraanku, ia langsung meraih tanganku dan mencubitnya sampai berdarah-darah—mungkin hanya memar saja.
"Sudah cukup. Intinya, kenapa kau begitu terlihat seperti orang yang sudah tua sekali? Padahal kau masih kelas 1 SMA, kau masih muda, masih remaja. Harusnya dirimu berada dalam siklus yang semangat-semangatnya, tahu. Harusnya masa remaja itu penuh dengan warna dan berapi-api."
"Kalau yang Bu Echa maksud dengan berapi-api adalah 'itu', kau juga masih berapi-ap—"
Boom. Aku harus melaporkan ini ke Komisi Perlindungan Anak sepulang sekolah nanti.
"AKU BARU LULUS SMA 6 TAHUN YANG LALU. KAU MENGERTI???"
Sepertinya perkataanku barusan telah membuat gempa bumi yang dahsyat. Tim evakuasi tolong aku.
"[Cih, nambahin kata 'Bu' lagi. Emangnya aku setua apa!]"
Perempuan ini menggerutu tidak jelas. Dia sedang ngomong apa, sih?
"Ah, hukuman tetaplah hukuman. Mau tidak mau kau harus menerimanya, Mikki. Aku tak mau dengar sanggahan, pengertian atau penolakan lagi darimu."
Baiklah. Sekarang aku mulai paham tentang perempuan. Jika dia meminta sesuatu pada laki-laki, apapun alasannya mereka harus melakukannya dengan senang hati, terserah hati mereka senang atau sedih, tapi seperti itulah intinya.
Kurasa ini berlaku untuk segala jenis situasi dan kondisi.
"Ada satu pertanyaan untukmu. Tolong jawab dengan sungguh-sungguh."
Tidak ada pilihan lain.
"Kau mengerti bukan bahwa acara ini begitu penting bagi kaum muda sepertimu? Lalu kenapa bukan menyambutnya dengan tangan terbuka, justru yang kau pikirkan malah libur panjang, Mikki?"
Di sinilah masalahnya.
"Sebagai kaum muda, aku cukup mengerti kata itu penuh dengan banyak makna. Menolong, membaur dan berbagi dengan yang lainnya. Tapi kurasa Ibu mengerti seperti apa diriku ini. Enggan membantu acara seperti ini dan tidak tertarik pada budaya sendiri memang terdengar seperti perilaku yang buruk, kepribadian yang bobrok. Aku tidak mengharap banyak, tapi diriku adalah salah satu kaum muda yang bobrok itu."
Aku tidak mengharap banyak, bukannya budaya bangsa yang tidak elegan atau menawan, tapi letak kesalahan di sini jelas-jelas hanyalah kepribadianku saja yang busuk. Jadi aku tidak masalah jika disebut bobrok.
"Hmm~, begitu, ya? Kau mengatakan hal yang ingin ku dengar, Mikki."
Heh???
"Seperti yang kau inginkan, aku akan memberikanmu kesempatan bagus untuk mengenal budaya sendiri dan kehidupan bermasyarakat mulai dari sini. Di titik ini, kau akan mencoba hal yang sebelumnya tidak pernah kau coba. Dirimu akan merasakan sesuatu yang belum kau rasakan sebelumnya, dan melihat hal yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Tidak adil jika kau bilang tidak suka sebelum mencobanya, bukan?"
Uwaah. Tidak seperti pola pikirku yang busuk, pola pikirnya sama sekali tidak bisa kutebak. Kukira beliau akan marah atau kesal, tapi ia malah tersenyum dengan raut wajah penuh harapan padaku.
Perempuan memang seperti rempah-rempah yang memiliki jutaan rasa.
"Kau tidak bisa mencintai suatu hal jika belum melihat dan memahami hal tersebut. Mulai saat ini, aku yang akan bertanggung jawab untukmu. Oke, Mikki??"
[Memangnya aku punya pilihan lain?] "Dari awal kau memainkan permainan ini, aku sudah siap untuk segalanya."
"Bagus dong,"
[Memang tidak terlalu buruk.]
"Aku akan membagi 2 kelompok. Aku akan memasukanmu ke divisi I perlengkapan bersama Hana dan Tirta. Dan 3 sisanya akan masuk ke divisi II perlengkapan." hadiah darinya ini untukku terasa mengganjal.
Aku ingin memastikan sesuatu padanya. "Bolehkah aku bertanya?"
"Tentang apa?"
"Kenapa kau memasukanku ke kelompok yang menyusahkan? Bisakah aku masuk divisi keamanan yang lebih mudah?"
Sebenarnya aku tidak berniat bilang divisi keamanan adalah hal mudah, bagiku semua divisi sama-sama merepotkan. Libur sebenarnya adalah pilihan terbaik.
"Sudah kubilang tujuanmu disana untuk apa, kan? Aku sudah memikirkannya matang-matang, jadi kau tidak perlu khawatir."
[Justru yang ku khawatirkan adalah pola pikirmu yang tidak bisa ku tebak itu.]
"Lagi pula akan lebih mudah mengawasi kalian berenam jika di dalam satu divisi yang sama. Dan pastinya akan lebih menyenangkan bila ada seseorang yang sudah kau kenal sebelumnya, kan?"
Mau bagaimanapun, nasi sudah menjadi bubur. Ini semua salahku yang tidak becus mengerjakan ulangan Kimia pagi ini. Jadi akan kuterima masalah ini.
"Aku akan bilang pada Hana dan Tirta bahwa kau satu divisi dengan mereka. Jadi mulai sekarang, mohon bantuan dan kerja samanya, ya, Mikki."
Tenteram, damai, sunyi. Waktu yang kuinginkan itu sudah pasti lenyap pas waktunya nanti. Tak kukira, bahkan untuk orang seperti ku punya kesempatan untuk merasakan panas dinginnya siklus kehidupan.
Aku memang tidak tertarik pada hal-hal yang berbau seperti ini. Tapi bukan berarti aku tidak penasaran apa yang akan terjadi nanti jika aku melakukannya. Tapi ini juga bukan berarti aku menantikannya. Intinya, aku tidak mau ambil pusing. Jika nantinya aku berguna, peralat saja diriku sampai titik darah penghabisan. Tapi jika tidak berguna, kurasa mereka harus mengerti seperti itulah diriku ini.
"Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal lagi,"
Ini hanya kewaspadaanku saja.
"Soal apa??"
"Apa kau tidak khawatir menugaskan tugas ini pada orang secara acak???"
"Sebagai guru, aku akan memastikan hal-hal baik apa saja yang harus ku berikan dan tidak. Tentu aku berharap banyak, terutama padamu, Mikki."
"Begitu, ya?"
Jika orang dewasa sudah bertindak, hampir bisa dipastikan mereka telah memikirkannya matang-matang. Karena diriku masih dalam masa tumbuh kembang, kurasa aku tidak bisa menyanggah apapun yang orang dewasa inginkan.
Mungkin ini adalah salah satu hukum alam.
Selepas percakapan yang berat sebelah itu berakhir, beliau menyuruhku kembali ke kelas. Dengan penuh rasa penyesalan pun, aku hanya bisa berderap keluar ruangan sambil merenungi hari liburku yang dicabut paksa itu. Tak hanya itu, beliau memberikan sebuah tugas merepotkan untukku sebagi hadiah dari kebodohanku hari ini.
Itulah kesimpulan dari percakapan antara guru dan murid barusan.
"Mikki, kalau kau butuh sesuatu bilang saja padaku. Aku akan membantu." kata-kata manis itu pun keluar sebelum dia kehilangan wujudku yang berjalan seperti zombie.
"Uh."
Jika aku membutuhkan sesuatu darinya, yang kuinginkan adalah beliau melupakan semua yang terjadi hari ini. Dan membebaskanku dari perintahnya yang keterlaluan untukku itu.
Tapi kurasa itu takkan bisa.
Hanya dalam beberapa menit saja....
Siklus kehidupanku yang panas, berubah menjadi sangat panas.
End.
*****
Terima kasih yang sudah menyempatkan diri untuk membaca.
Terus pantengin untuk kelanjutan bab-bab berikutnya, yaw.
Berikan komentar dan vote kalian sebagai bentuk dukungan untuk novel ini.
Salam.