webnovel

Banjir Darah di Tambun Tulang 11

Wiro Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah

dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain

daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhu-

yung-huyung dengan sebatang pedang pendek menan-

cap di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat mem-

bopong tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah.

Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan me-

nodai pakaian Wiro sendiri!

Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong

lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat

tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.

"Bagaimana kau bisa sampai di sini, bapak??" tanya

Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri.

Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan

demikian rupa.

"Wiro, tolonglah selamatkan anakku.... Mayang dilarikan

oleh.... Gempar Bu... mi...."

"Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham

bergemeletukan!

"Kej... kejar dia, Wiro...."

"Tapi kau sendiri, pak...."

Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada

untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara.

"Diriku tak... usah kau pikirkan nak. Tak ada harap-

an.... Yang perlu Mayang. Nasib dan... dan dirinya ku-

serahkan padamu. Kuharap kalian...."'

Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Ke-

palanya terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya

lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro mem-

baringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipan-

danginya tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. "Nasib

dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian...."

Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapan-

nya, tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak

disampaikan laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama

pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan ce-

pat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah

melarikan Mayang!

Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran.

Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana

mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak di-

ketahui ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan

yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya

hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali

ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat

terdengar pula suara burung hantu mengerikan semen-

tara angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke

tulang-tulang sumsum.

Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas

kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika

menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa

celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu!

Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke

Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas me-

lakukan pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk mem-

buat perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagai-

mana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke

sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?!

Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas!

Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia

tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini

juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan

apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis

kalau bukan kehormatannya?

Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang

hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun

yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia

membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar'

Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah

dilakukan oleh Gempar Bumi?!

"Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan

batang lehernya! Akan ku patah k ani" kata Wiro dengan

hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan "Brak!"

sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah

tumbang ke bumi!

Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari

laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpang-

gul seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak

berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang

tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!

Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru

dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian

dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah

yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak su-

ngai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu

bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari

dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya

lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang

terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi mem-

bawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan

mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan

diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok,

kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di am-

bang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka

dada. Ketika melihat orang yang datang dengan mem-

bawa sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan

kening.

"Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!"

orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di

hadapannya.

Gempar Bumi menyeringai.

"Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!"

Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi

adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki ber-

nama Sati menelan ludahnya.

''Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati

dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti.

"Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu!

Lekas pergi!"

Mata Satj tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah

Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah

lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke

telinga Gempar B,umi,

Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati.

"Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan

batang lehermu!"

Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya

ditinggalkannya tempat itu.

Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai

papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan.

Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu

dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di

hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini.

Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah

Mayang.

"Manusia keparat! Lepaskan totokan ku...!"

"Ah, kau masih saja bersikap galak," kata Gempar Bumi.

"Bedebah! Lepaskan totokan ku!"

"Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok

jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan

diulurkannya tangan kanannya.

"Jangan sentuh!" teriak Mayang.

Gempar Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu.

Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak.

"Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku

akan kawini kati secara baik-baik, tapi...'

"Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!"

potong Mayang.

"Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan

menyesal akan kuperlakukan Secara kasar!"

"Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang-

siang! Saat ini juga...."

"Eh, apakah kau tidak takut mati?!"

"Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!"

Gempar Bumi tertawa mengekeh.

"Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau

inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan!

Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku.... Kau

akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa

nikmatnya... betapa...."

"Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku

lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan api

pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"

Gempar Bumi tertawa gelak-gelak.

"Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk mem-

bunuh tapi untuk mengajak kembali menikmati segala

keindahan hidup itu! Ha... ha... ha... ha!"

"Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan

kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu

sampai lumat!"

"Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar

Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sang-

gup, bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!"

"Kalau tidak aku ada orang lain yang akan me-

lenyapkanmu dari muka bumi ini!"

"Aha... siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar

Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal

melintang.

"Guruku!"

"Gurumu?!" Gempar Bumi tertawa membabak. "Pe-

rempuan tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepan

daiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau!

Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi

mayat dia kalau berani berhadapan denganku!"

Mayang mendengus.

"Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang.

sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup mem-

bunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama

Datuk Sipatoka itu!"

"Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang

sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.

"Di antaranya pemuda berambut gondrong yang

mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang.

Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak

pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu

utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru

angin Pulau Andalas belum pernah dia menghadapi

lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk

mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu.

"Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan

dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran

karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan

niscaya tidak kuampunkan jiwanya...."

"Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran

padamu untuk ambil langkah seribu!"

Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba ta-

ngannya diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat me-

nyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang!

Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan se-

ringai nafsu yang mengembang kempiskan cuping hi-

dungnya, jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas

dada sang dara!

Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung

yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk

Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil me-

laksanakan niatnya melarikan si gadis?

Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam

hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang di-

namakannya Perguruan Kejora, Tapi karena adanya

maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari peresmian

itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali

hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam

mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora.

Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang

sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawan-

nya. Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai

dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat

kediaman Inyak Ninik, guru Mayang.

Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di se-

buah kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak

buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi

mendatangi kampung itu, merampok dan membakar

serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam

pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu

terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah

penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar

Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia

menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap

Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di

sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian

juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya!

Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke

Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal

mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi

anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia

sampai di bagian Barat kampung, berubahlah parasnya.

Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya

tak dapat melihat perobahan parasnya itu!

Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong

tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan

lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari!

Meski dia membawa anak-anak buah yang berkepandaian

tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu

Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia

melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan

kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang.

Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera

perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang

Wiro Sableng.

"Bunuh bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan

dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertem-

puran. Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika

dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli

anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal keempat

anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja

di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tam-

bah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh

menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama

saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.

Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur

melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang

lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemun-

culan Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa

artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang

pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi

dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat!

Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan

Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan

bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus

saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat

ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan!

Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gem-

par Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar

Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua ber-

anak!

Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi ber-

hasil menyelundupkan pedangnya dan menancap de-

ngan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Ma-

yang berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak

bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang. Gempar

Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam

dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut

hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini

terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang ke-

mudian segera melakukan pengejaran....

Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih

bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh

Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak

dan menangis.

Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pon-

doknya berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingat-

annya masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakan-

nya parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning

langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati

Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang

tertegun-tegun. Hatinya mendorong-dorong agar kem-

bali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah

haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian

kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun

jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorong-dorong

di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan

kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah di-

tempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu!

Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari se-

buah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali.

Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya

memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika

dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan peman-

dangan yang terpampang di depan matanya, di bawah

penerangan pelita.

Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak.

Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh

Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa

selembar pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk ludahnya.

Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di

hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, meng-

gulung tubuh gadis itu.

"Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati.

"Keparat betul si Gempar Bumi ini!"

Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak

yang dibuatnya laki membalik dengan cepat Sepasang

matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan

kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.

"Braakl"

Dinding itu berlobang besar.

Di luar pondok seseorang terdengar berteriak: "Ke-

terlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!"

"Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip?

Kau akan terima hukuman berat dariku!" teriak Gempar

Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pa-

kaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum

pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara

sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi meman-

dang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun

dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!

Chapitre suivant