Puluhan menit kian berlalu, guru pengajar silih berganti. Bak gasing berputar cepat, Catur terus memikirkan ucapan Jingga. Ini sudah jam terakhir, tapi pikirannya terus melayang kemana-mana. Ia mengerling ke arah Anjar sebelum menilik surat yang sejak tadi ada di bawah laci mejanya. Ingin sekali membaca isi surat itu dengan segera, tapi juga segan jika kedapatan teman sebangkunya itu.
Catur semakin sekarat di setiap menitnya. Peluh bermunculan dengan cepat. Merambat dari leher, telapak tangan dan hampir sekujur tubuhnya. Kenapa juga mata pelajaran kimia ini begitu lama. Waktu seolah melebar dengan sendirinya, sehingga setiap detik sangat terasa lamban. Atau memang bel sekolah ini sedang ada gangguan. Sejak tadi tak kunjung dibunyikan.
Ia berdecih kesal. Tangannya gatal untuk segera membuka isi surat itu. Sepertinya surat dokter, atau surat izin tidak masuk sekolah. Tapi jika memang begitu, lantas mengapa Jingga memberikan surat ini kepadanya. Kenapa bukan wali kelas dia saja. Kacau. Gadis sinting itu membuat pikirannya tidak bisa berpikir jernih. Baru kenal sudah seperti parasit dalam hidupnya.
Mengganggu meski terkadang membuatnya khawatir.
Braakk!!
Catur berjingkat kaget. Seluruh bulu romanya meremang saat tatapannya saling berserobok. Pak Faruq–guru kimia–saat ini sudah berada di samping meja. Wajahnya tak seindah kota Bandung. Tatapannya tajam seperti ingin melumatnya bulat-bulat.
"Kamu mikirin apa? Dari tadi geleng-geleng sendiri," tanyanya dengan memelintirkan kumis lebatnya. "Kamu enggak suka sama pelajaran saya, hah?!"
"Bu-bukan begitu, Pak. Tapi …." Ucapan Catur melayang di udara.
"Tapi apa?!"
"Saya enggak kelihatan. Tulisan Pak Faruq terlalu kecil, enggak bisa dibaca dari sini," jawab Catur sekenanya. Sedapat mungkin jangan sampai guru yang terkenal dengan sebutan 'dukun' ini membaca pikirannya. Seperti mitos yang beredar dan berita paling santer digemborkan. "Guru kimia, Bapak Faruq Rofi'udin, dia bisa membaca pikiran murid yang tidak memperhatikan pelajarannya. Berhati-hatilah," ujar beberapa rekannya kala itu.
Ada-ada saja ulah mereka melabeli guru berkumis lebat itu.
"Halah. Alasan!" pekik Pak Faruq membuyarkan lamunannya.
"Coba saja Bapak lihat dari sini." Dan beruntungnya, murid lainnya yang berada di bangku belakang juga memprotes tulisan dari guru berkumis lebat itu. Mau tak mau, Pak Faruq juga akhirnya menengok untuk memastikan tuduhan yang menyerangnya.
"Kenapa sekarang baru dipermasalahkan?" tanya Pak Faruq kembali menoleh ke arah Catur dan murid lainnya. "Bukannya setiap kali saya mengajar tulisannya begini ya?" Ia bersedekap. Kembali memainkan kumis lebatnya. "Atau jangan-jangan kalian selama ini tidak pernah mencatat pelajaran yang saya ajarkan, hah?!
Semua murid terdiam. Lengang. Tentu saja tidak benar-benar lengang. Di luar kelas, bel sekolah sudah berbunyi dengan nyaringnya. Menandakan jam pelajaran yang menegangkan ini berakhir. Tawa penuh kemenangan terbit. Dewi Fortuna sedang memihak mereka. Bunyi seperti inilah yang sejak tadi ditunggu oleh para murid.
"Awas saja. Saya akan cek satu per satu catatan kalian di pelajaran saya selanjutnya!"
Ancaman seperti itu hanya dianggap angin lalu oleh para murid. Yang terpenting hari ini mereka bisa pulang dengan tenang. Soal hari esok, itu urusan belakang.
-OoO-
Jemari Catur sudah tidak bisa menahannya lagi. Tanpa tedeng aling-aling, perlahan ia membuka isi surat itu.
Hai Dinasti Catur. Gimana kabarnya? Jangan bilang kamu salah kamar lagi dan terus masuk ke kelasku saat ini. Hihihi ….
Oh iya, gimana sekolah di sini? Kamu pasti masih kesepian enggak punya teman. Apalagi enggak ada aku beberapa hari ini. Hayo, jangan senyum sendiri baca suratnya, loh.
Benar kata kamu. Aku cewek sinting yang konservatif. Aku udah kepalang malu, tapi mau bagaimana lagi. Namanya orang suka, mana bisa disembunyikan. Meski banyak orang bilang 'love at first sight is bullshit', aku enggak peduli. Kamu sukses bikin aku jatuh hati.
Oh iya, mulai besok aku saranin kamu ikut pelajaran anak IPS aja deh. Abisnya kamu hidup kayak zaman prasejarah. Nomor whatsapp aja enggak punya.
Iya udah, segini dulu ya. Jangan lupa makan. Hehehe …. Apa sih, aku ini. Basi.
Dariku,
Tuan Putri Allea. :)
Catur menggeleng geli membaca surat itu. Meski sedari tadi bibirnya tak bisa dipungkiri: senyumnya terbit layaknya mentari pagi.
"Cie, baca apaan tuh, senyum-senyum sendiri?" Buru-buru Catur menutup surat itu lantas membereskan buku-bukunya di atas meja.
"Mau ke mana lo?"
"Mulih talah," jawab Catur singkat dengan aksen khasnya.
Kening Anjar berkerut. "Hah?"
"Eh, maksudnya aku mau pulang," ujar Catur meralat. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tentu saja Anjar tidak tahu arti itu. Kebiasaan dan logat Jawanya masih kental di lidah Catur.
"Gue nebeng boleh?" Anjar mengedipkan matanya beberapa kali.
"Aku enggak bawa kendaraan."
"Ah, sa ae lo. Terus siapa yang titip mobil mewah di rumah Teh Endah?" Alis Anjar terangkat sebelah. "Lo udah lima kali ini gagal bohongin gue, Sobat." Senyumnya tengil.
Mulut Catur terbungkam rapat. Meski tangannya terus sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas. Ada dua kesalahan yang membuatnya enggan menjawab. Pertama, ia memang membawa kendaraan itu. Karena tak mau dicap penganut hedon, ia menitipkan roda 4 itu di rumah Teh Endah yang tak jauh dari sekolah. Beliau adalah penjaga kantin, tempat Catur nongkrong bersama Anjar dan teman kelas lainnya di saat jam istirahat.
Sudah jelas mulut besarnya seperti pemilik akun lambe turah yang selalu up to date dengan gosip terbaru. Bedanya, Teh Endah menyebarkan di sekolah. Kedua, Catur tidak mahir berbohong. Mulai besok ia harus banyak membaca artikel di laman pencarian, "Tutorial mengelabui seseorang agar tidak ketahuan".
"Apa perlu gue antar lo ke rumah Teh Endah buat ambil mobil itu?" Anjar kembali menyunggingkan senyum tengilnya.
"Lain kali aja ya. Aku masih ada urusan." Catur menjinjing tasnya lantas berlari mengabaikan umpatan Anjar. Masa bodoh dengan teman sebangkunya itu. Ada hal lain yang lebih membuat hati dan pikirannya buncah.
-OoO-
Mobil melipir di parkiran. Catur melangkah cepat menuju koridor rumah sakit. Berbekal alamat dari Jingga, ia dapat mengetahui tempat Allea dirawat. Meski alamat yang diberikan sedikit menyebalkan, "Gue kasih tau alamatnya tapi enggak nomor kamarnya. Lo cari sendiri buat menguji seberapa serius lo sama dia," ujarnya siang tadi. Ini bukan permainan lego atau berburu harta karun, tapi sempat-sempatnya Jingga tega memberikan alamat yang samar. Allea dan sahabatnya itu sama saja. Sama-sama sukses membuat dirinya kesal.
Namun Catur juga tidak kehilangan akal untuk menanyakan langsung kepada front office yang bertugas. Dan tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan alamat rawat inap gadis itu. Meski beberapa menit yang lalu ia keliru saat menyebut nama pasien. Catur lupa-ingat dengan nama panjang dari Allea.
Catur terus melangkah, matanya nyalang menatap nomor yang terpampang di setiap deretan pintu. Sampai pada nomor yang dicari. Ia berdiri tepat di atas pintu. Lantas membukanya. "Assalamu'alaikum."
Lima detik berlalu ganjil setelah pintu itu terbuka. Lengang. Hanya suara televisi yang paling dominan di dalam ruangan.
Sebentar kemudian, Catur menyunggingkan senyum salah tingkah, "Ma-maaf. Sepertinya saya salah kamar." Lantas kembali menutup pintu itu dan melenggang menuju ruangan di sampingnya. Kamar gadis itu berada di sebelah. Ia menggelengkan kepala beberapa kali karena salah masuk kamar. Kejadian barusan begitu gabir yang pernah dialaminya.
Catur menghela napas panjang. Sudah dipastikan bahwa ruangan ini benar, tempat gadis itu dirawat. Tangannya memegang kedua pipinya, mencoba untuk berdiskusi tanpa kata. Ia mengetuk pelan pintu itu. Sejurus kemudian pintu kamar dibuka perlahan, mengeluarkan suara derit panjang. Seorang bapak bertubuh tambun menjawab salamnya. Seolah menyambut aba-aba, Catur menelan salivanya berat.
"Dinasti Catur?" Suara di balik punggung bapak tambun itu membuat keduanya menoleh ke arah yang sama—sumber suara. "Itu beneran kamu?"
"Iya. Ini aku." Catur mengangguk dengan senyuman manis di wajahnya.