webnovel

Sebuah Arti

Setelah sampai di depan kontrakan, Yoga kembali memandang ke arah Meta yang tampak masih terlelap. Kemudian dia teringat tentang benda yang baru saja ia beli tadi. Dia pun membuka kantung belanjaan yang ada di kursi belakang, mengambil kotak beludru itu, dan mengambil sebuah kalung yang ada di sana. Pelan Yoga memasangkan kalung itu di leher Meta, bahkan dia harus melakukannya sangat hati-hati. Melihat jika Meta selalu bergerak-gerak gelisah ketika leher jenjangnya tersentuh kulit Yoga, setelah kalung itu melingkar manis di leher Meta, Yoga pun tersenyum dalam diamnya. Sambil memerhatikan Meta untuk beberapa saat. Rupanya, wanita yang ada di sampingnya ini begitu sempurna mengenakan benda mahal ini. Bahkan Yoga tak pernah tahu, jika ada wanita yang bahkan nyaris tanpa celah seperti Meta. Untuk sejenak, Yoga mengambil ponselnya, diam-diam memotret Meta. Setelah melihat Meta kembali bergerak-gerak dengan gelisah, buru-buru Yoga memasukkan ponselnya. Memandang lurus-lurus ke arah jalan, sembari menyenderkan punggungnya di kursi.

"Udah nyampek?" tanya Meta, mengucek matanya sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Oh, udah," katanya lagi. Turun dari mobil Yoga kemudian melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Tanpa pamit, dan tanpa mengatakan apa pun kepada Yoga. Bahkan, nyawanya pun belum sepenuhnya terkumpul.

"Kamu tahu jalan pulang, kan?" tanya Yoga sebelum ia pergi. Sekadar mamastikan, apakah wanita itu sudah sepenuhnya sadar dari tidurnya atau belum. Sebab, dia hanya diam saja selain bergumam tadi. Dan lebih dari itu adalah, jalannya masih sangat sempoyongan. "Jadi pulanglah sendiri," lanjutnya.

Meta hanya mengangguk, kemudian dia masuk. Namun saat Yoga mau menjalankan mobilnya, sebuah mobil berwarna silver itu pun berhenti. Si empunya turun sambil mengetuk pintu mobil Yoga.

"Ga, buka!" katanya. Dengan nada terburu, seolah dia tidak ada waktu lagi bertemu dengan Yoga selain saat ini.

Yoga pun menuruti permintaan yang mengetuk kaca mobilnya, membuka pintu mobil kemudian turun. Sembari bersender di mobilnya, Yoga hanya diam, memerhatikan sosok itu yang benar-benar tidak bisa diam. Bahasa tubuhnya sangat resah, dan Yoga sendiri tak tahu, apa penyebab keresahan itu sendiri.

"Ngapain lo di sini?" tanya sosok itu. Yoga diam, tak menjawab. Sebab dia tak ingin menjawab. Toh, dia mau di mana pun, itu bukan urusan siapa pun. Tidak ada yang berhak bertanya, apalagi melarangnya untuk melakukan apa saja. "Ohya, Meta ada di dalam, kan?" tanyanya lagi.

Sejenak Yoga diam, kemudian dia mengangguk. "Ya, dia baru saja masuk," jawabnya kemudian. Dia membuka pintu mobil hendak masuk, tapi sosok itu berdehem seolah ingin mengutarakan suatu hal kepada Yoga.

"Malam ini gue mau ngatain perasaan gue, gue mau dia jadi milik gue seutuhnya. Dan setelah itu, lo hutang penjelasan ama gue, tentang apa yang udah lo lakuin ke Meta kemarin malam."

Rahang Yoga mengeras, mendengar ucapan itu lolos begitu saja dari mulut Fabian. Ingin mengatakan perasaannya kepada Meta? Lantas, apa yang akan Meta katakan untuk menjawab pertanyaan dari Fabian itu? Yoga tak menjawab perkataan panjang Fabian, dia langsung masuk ke dalam mobilnya kemudian melesat pergi. Berbicara dengan bedebah seperti Fabian, malah akan membuat darah tinggi. Namun di tengah kediaman Yoga, dia berkali-kali menghela napas panjang. Dan entah kenapa, dadanya tiba-tiba terasa begitu sesak.

Sepanjang perjalanan pikiran Yoga entah melayang di mana, dia benar-benar merasa tak tahu harus berbuat apa saat ini. Karena di otaknya, hanya nama Meta yang terngiang-ngiang dengan begitu nyata. Lagi, Yoga dengan mendadak membelokkan mobilnya. Dengan kecepatan tinggi dia secepat mungkin kembali ke kontrakan Meta. Dia tidak mau, semuanya berakhir seperti ini. Atau paling tidak, dia ingin mendengar sendiri dari mulut Meta, apa sebenarnya jawaban yang ingin dia ucapkan kepada Fabian.

Berengsek! Umpat Yoga dalam hati.

Untuk kemudian, dia menghentikan mobilnya di tepi jalanan yang cukup sepi. Berkali-kali dia mendengus, sembari memukul stir mobilnya. Dahinya tiba-tiba mendadak sakit, dia pun langsung merebahkan kepalanya agar sakitnya itu hilang. Untuk kemudian, dia melirik ke arah ponsel. Sebuah panggilan dari Pak Cipto tertera jelas di sana.

"Pak Yoga, sudah ditunggu Pak Munawar di restoran biasa, Pak."

"Lima belas menit aku di sana," jawab Yoga.

Setelah ia melirik jam tangan yang ada di tangannya, Yoga langsung melesat pergi. Menuju hotel tempat ia bertemu dengan salah satu rekan bisnisnya.

Sesampainya di hotel, ternyata di sana sudah ada Becca, berdiri dengan gaya sosialitanya, sambil menenteng tas mahal beserta mengenakan kaca mata besarnya.

Dia berjalan mendekat ke arah Yoga, membuat Yoga mendengus karenanya. Sepertinya, akhir-akhir ini, Becca ada di mana-mana. Bahkan saat ini, dia sampai tahu kalau Yoga sedang ada sedikit urusan di hotel ini.

"Ga, tungguin gue kenapa!" kata Becca, berjalan dengan cepat agar bisa menyamai langkah Yoga.

Yoga langsung menghentikan langkahnya, memandang Becca dengan tatapan datarnya. Membuat Becca yang hendak merengkuh lengan Yoga pun segera ditepis oleh Yoga.

"Kebetulan ketemu, gue ikut rapat elo, ya?" rengeknya.

"Kamu tidak ada kerjaan? Bukankah kamu biasanya kemana-mana dengan Fabian?" kata Yoga pada akhirnya.

Becca langsung berjalan, saat Yoga mulai berjalan. Meski Yoga keberatan, dia pun tak mengatakan langsung kepada Becca. Diam, dan acuhnya seharusnya cukup jelas jika Yoga tak suka dibuntuti dengan cara seperti ini. Dan sudah sedari kuliah dulu, Becca selalu mengekorinya ke mana pun, hal itu membuat Yoga benar-benar merasa tak nyaman.

Tapi, tampaknya sifat acuh, dan dinginnya benar-benar tak berpengaruh pada Becca. Sebab, sebagaimanapun dia berusaha menjauhinya, seberapa besar pula wanita itu berusaha lebih keras untuk mencari celah agar bisa sekat dengannya.

Yoga berhenti pada sebuah meja yang sengaja ia pesan spesial untuk Pak Munawar. Di sana sudah ada Pak Cipto yang berbincang serius dengan rekan kerjanya itu.

"Oh, Pak Yoga," sapa Pak Munawar, dia pun berdiri, untuk mempersilakan Yoga duduk. Tapi, matanya menangkap Becca, yang sudah berdiri tepat di samping Yoga dengan senyum penuh arti itu. "Lho, ada Bu Becca juga?" tanya Pak Munawar agaknya kaget.

Namun demikian, dia agaknya sedikit paham sekarang. Sebab bagaimanapun, dua anak muda yang ada di depannya ini sering sekali masuk di berita gosip jika telah memiliki suatu hubungan khusus. Mengingat jika Becca adalah teman kuliah Yoga dulu, terlebih ada beberapa hal yang membuat kabar itu sering berhembus. Tentu, sejalan dengan kabar jika Yoga adalah penyiuka sesama jenis.

Sebab mau bagaimana lagi, kencangnya kabar hubungannya dengan Becca, tak dibarengi dengan bukti-bukti jika mereka tengah bersama. Dan kiranya Pak Munawar baru meihat ini, kalau Yoga—Becca jalan berdua di luar jam kantor, terlebih tanpa adanya sosok yang bernama Fabian.

"Oh, mau lunch bareng sama Yoga, Pak," jawab Becca, dengan senyuman penuh arti. Sepertinya, digosipkan dengan Yoga adalah hal yang paling Becca dambakan.

Yoga diam, tak mempedulikan Becca, yang sudah duduk di sampingnya. Dia lebih memilih berbincang serius dengan Pak Munawar. Dan tanpa sengaja, ada sebuah pesan masuk pada ponsel Yoga. Ponsel Yoga yang kebetulan berada di meja itu pun menyala, menampilkan sebuah wallpaper saat layarnya menyala. Sosok wanita, dan itu jelas bukan Becca.

"Wah, Pak, siapa itu?" tanya Pak Munawar, yang tak sengaja melihat gambar seorang wanita di sana.

Becca yang tahu pertanyaan Pak Munawar itu pun berusaha mencari tahu. Namun sayang, ponsel Yoga sudah dimasukkan ke dalam sakunya.

"Calon istri, ya, Pak?" selidik Pak Munawar. Melihat mimik wajah Yoga tampak lebih rileks dari biasanya, terlebih tepat saat Pak Munawar tanya tentang wanita yang ada di layar ponsel pengusaha muda itu.

"Doakan, Pak," jawabnya kemudian, dengan sedikit tersenyum. Lalu, dia meneguk minuman yang ada di meja. Sepertinya, hanya ditanyai pertanyaan semacam itu sudah cukup membuat Yoga berkeringat. Ya, faktanya wanita itu memang seistimewa itu di hatinya.

Chapitre suivant