Terkejut Gempar Bumi bukan alang kepalangl
Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua renta
berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang
di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang
terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita.
Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru:
"Guru!"
Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk
menutupi tubuh Mayang.
Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum
kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain
Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehor-
matannya! Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya,
tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga
sampai di mana kehebatan perempuan ini walau se-
belumnya di hadapan Mayang dia telah menganggap
Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkan-
nya di bawah sepuluh jurus!
"Manusia bejat!" suara Inyak Nini bergelar.
"Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas per-
buatan yang kau telah lakukan terhadap muridku!"
Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam.
"Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan
siapa, nenek-nenek bongkok?!"
Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah ka-
rena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya.
"Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Ter-
lalu memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan
menumpas segala kemuakan itu!"
Tanpa banyak cakap lagi, Inyak Nini melompat ke
muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat.
Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak de-
ngan sebat lalu selipkan satu serangan balasan, tapi
senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat
mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak
Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu.
"Gempar Bumi, biaraku yang hadapi setan tua ini!"
kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain dari-
pada Sati.
"Sati keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di
tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima
hukuman dariku!"
Menciut hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi
Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ter-
nyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap
akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikir-
pikir untuk Jari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan
bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati ber-
diri di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan
serba salah!
Pondok itu tidak seberapa besar karenanya tanpa
senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi
amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari,
memapas dan membacok, sedang tusukan-tusukan ga-
nas meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi
yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus
ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia
menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini
hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lama-
nya!
"Tua renta sialan! Makan ini!" teriak Gempar Bumi.
Tangannya mengetuk saku, sedelik kemudian puluhan
jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah
Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar per
dangnya. Belasan jarum hitam mental dan luruh ke lantai.
Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya
dengan pedang, dan terus menembus dagingnya!
Inyak Nini menggerung macam serigala dan me-
nyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan ra-
cun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah ke-
rahkan tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan
darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas
ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum ber-
membobolkan jalan darah, terus mengalir menuju
jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap
dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika
tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang!
Gempar Bg#i tertawa sewaktu mengetahui senjata
rahasianya berbasil menemui sasaran di beberapa bagi-
an tubuh lawan.
"Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum
racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung!"
"Manusia dajal kau musti menyertaiku ke akhirat!"
teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang
dengan dahsyat.
"Braak!"
Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat ko-
song dan menghantam dinding pondok hingga hancur
bobol! Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk
menyerang dari samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu ten-
dangan kaki kanan Inyak Nini bersarang di bahunya! Tu-
buhnya terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahu-
nya sakit bukan main!
"Perempuan bedebah!" maki Gempar Bumi. Mulutnya
komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk
Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka
dengan sepuluh jari-jari menekuk!
Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus
ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih
lama dia mendahului menyerang dengan pedang di ta-
ngan! Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara
keras macam harimau meraung dan tubuhnya berke-
lebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing seka»
bagi Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang ke
luar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua
itu terkesiap dan bergidik!
Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu!
Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat
paras gurunya berlumuran darah mengerikan!
Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah
ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan
yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang
pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke
dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat
jurus "Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pe-
manah", yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi.
Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat dari "Ilmu Silat
Harimau".
"Apakah masih belum mau bunuh diri?!" ejek Gem-
par Bumi.
Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan
tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang
hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan
dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan
kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan su
sul menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja.
Rasa marah, dendam kebencian yang bertumpuk di hati
Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa
lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi
menggenggam pedang perak miliknya sendiri!
Sekali Gempar Bumi memutar pedang, maka terde-
ngarlah raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat
putus, salah satu kakinya luka parah!
Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu!
Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya
berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik
lagi
Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan
tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang
keperawanannya itu.
"Bunuh aku! Bunuh aku keparat!"
"Kau terlalu banyak rewel!" hardik Gempar Bumi
dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga Mayang
di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat ke-
luarkan suara!
Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya
dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati
yang berdiri dengan paras pucat.
"Kesalahanmu terlalu besar Sati...!"
Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam
anak kecil. "Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar
Bumi," pintanya.
"Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu
matamu yang suka mengintip itu! Lekas!"
"Gempar Bumi!" Sati menggerung dan bersujud.
"Keparat! Lekas korek matamu," bentak Gempar
Bumi. "Atau aku sendiri yang akan mengorek kedua-
duanya sekaligus?!"
Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya. Dari-
pada hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia
cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jari-
jari tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya.
"Craas!"
Biji mata itu mencelat ke luar bersama busaian da-
rah. Sati terduduk di ambang pintu; merintih-rintih me-
nahan sakit yang tiada taranya!
"Itu lebih bagus bagimu daripada mampus!" kata
Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di bahu-
nya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun
langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan
ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang mem-
bentak.
"Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah
saja kupecahkan batok kepalamu!"
Waktu suara teriakan orang di malam buta itu belum
habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah
berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi!
Paras Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat
putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah
payah coba putar mata memandang ke muka! Satu
harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang
datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja
mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru
memanggil nama orang itu!
"Turunkan gadis itu...! Cepat!"
"Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silah-
kan ambil sendiri!" jawab Gempar Bumi. Lalu tak ayal
lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir Jiwa".
"Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada
ampun bagimu!" Orang ini hantamkan tangan kanannya
ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang
bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambarde-
ngan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Teng-
kuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan
melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir ber-
muncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itu-
lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar Buah" yang telah
dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pen-
dekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya!
Menghadapi lawan tangguh berkepandaian tinggi
dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat ber-
bahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali
lancarkan serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan
tubuh Mayang di tanah.
Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang hebat!
Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak
seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati
terhadap Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi segala
macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.
Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel
dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap
gadis itu!
Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu Wiro sudah
berniat menghentikan pengejarannya terhadap Gempar
Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur
tapi lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara
pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai berulang
kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga, Wiro lak-
sana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia
berada beberapa puluh tombak, di satu pedataran tinggi
sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi
oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian
hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak se-
jauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu
namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi!
Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan
buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan
deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa
buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun
hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya Hu
hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurus-
jurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh
permainan silat "Orang Gila" yang mulai dikembangkan
Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan...
senjata rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan
telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum hitam itu
bermentalan kian ke mari!
"Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!" kata
Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang
terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi me-
rupakan suatu gerakan yang sangat mudah untuk di-
serang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke
dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun
dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit
tusukan itu.
Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahu-
tahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya!
Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi
tubuhnya terbanting ke kanan dan "Kraak!"
"Suara "kraak" itu disusul dengan suara pekikan se-
tinggi langit dari mulut Gempar Bumi! Lengan kirinya se-
batang bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian!
Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan!
"Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipa-
toka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke
depan.
"Kraak!"
Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar
Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan
patah!
"Kau akan mampus dengan menderita lebih dulu,
Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas
dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan
jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua
Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan kanannya.
"Craas!"
, Gempar Bumi melolong.
Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar.
Tubuhnya terhuyung nanar.
"Sati! Bantu aku!" teriak Gempar Bumi.
Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu
pondok dalam keadaan pingsan!
"Kenapa tidak minta bantuan pada setan-setan
penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia tu-
runan iblis juga hah?!" bentak Wiro dan melangkah men-
dekati Gempar Bumi.
Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya meng-
injak sesuatu dan tak ani pun lagi tubuhnya tergelimpang
jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya di-
sangkanya, tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tu-
buh Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh Mayang.
Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski
bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup!
"Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan ini!
Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan serentak dengan itu di-
hunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!
Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng me-
raung! Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyam-
bar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang
diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Ma-
tahari itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena
tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit.
Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang
kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gem-
par Bumi akan segera menghembuskan nafas peng-
habisan namun Wiro masih belum puas. Dia melompat
ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar
Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia
terkutuk itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar
Bumi!
Wiro Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangku-
nya gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada
tertutup apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang
membasahi pula pakaiannya.
"Mayang..." bisiknya.
"Mayang," panggil Wiro lebih keras. Diusapnya ke-
ning dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang
membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya
daripada hitamnya.
"Wi... ro...." Mata yang sudah mengabur itu masih
sanggup juga mengenali wajah di depannya. "Sakit sekali
rasa... nya...."
"Kau... kau akan kuobati. Kau akan sembuh," kata
Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu kata-
katanya itu tak bakal menjadi kenyataan.
Mayang juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas
senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya di-
tutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah meng-
ambil nyawanya. Dia mati dengan senyum masih mem-
bayang di bibirnya yang mungil dan agak membuka se-
dikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merang-
kuli tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu.
Dia baru sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar te-
rang. Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya
lagi wajah Mayang dikeheningan pagi yang segar. Per-
lahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya
bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan
mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawa-
nya ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati
yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki
kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk.
Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan
maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas!
Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang pe-
rempuan tua: Dia tak tahu siapa perempuan tua ini ada-
nya tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa pe-
rempuan tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari go-
longan putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk
Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perem-
puan tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi ja-
gad raya maka di muka pondok di tepi sungai itu
kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan....