Setelah mereka makan, dan perut Mawar sudah keyang mereka meninggalkan tempat makan mereka setelah membayarnya. Mereka terus berjalan tanpa menghiraukan terik matahari yang menyengat dan keringat yang membasahi pelipis dan baju mereka. Sekali kali Mawar mengeluh capek dan menanyakan apakah masih lama.
Setelah mereka lama berjalan, tibalah mereka di tempat pemakaman umum. Alifah langsung kemakam ayahnya yang berada tidak jauh dari gerbang masuk.
"Ayah...Alifah harus bagiman?? Alifah bingung ayah. Alifah takut menyerah dan jadi orang yang berputus asa" Keluh Alifa dalam hatinya. Sebisa mugkin ia tidak meloloskan cairan kristal bening yang akan menjadi sungai di pipinya. Ia tidak ingin memperlihatkan air matanya pada Mawar. Cukup lama ia mengadu pada ayahnya. Setelah mengantarkan surah Alfatiha dan doa untuk ayahnya mereka meninggalkan makam, dan melanjutkan tujuan selanjutnya, yaitu mencari rumah kontrakan. Dan berharap tempatnya tidak di ketahui oleh panagih utang. Meskipun tempatnya jauh dari sekolahnya. Dan tanpa sepengetahuan mereka, ternyata mereka di ikuti oleh mobil berwarna merah sedari tadi.
***
Dalam restoran cepat saji dengan suasana pengunjung yang hampir di katakan hanya bisa di hitung jari, karena memang jam makan siang sudah terlewat, Alifah duduk berhadapan dengan seoarang wanita modis nan elegant. Wajahnya cantik terawat meskipun usianya sudah memasuki kepala empat. Kepala tertutupi kerudung sampao batas dada. Dan diberi gaya secantik mungkin tapi ribet menurut Alifah. Lain halnya dengan Mawar, sedari tadi dia memperhatikan ibu cantik yang ada di hadapan sang kakak, ia teringat momynya. Mungkin semuran dengan momynya. Dalam hatinya menjerit bahwa ia sangat rindu, dan berharap segera di temukan oleh momy dedy dan kakak kakaknya. Sudah hampir satu tahun lebih dia berpisah dengan keluarganya "Momy...dedy...kak Farel, kak Alifah, Adik kangen".
***
Dilain tempat yakni Alif sedang memandangi wajah renta eyangnya. Sisa sisa kecantikannya masih terlihat jelas di wajar keriputnya. Bayangnya terbang jauh berkelana saat ia masih kecil, bagaimna sang eyang memanjakannya di saat saat mama cuek terhadapnya. Bahkan ia mengemis kasih sayang mamanya. Sedangkah sang ayah hanya punya waktu jika berada di rumah saja. Sebahagian waktunya di luar rumah. Kantor dan luar daerah. Jadi eyanglah yang berperang penting terhadap masa pertumbuhannya.
Dan melihat eyangnya terbaring lemah dengan canula selang O2 (oksigen) di hidungnya, hatinya perih. Takut jika eyangnya kenapa kenapa.
"Eyang cepat sembuh dong!! Alif sama siapa jika eyang kaya gini. Siapa yang akan perhatian lagi sama Alif, eyang. Bangun dong. Jangan buat Alif takut. Alif janji eyang, apapun yang eyang minta Alif akan lakukan, tapi eyang harus sembuh. Bangun eyang, Alif mohon" keluh Alif. Air matanya meluncur. Dia tidak peduli harus di katakan cengeng jika ada yang melihat air matanya.
Dan sekelabat bayanga Alifah sahabatnya juga ikut nibrung dalam otaknya. Bagaimana jika eyangnya sadar dan kembali menawarinya untuk menikah dengan cucu sahabatnya? Apakah kali ini ia bisa menolaknya? Tapi hanya Alifah yang dia mau nikahi, hanya dia yang bisa jadi kandidat calon istrinya. Meskipun sayang dia ke Alifah bukan sayang sebagai laki laki ke ceweknya, tapi setidaknya dia dan Alifah sudah lama saling mengenal, tidak masalah jika hubungannya menjadi hubungan suami istri. Tamparan Alifah juga membuatnya bertanya tanya sampai sekarang. Raut wajah Alifah juga membuatnya heran, dan bagaiman pun ia mengajak otak cerdasnya berfikir dia tidak mendapatkan jawabannya..
***
"Kenapa ibu menawari saya seperti ini. Maaf buk saya tidak bisa bersandiwara. Saya bukan artis" Tegas Alifah. Hatinya jengkel. Bisa bisanya ibu yang tidak di kenalnya menawarinya untuk bersandiwara, dia harus mengaku bahwa dia adalah cucu yang di cari ibu mertuanya. "Maaf bu, saya permisi ayo Mawar kita pergi" katanya sambil menarik tangan adiknya.
"Jangan egois. Pikirkan adikmu jika kamu menolak tawaranku." Cegah si ibu cantik menghentikan langkah Alifah. "Saya tidak menyuruhmu berbohong, cukup perlihatkan foto ini sama mertua saya. Setelah itu kita liat selanjutnya apa yang akan terj...." sambungnya masih mencoba membujuk.
"....apakah membiarkan ibu mertua anda mengira saya adalah cucu teman anda tidak di katakan berbohong??"
"Dengar,,,saya tau kamu kesusahan dan sedang bingung. Saya cuma mau membantumu dan kamu jugu harus membantuku. Saya mohon. Ibu mertua saya sedang sakit, "
"Maaf itu bukan tanggung jawab saya" tolak Alifah sekali lagi. Ibu ini tidak menyerah, dirinya juga tidak boleh goyah.
"Baiklah kalau kamu menolak. Sepertinya saya juga tidak bisa memaksa kamu. Tapi coba kamu fikir, apakah jika kamu memilih di penjara kamu membiarkan makam ayahmu di bongkar, dan tidak menutup kemungkinan adik kamu yang manis ini jadi prestitusi anak? Atau kamu mau jadi pelayan Bar di diskotik dan bisa jadi kamu akan di jadikan pelacur hidung belang." Kata kata ibu ini membuat mata Alifah terbelalak kaget.
Bagaimana ibu ini bisa tau masalah yang di timpahnya. Ia ingin memberi sanggahan tapi kata katanya hanya sampai di teggerokan. "Ok, berbohong dalam islam memang tidak di bolehkan apapun alasannya. Tapi memilih tawaran saya itu lebih mending di banding jika kamu di penjara atau jadi pelacur"
Alifah masih diam. Belum tau harus berbicara. Dan sesungguhnya dia mulai goyah, yang membuat seyum ibu itu berkebang, sepertinya rencananya mulai berhasil.
"Ambil ini dan bayar utangmu segera. Setelah itu kamu ke rumah sakit Kasih bunda. Ini alamatnya"
"Dari mana ibu tau masalah yang saya alami?" Tanya Alifah mengabaikam kartu rekening dan selembar alamat yang sodorkan padanya.
"Itu masalah yang gampang untukku. Dari tadi saya mengikutimu dan maaf akan hal itu. Sekarang yang penting kamu mengambil ini, tapi sebelum itu kamu tanda tangani ini agar kita tidak ada yang di rugikan. Dan terserah kamu, berapa yang kamu butuhkan saya akan menambahkannya di rekening ini.
"Tapi jika ketahuan oleh ibu mertua ibu, apa saya harus mengembalikan uang yang ibu kasi?" Pertanyaan Alifah sontak membuat ibu Tania alias ibu modis yang ada di hadapan Alifah bersemangat. Bahagia rasanya jika Alifah bisa membantunya.
"Cukup kamu perlu pergi dari kehidupan kami. Sisanya biar jadi urusan saya. Dan tidak usah mengembalikan uang itu. boleh memiliki sisanya. Ini tanda tangani sekarang."
"Saya belum menyetujuinya" cicit Alifah merasa tak yakin dengan ucapannya.
"Jangan jual mahal" sindir ibu Tania, Mulai kesal dengan Alifah yang punya harga diri yang tinggi.
Sepertinya Alifah memang tak bisa menolah tawaran bu Tania. Air matanya tumpah. Istigfar ia panjatkan beribu ribu agar pemohonan atas dosanya. Sungguh ia terpaksa melakukan ini.
***
Alif begitu kaget saat mamanya tiba dengan Alifah, patnernya jika olimpiade. Orang tak sengaja ia lempari kapal pesawat yang berisikan lamaran untuk sahabatnya.
"Kenapa kamu di sini? Apa yang kamu lakukan disini ?" Tanya Alif, matanya tidak pernah lepas dari sosok gadis yang memakai pakain terusan. Yang di tanya hanya diam menunduk. Ia tidak kalah syok dari Alif, ternyata ibu tania Mamanya Alif. Andai dia tau bu Tania mamanya Alif, dia pastikan dirinya tidak mungkin berada di sini. Tapi nasi sudah jadi bubur, dia tidak boleh mundur.
"Ini Alifah, in..."
"Iya saya tau...tapi apa yang dia lakukan ma? Tanya Alif. Jangan bilang kalau Alifah adalah cucu temannua eyangnya.
"Dia...cucu temannya Eyang." Jawab mamanya santai.
"Apa??" Kaget Alif tak terima, mustahil tak mungkin dan lain lain. Tatapannya menajam pada Alifah. Dan yang di tatap masih menunduk menyembunyikan kegugupannya. Tangannya dingin tak di Aliri oleh oksigen, ini di luar dugaannya dan ia tak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi ini. 'Ya Allah selamatkan hambah. Meski Engkau kecewa padaku, tapi ku mohon selamatka hamba' jeritnya dalam hati. Keringat di pelipisnya mulai bermunculan sebesar biji jagum. Jantungnya bermain musik entah berirama seperti apa, yang jelas ia merasakan jantungnya akan kabur meninggalka tempatya.
"Bilang sama Alif Ma, kalau ini enggak betul". Jerit Alif matanya belum lepas dari Alifa.
"Itu betul" jawaban mamanya bagaikan sambaran petir bagi Alif. Dan satu hal yang pasti dia tidak terimah kondisi ini.
"Katakan, kamu di bayar berapa oleh mamaku" tanya Alif dingin dengan mata elangnya. seandainya mata Alif memiliki kekuatan penghancur sesuatu, mungkin Alifah sudah hancur. Dan sontak saja pertanyaan Alif membuat Alifah mendongak keatas, kaget dengan pertanyaan Alif. Apakah dia sudah ketahuan? Semudah itu? Bahkan ia belum bereaksi dia sudah harus menyelesaikan sandiwaranya? Senyum bahagia dia sembahkan ke Alif, sangat cantik membuat Alif tertegun beberap detik. Berarti dia tidak perlu berbohong dan uangnya tidak di kembalikan dan dia juga sudah bisa melunasi utangnya. Tatapan mereka beradu, dan setan mulai bereaksi ingin menjerumuskan.
"Astagfirullah" jerit Alifah dalam hati memutus kontak matanya dengan Alif. Sementara Alif sendiri masih terlena dengan senyum Alifah, bayangannya tidak bisa enyah dalam otaknya. Meskipun Alifah kembali menatap lantai. Seakan lantai lebih tampan dari Wajah Alif. Dan pertanyaan tadi sempat di lupakan. "Kenapa kamu tersenyum, apa kamu bahagia bahwa kamu sudah di temukan. Apa kamu bahagia akan menjadi menantu keluargaku? Apa kamu sebegitu senangnya akan jadi suami saya?" Tanya Alif beruntung.
Lagi lagi pertanyaan Alifah membuatnya mendongak, kaget syok. 'Menantu?? Suami?? Maksudnya??'
***