webnovel

Banjir Darah di Tambun Tulang 12

Terkejut Gempar Bumi bukan alang kepalangl

Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua renta

berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang

di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang

terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita.

Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru:

"Guru!"

Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk

menutupi tubuh Mayang.

Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum

kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain

Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehor-

matannya! Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya,

tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga

sampai di mana kehebatan perempuan ini walau se-

belumnya di hadapan Mayang dia telah menganggap

Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkan-

nya di bawah sepuluh jurus!

"Manusia bejat!" suara Inyak Nini bergelar.

"Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas per-

buatan yang kau telah lakukan terhadap muridku!"

Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam.

"Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan

siapa, nenek-nenek bongkok?!"

Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah ka-

rena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya.

"Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Ter-

lalu memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan

menumpas segala kemuakan itu!"

Tanpa banyak cakap lagi, Inyak Nini melompat ke

muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat.

Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak de-

ngan sebat lalu selipkan satu serangan balasan, tapi

senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat

mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak

Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main.

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu.

"Gempar Bumi, biaraku yang hadapi setan tua ini!"

kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain dari-

pada Sati.

"Sati keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di

tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima

hukuman dariku!"

Menciut hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi

Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ter-

nyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap

akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikir-

pikir untuk Jari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan

bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati ber-

diri di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan

serba salah!

Pondok itu tidak seberapa besar karenanya tanpa

senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi

amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari,

memapas dan membacok, sedang tusukan-tusukan ga-

nas meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi

yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus

ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia

menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini

hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lama-

nya!

"Tua renta sialan! Makan ini!" teriak Gempar Bumi.

Tangannya mengetuk saku, sedelik kemudian puluhan

jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah

Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar per

dangnya. Belasan jarum hitam mental dan luruh ke lantai.

Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya

dengan pedang, dan terus menembus dagingnya!

Inyak Nini menggerung macam serigala dan me-

nyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan ra-

cun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah ke-

rahkan tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan

darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas

ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum ber-

membobolkan jalan darah, terus mengalir menuju

jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap

dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika

tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang!

Gempar Bg#i tertawa sewaktu mengetahui senjata

rahasianya berbasil menemui sasaran di beberapa bagi-

an tubuh lawan.

"Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum

racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung!"

"Manusia dajal kau musti menyertaiku ke akhirat!"

teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang

dengan dahsyat.

"Braak!"

Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat ko-

song dan menghantam dinding pondok hingga hancur

bobol! Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk

menyerang dari samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu ten-

dangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di bahunya! Tu-

buhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahu-

nya sakit bukan main!

"Perempuan bedebah!" maki Gempar Bumi. Mulutnya

komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk

Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka

dengan sepuluh jari-jari menekuk!

Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus

ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih

lama dia mendahului menyerang dengan pedang di ta-

ngan! Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara

keras macam harimau meraung dan tubuhnya berke-

lebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing seka»

bagi Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang ke

luar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua

itu terkesiap dan bergidik!

Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu!

Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat

paras gurunya berlumuran darah mengerikan!

Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah

ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan

yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang

pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke

dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat

jurus "Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pe-

manah", yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi.

Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat dari "Ilmu Silat

Harimau".

"Apakah masih belum mau bunuh diri?!" ejek Gem-

par Bumi.

Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan

tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang

hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan

dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan

kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan su

sul menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja.

Rasa marah, dendam kebencian yang bertumpuk di hati

Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa

lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi

menggenggam pedang perak miliknya sendiri!

Sekali Gempar Bumi memutar pedang, maka terde-

ngarlah raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat

putus, salah satu kakinya luka parah!

Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu!

Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya

berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik

lagi

Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan

tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang

keperawanannya itu.

"Bunuh aku! Bunuh aku keparat!"

"Kau terlalu banyak rewel!" hardik Gempar Bumi

dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga Mayang

di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat ke-

luarkan suara!

Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya

dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati

yang berdiri dengan paras pucat.

"Kesalahanmu terlalu besar Sati...!"

Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam

anak kecil. "Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar

Bumi," pintanya.

"Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu

matamu yang suka mengintip itu! Lekas!"

"Gempar Bumi!" Sati menggerung dan bersujud.

"Keparat! Lekas korek matamu," bentak Gempar

Bumi. "Atau aku sendiri yang akan mengorek kedua-

duanya sekaligus?!"

Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya. Dari-

pada hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia

cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jari-

jari tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya.

"Craas!"

Biji mata itu mencelat ke luar bersama busaian da-

rah. Sati terduduk di ambang pintu; merintih-rintih me-

nahan sakit yang tiada taranya!

"Itu lebih bagus bagimu daripada mampus!" kata

Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di bahu-

nya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun

langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan

ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang mem-

bentak.

"Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah

saja kupecahkan batok kepalamu!"

Waktu suara teriakan orang di malam buta itu belum

habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah

berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi!

Paras Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat

putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah

payah coba putar mata memandang ke muka! Satu

harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang

datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja

mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru

memanggil nama orang itu!

"Turunkan gadis itu...! Cepat!"

"Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silah-

kan ambil sendiri!" jawab Gempar Bumi. Lalu tak ayal

lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir Jiwa".

"Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada

ampun bagimu!" Orang ini hantamkan tangan kanannya

ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang

bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambarde-

ngan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Teng-

kuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan

melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir ber-

muncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itu-

lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar Buah" yang telah

dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pen-

dekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya!

Menghadapi lawan tangguh berkepandaian tinggi

dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat ber-

bahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali

lancarkan serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan

tubuh Mayang di tanah.

Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang hebat!

Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak

seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati

terhadap Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi segala

macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.

Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel

dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap

gadis itu!

Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu Wiro sudah

berniat menghentikan pengejarannya terhadap Gempar

Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur

tapi lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara

pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai berulang

kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga, Wiro lak-

sana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia

berada beberapa puluh tombak, di satu pedataran tinggi

sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi

oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian

hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak se-

jauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu

namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi!

Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan

buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan

deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa

buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun

hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya Hu

hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurus-

jurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh

permainan silat "Orang Gila" yang mulai dikembangkan

Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan...

senjata rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan

telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum hitam itu

bermentalan kian ke mari!

"Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!" kata

Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang

terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi me-

rupakan suatu gerakan yang sangat mudah untuk di-

serang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke

dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun

dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit

tusukan itu.

Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahu-

tahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya!

Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi

tubuhnya terbanting ke kanan dan "Kraak!"

"Suara "kraak" itu disusul dengan suara pekikan se-

tinggi langit dari mulut Gempar Bumi! Lengan kirinya se-

batang bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian!

Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan!

"Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipa-

toka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke

depan.

"Kraak!"

Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar

Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan

patah!

"Kau akan mampus dengan menderita lebih dulu,

Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas

dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan

jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua

Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan kanannya.

"Craas!"

, Gempar Bumi melolong.

Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar.

Tubuhnya terhuyung nanar.

"Sati! Bantu aku!" teriak Gempar Bumi.

Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu

pondok dalam keadaan pingsan!

"Kenapa tidak minta bantuan pada setan-setan

penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia tu-

runan iblis juga hah?!" bentak Wiro dan melangkah men-

dekati Gempar Bumi.

Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya meng-

injak sesuatu dan tak ani pun lagi tubuhnya tergelimpang

jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya di-

sangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tu-

buh Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh Mayang.

Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski

bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup!

"Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan ini!

Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan serentak dengan itu di-

hunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!

Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng me-

raung! Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyam-

bar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang

diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Ma-

tahari itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena

tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit.

Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang

kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gem-

par Bumi akan segera menghembuskan nafas peng-

habisan namun Wiro masih belum puas. Dia melompat

ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar

Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia

terkutuk itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar

Bumi!

Wiro Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangku-

nya gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada

tertutup apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang

membasahi pula pakaiannya.

"Mayang..." bisiknya.

"Mayang," panggil Wiro lebih keras. Diusapnya ke-

ning dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang

membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya

daripada hitamnya.

"Wi... ro...." Mata yang sudah mengabur itu masih

sanggup juga mengenali wajah di depannya. "Sakit sekali

rasa... nya...."

"Kau... kau akan kuobati. Kau akan sembuh," kata

Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu kata-

katanya itu tak bakal menjadi kenyataan.

Mayang juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas

senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya di-

tutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah meng-

ambil nyawanya. Dia mati dengan senyum masih mem-

bayang di bibirnya yang mungil dan agak membuka se-

dikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merang-

kuli tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu.

Dia baru sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar te-

rang. Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya

lagi wajah Mayang dikeheningan pagi yang segar. Per-

lahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya

bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan

mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawa-

nya ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati

yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki

kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk.

Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan

maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas!

Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang pe-

rempuan tua: Dia tak tahu siapa perempuan tua ini ada-

nya tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa pe-

rempuan tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari go-

longan putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk

Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perem-

puan tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi ja-

gad raya maka di muka pondok di tepi sungai itu

kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan....

Chapitre suivant