webnovel

Wanita Pertama

Semenjak Nero menjadi kaisar, Agrippina selalu mencoba mengendalikannya. Awalnya Nero tak mempedulikannya, namun lama-lama ia gerah juga dengan sikap ibunya itu.

"Nero, jangan hanya bermalas-malasan. Kau harusnya hari ini mengawasi pembangunan kanal di luar kota," ujar sang ibu.

"Hari ini aku lelah, ah sudahlah bu.. kau tak usah terlalu ikut campur. Aku sudah menyuruh beberapa orang untuk mewakiliku di sana. Aku sekarang kaisar, kau tak perlu menasihatiku sepanjang waktu."

Jelas saja Agrippina cukup kecewa dengan sikap anaknya itu. Ia tak menyangka rupanya Nero sangat sulit untuk dikendalikan.

Sementara itu tiba-tiba Britannicus tewas karena diracun. Agrippina tahu itu ulah anaknya, namun ia ikut menyembunyikan masalah itu.

Tak hanya kurang peduli dengan masalah pemerintahan, rupanya Nero mudah sekali menjatuhkan hukuman mati pada orang yang tidak ia sukai.

"Penggal semua orang-orang itu. Mereka lancang pada kaisar," perintah Nero.

Kelakuan Nero yang semena-mena tentu saja membuat Agrippina semakin kecewa. Ia berusaha mencari cara agar anaknya itu bisa berubah.

"Seneca, kau harus bisa menasihatinya," kata Agrippina.

"Sebenarnya aku sudah tahu, ia sama sekali tak cocok menjadi kaisar, tapi kau memaksanya.. " kata Seneca.

Agrippina jelas merasa bersalah karena ia yang selama ini ingin anaknya menjadi kaisar. Tak mau menyerah, ia tetap berusaha mengatur jalannya pemerintahan meskipun hanya seorang ibu kaisar.

"Ibumu selalu ikut campur," ujar Otho, rekan Nero.

"Aku tak menyukainya sejak kecil.." kata Nero dengan jujur.

"Dia sepertinya yang ingin jadi kaisar."

"Haha.. kadang-kadang ia memang seperti itu. Wanita yang tak tahu malu."

"Eh, kapan kau menceraikan istrimu? Kau sudah berjanji akan menceraikannya dan memberikan padaku," kata Nero.

Istri Otho bernama Poppaea Sabina. Ia sudah mengenal Nero sebelumnya dan mereka saling menyukai. Namun gara-gara Agrippina, Nero masih belum bisa menceraikan istrinya, Octavia.

"Aku sudah tak mau lagi mendengarkan ibuku, aku ingin menceraikan Octavia," kata Nero.

"Aku sudah menunggumu cukup lama." Poppaea Sabina tak sabar untuk segera jadi istri kaisar.

Sang suami, Otho sebenarnya merasa diperalat karena harus menikah dengan selingkuhan Nero. Namun ia menurut saja karena Nero memberinya jabatan yang cukup tinggi.

Di istana, Agrippina masih mencoba menjalin kerja sama dengan beberapa pejabat. Ia terus memberikan masukan-masukan pada kebijakan Romawi.

Hal itu membuat Nero semakin tak menyukai ibunya. Sampai suatu ketika ia ingin menyingkirkan ibunya sendiri.

"Ibu, besok ada kapal menuju daerah yang baru dikuasai Romawi. Ada beberapa pembangunan di sana. Bisakah kau pergi mengawasinya? Aku ada urusan di Roma," kata Nero pada sang ibu.

"Tentu saja, ibu dengan senang hati bisa membantumu."

Agrippina lalu pergi menaiki kapal bersama dengan beberapa orang pengawal istana dan tentara. Namun ia sadar bahwa anaknya bersikap aneh. Ia mencoba untuk waspada. Tak mau sendirian, Agrippina membawa pengawal kepercayaannya.

Saat berada di lautan, pengawal pribadinya kemudian memberitahukan hal yang ditakutkannya.

"Kapal ini sepertinya akan ditenggelamkan, Yang Mulia harus segera menyelamatkan diri."

Dengan bantuan pengawalnya, Agrippina akhirnya bisa selamat. Ia yakin itu semua adalah ulah dari sang anak.

"Tega sekali dia pada ibunya sendiri. Salah apa aku melahirkan anak seperti dia.."

Kembali ke Roma, Agrippina mencoba bersikap biasa. Ia tak ingin langsung marah pada Nero. Ada hal lain yang ia rencanakan untuk membalas anaknya itu.

"Syukurlah kau selamat dari kapal yang tenggelam itu," kata Nero pura-pura tak bersalah.

"Ibu bukan wanita lemah.. sudah banyak hal yang ibu lalui selama bertahun-tahun. Kapal tenggelam tak akan menghalangi ibu." Agrippina juga pura-pura tegar di hadapan Nero.

Semakin hari, Nero rupanya semakin tak terkendali. Ia membunuh lebih banyak orang dan membuat peraturan yang tak berpihak pada rakyat.

"Rasanya aku ingin membunuhnya saja," ujar Agrippina. Ia tak pernah berpikir semua kerja kerasnya dan impiannya malah menjadi mimpi buruk untuk Romawi.

Suatu pagi, seorang pelayan membawakannya sepiring makanan untuk sarapan. Namun pengawal pribadinya mencegahnya untuk memakannya.

"Makanan ini beracun," kata pengawal.

Sudah tak tahan, akhirnya Agrippina harus melawan anaknya sendiri. Tak ada pilihan lain selain dibunuh, yaitu membunuh.

Bersama orang kepercayaannya, Agrippina mendatangi penyihir yang tinggal di daerah pinggiran kota Roma. Penyihir itu memberikan sebuah botol yang berisi racun.

"Banyak orang Roma yang bisa membuat racun seperti ini. Kau sebenarnya tak perlu mendatangiku," kata penyihir wanita itu.

"Aku hanya ingin meyakinkan untuk mendapatkan racun yang kuat."

Keesokan harinya, di hari Selasa.

Muncul berita yang menggegerkan seluruh negeri. Kaisar Nero tewas di tempat tidurnya. Orang-orang mulai saling menuduh siapa sebenarnya yang membunuhnya.

Tak mau disalahkan, Agrippina sudah menyiapkan sosok yang ingin dijadikan kambing hitam. Selingkuhan Nero, Poppaea Sabina kemudian ditangkap karena dugaan membunuh kaisar. Racun sebagai alat bukti juga ditemukan di rumahnya.

Selanjutnya terjadi kekosongan di kursi kaisar. Saat itu Nero belum memiliki seorang anak, jadi ia tak memiliki penerus.

Agrippina kemudian maju mencoba untuk menenangkan anggota senat yang berdebat untuk kepemimpinan selanjutnya.

"Aku ingin sistem pemerintahan bisa diubah. Tak perlu mencari seorang kaisar," usul Agrippina.

Para senator kemudian sebagian setuju akan hal itu. Sistem kekaisaran yang mewariskan kepemimpinan berdasarkan garis keturunan tak selalu baik untuk diikuti.

"Apa kita mau kembali ke Republik Romawi?" tanya seorang senator.

"Kita sementara bisa memakai sistem itu," ujar Agrippina.

Para senator kemudian memilih dua orang konsul baru. Agrippina menjadi salah satunya.

"Meskipun perempuan, dia bisa diandalkan."

Para pengawal istana juga sangat mendukung Agrippina. Ia pun dapat menjadi konsul wanita pertama dengan mudah karena dukungan banyak orang.

"Tanpa anakku, tanpa suamiku, akhirnya aku bisa memimpin dengan mandiri."

"Kau pantas mendapatkannya, Yang Mulia," kata pengawal kepercayaannya.

Agrippina senang bisa mendapatkan kekuasaan yang ia impikan. Namun dalam hatinya, ia merasa kesepian karena tak memiliki kerabat dekat. Semua saudara, suaminya, bahkan anaknya sudah tiada.

Chapitre suivant