Sekali pandang, Ify sudah tahu jika Rio termasuk orang yang berada. Perumahan ini termasuk perumahan yang elit, dimana para penghuninya adalah kaum golongan atas. Dari ukuran rumah Rio yang sangat besar dan segala fasilitas yang tersedia. Namun satu yang janggal, rumah ini sangat sepi seperti tak berpenghuni.
"Dimana orang tua kamu?" tanya Ify begitu mereka tiba di depan gerbang rumah Rio.
"Kenapa kamu nanyain mereka?" tanya Rio dengan nada sedikit berbeda. Jika Ify bisa menebak, ada kesedihan yang terkandung di dalamnya.
"Penasaran aja, rumah kamu sepi banget."
Ify memandang sekeliling, sebelum langkah kaki membawanya semakin masuk ke rumah Rio.
"Gimana masuknya?" tanya Ify dengan bingung.
"Lewat pintulah! Emang kamu bisa nembus tembok?"
"Kayaknya nggak ada orang, deh!" Ify memberikan asumsinya. Memang tidak bisa di pungkiri, suasana yang sunyi senyap membuat siapapun langsung bisa menebak bagaimana kondisi rumah ini.
"Ada bibi!" ucap Rio.
Ify mendekat ke pintu dan menekan belnya. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya tampak membukakan pintu dengan raut keheranan.
"Nyari siapa ya, Non?"
Ify menoleh ke arah Rio, tetapi pemuda itu malah mengedikkan bahunya. Benar-benar Ify ingin mencekik pemuda itu biar mati dua kali.
"Emmm, saya temannya Rio. Boleh saya bertemu Rio?"
Raut wajah wanita paruh baya itu berubah, ada sendu yang menggelayuti matanya.
"Silahkan masuk!"
Ify mengikuti langkah wanita paruh baya itu masuk. Rupanya ia dibawa ke ruang tamu yang persis berhadapan dengan taman belakang. Memang berbeda dengan rumah-rumah pada umumnya. Jika biasanya ruang tamu terletak di depan, maka rumah Rio ruang tamunya terletak di belakang, dengan dinding kaca yang langsung mengarah ke taman belakang.
Ify sempat terpana, rumah Rio benar-benar mewah, bahkan ia bisa melihat berbagai tumbuhan bonsai yang di atur sedemikian rupa hingga membentuk dekorasi yang unik. Beberapa pohon bonsai itu juga sedang berbuah, hingga tampak warna-warna yang indah. Air mancur yang jernih tepat berada di tengah-tengah. Jika saja Ify tidak ingat tujuannya ke sini, pasti ia sudah berlari ke taman belakang untuk mengambil foto.
"Ini, Non minumnya!"
Ify tersentak kaget saat sang Bibi tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya dengan nampan minuman yang sudah berpindah ke meja.
"Emmm, Non belum tahu?" tanya sang Bibi membuka pertanyaan.
"Tahu apa, Bi?"
"Den Rio sudah meninggal, Non! Satu minggu yang lalu."
Ify yang sebenarnya tidak terkejut, memasang ekspresi terkejut yang terlalu berlebihan.
"APAAAA?!!"
Suaranya melengking membuat sang Bibi menutup telinganya. Rio yang ada di situ berdecak.
"Nggak usah terlalu berlebihan!"
Ify melirik Rio sinis, melarang ikut campur.
"Bibi nggak bohong, kan?"
Sang Bibi menggeleng. "Saya nggak bohong, Non! Den Rio meninggal satu minggu yang lalu, padahal sehari sebelumnya Den Rio masih menyuruh saya untuk masak sayur sop kesukaannya." Mata sang Bibi berkaca-kaca hingga butiran bening itu jatuh di pipi keriputnya.
Ify yang pada dasarnya mudah baperan, ikut berkaca-kaca. Sesekali mengusap pipinya seolah menangis, padahal tak ada satupun air mata yang jatuh.
"Memangnya Rio meninggal kenapa, Bi?"
"Den Rio dibunuh, Non! Di tembak kepalanya," jelas sang Bibi di sela isakannya. Terlihat jelas jika ia begitu kehilangan anak majikannya itu.
"Lalu, siapa yang bunuh Rio, Bi?"
Sang Bibi menggeleng. "Sampai saat ini, tidak ada yang tahu, Non."
"Memangnya tidak dilaporkan ke polisi?" tanya Ify penasaran. Bagaimana bisa kasus pembunuhan sebesar itu lepas begitu saja?
"Sudah, Non. Tetapi polisi tiba-tiba saja menutup kasusnya dengan alasan bukti yang kurang kuat. Padahal saya melihat sendiri kepala Den Rio berdarah."
"Orang tua Rio?" Ify bertanya ragu, ekor matanya melirik ke arah Rio yang tengah menatap ke arah kebun. Seolah tak peduli dengan obrolan mereka berdua.
"Semenjak Den Axel meninggal, Tuan dan Nyonya sangat jarang pulang, apalagi saat Den Rio meninggal, mereka malah bertengkar hebat dan pergi begitu saja. Sampai saat ini mereka juga tidak pulang."
Ify tertegun, ia tidak mengira jika ada orang tua yang begitu tega dengan anaknya.
"Axel, siapa?" tanya Ify begitu sadar nama asing yang diucapkan sang Bibi.
Bukannya menjawab, sang Bibi malah memandang Ify dengan curiga.
"Bukannya Non temannya Den Rio? Harusnya Non sudah tahu kalau Den Axel itu Kakaknya Den Rio?"
Ify gelagapan, ia sama sekali tidak menyangka jika pertanyaannya akan menjebak dirinya sendiri.
"Saya berteman dengan Rio belum lama, Bi. Baru satu bulan yang lalu," Ify mengarang untuk menutup kecurigaan sang Bibi.
"Pantas saja kalau begitu."
Ify menghela napas lega saat sang Bibi mempercayai ucapannya begitu saja.
"Emmm, saya boleh ke taman belakang, Bi?" pamit Ify setelah mendapat kode dari Rio untuk pergi ke taman belakang.
"Mau apa Non ke taman belakang?" tanya sang Bibi kembali curiga.
"Tamannya sangat indah, Bi. Ini pertama kalinya saya ke rumah Rio dan kalau boleh, saya ingin mencari tahu siapa pembunuh Rio," Ify mengutuk dirinya sendiri. Apa hubungannya taman yang indah dengan mencari tahu pembunuh Rio?
Sang Bibi tampak mengangguk-angguk. "Silahkan, Non. Bibi tinggal ke dapur dulu!"
Ify mengangguk. Setelah sang Bibi pergi ke dapur, Rio mulai bersuara.
"Ikut aku!"
Tanpa banyak kata, Ify mengikuti langkah Rio menuju taman belakang. Baru saja menginjakkan kakinya, Ify bisa merasakan hawa sejuk langsung menyambutnya. Ini benar-benar segar, apalagi untuk kota Jakarta yang terkenal padat dengan polusi.
"Di sini aku dibunuh." ucap Rio sambil menghentikan langkahnya, membuat Ify yang mengikuti dibelakang terkejut dan mengerem langkahnya. Ia lupa satu fakta, jika Rio bisa tembus hingga ia tak perlu takut menabrak Rio yang berhenti tiba-tiba.
Ify mengedarkan pandang ke sekeliling. Taman ini terlalu indah untuk jadi tempat pembunuhan. Namun entah mengapa, Ify merasa ia akan menemukan petunjuk di sini, sehingga ia terus berkeliling sambil matanya mencari apapun yang bisa ia jadikan petunjuk.
Selama dua puluh menit memutari taman, Ify tak juga menemukan petunjuk. Ia menghempaskan bokongnya ke tanah rerumputan. Kakinya terasa pegal karena berjalan terlalu lama.
"Capek?" tanya Rio yang tiba-tiba sudah duduk di samping Ify.
Ify mengangguk. "Tamannya luas banget," keluh Ify sambil menyeka keringatnya.
"Taman yang luas, rumah yang besar, pasti kalau mau apa-apa kamu bisa langsung beli," gumam Ify lirih.
Rio terkekeh, menertawakan hidupnya sendiri. "Buat apa uang banyak rumah besar kalau kebahagiaan nggak ada."
Ify terkesiap. Ia teringat percakapan dengan sang Bibi yang jika bisa disimpulkan hubungan keluarga Rio kurang harmonis.
"So--sorry, aku nggak maksut ..."
"Udahlah, toh aku juga udah mati, nggak butuh itu semua." Pandangan Rio menerawang jauh, mengingat masa-masa saat ia masih hidup. Memang semua keperluan bisa langsung ia beli, bahkan ia tak perlu bersusah merengek, uang saku yang diberi oleh orang tuanya bahkan lebih dari cukup untuk ia bersenang-senang setiap hari. Satu yang tidak ia dapatkan, kasih sayang dari orang tuanya.
Ify terdiam, semua ucapan Rio terasa menohoknya. Ia selama ini kurang bersyukur dengan kehidupannya. Padahal, ia memiliki keluarga yang selalu ada untuknya, meski untuk ukuran materi memang ia hanya berkecukupan, tidak lebih.
Memang benar seperti pepatah yang ia dengar, jika tak ada yang sempurna di dunia ini. Rio yang memiliki segalanya, ternyata tak bahagia. Semua yang dilahirkan selalu memiliki kekurangan dan kelebihan. Ia sadar, selama ini ia hanya kurang bersyukur saja dengan semua yang terjadi padanya.
"Eh, apa ini?" Ify merasakan punggunya agak sakit seperti ada yang mengganjal saat ia mencoba merebahkan tubuhnya.
Ify mengambil benda yang membuatnya punggungnya sakit.
"Gelang? Ini punya kamu?" tanya Ify kepada Rio.
Rio menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku nggak pernah pakai gelang."
"Terus gelang siapa? Pacar kamu?"
Rio kembali menggeleng. "Dea nggak pernah punya gelang seperti itu."
"Terus ini punya siapa? Keluargamu mungkin?"
"Bukan. Aku baru melihat gelang itu," jawab Rio dengan yakin. Ia sendiri juga heran bagaimana bisa ada gelang seperti itu di taman belakang rumahnya.
"Jadi ..."
Ify menggantungkan ucapannya sambil menatap Rio.
"Jadi apa?" tanya Rio penasaran.
"Mungkin ini bisa jadi petunjuk," ucap Ify sambil menyimpan gelang itu di saku celananya.
****
See u next chapter 👋👋
Thanks
_Dee
Sidoarjo, 08 Maret 2020