webnovel

3

Gaara pergi meninggalkan Naru bersama Sasuke. Laki-laki berambut gelap itu bertanya sesuatu yang sudah pasti. "Bagaimana? Tidak ada kemajuan sampai sekarang?"

"Tidak ada. Rasanya aku ingin menyerah."

"Bukan dirimu saja."

"Ini terlalu sulit, aku lebih senang menghadapi pertengkaran di distrik merah dan kelab malam daripada mengurusi gadis itu," ungkapnya dari perasaannya yang teramat putus asa. "Gadis itu amat sulit didekati, kau lihat sendiri, dia bahkan tidak punya teman. Dia selalu makan siang sendirian. Mendapati kenyataan pahit, kesempatanku sangat kecil, membuatku yakin kalau pertemuan kami tidak pernah membuatnya berkesan."

Sasuke menyesap susu kotaknya, kemudian memandangi langit. Menganggap sebentar lagi mungkin hujan. Atau memang dia kini terbawa perasaan dari kisah cinta Naruto yang mungkin berakhir sedih. Sasuke sendiri tahu bagaimana sulitnya untuk menyatakan cinta pada seorang gadis yang disukai, berbeda dari saat mereka mungkin berniat memikat banyak gadis hanya untuk bermain-main. Cara menyatakan cinta pada pujaan hati itu memiliki cara yang sangat berbeda, debaran hati mereka juga tentu tidak sama. Sasuke tidak akan menghardik ketidakpercayaan diri temannya. Ia lebih suka mendukung dengan cara yang wajar.

"Gadis itu tidak mudah dihadapi," ujar Sasuke dalam kesal yang terpendam. "Aku tidak bisa membantumu, mengambil dengan cara memaksa dan mengancam itu pilihan konyol, aku juga tidak mau melakukannya kalau aku mencintainya."

"Jika ada dorongan yang lebih masuk akal, mungkin aku bakal memilih jalan penuh risiko," Naru menghela napas sementara Sasuke melirik heran. "Kalau tiba-tiba memaksa tanpa ada keuntungan yang bisa dia dapatkan, sepertinya gadis itu tidak akan mudah terpikat."

"Maksudmu, uang?"

Naru meremas kaleng sodanya, lalu melemparkannya di tempat sampah. "Kabar terbaru, ibunya terserang kanker stadium 3."

"Kau tahu dari mana?"

"Kau pikir aku tidak pernah mencari tahu apa yang sedang terjadi padanya? Bermain secara datar dan menunggu keajaiban itu tidak akan memuluskan rencana."

"Hm," Sasuke bergumam ambigu. "Lalu, rencanamu?" tanyanya secara penasaran.

Bibir Naru bergerak miring, ia tersenyum seakan menunjukkan pada Sasuke permainan barunya, tapi terlihat tidak pasti bakal dilakukan. "Dia memutuskan untuk tidak jadi masuk universitas, malah ikut sekolah kejuruan setelah lulus dari SMA nanti. Aku yakin ini bukan soal biaya pendidikan, padahal dia harusnya bisa meraih beasiswa, karena aku mengira dia mungkin tidak punya waktu untuk melakukannya, bisa saja dia lebih memilih untuk menemani ibunya yang sakit, mencari uang supaya bisa membiayai pengobatan sang ibu. Aku ingin menawarkan bantuan, tapi aku rasa cara tersebut tidak benar-benar mendapatkan poin kemenangan seperti yang aku harapkan.

"Menurut penilaianku, selama ini Hinata menunjukkan sikap acuh tak acuh karena dia tidak ingin terlibat dengan siapa pun, karena orang-orang seperti dia, lebih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih menguntungkan. Waktu adalah uang, misalnya. Berteman, mungkin sama-sekali tidak menguntungkan dalam cara pandangnya, itu akan membuang-buang waktu, belum lagi harus terlibat pada perasaan kepada seorang teman, mengapa dia harus melakukannya? Akan lebih baik dia lebih memikirkan ibunya."

Sasuke merengut di tempat duduknya, teori itu mungkin bisa diterima, tapi juga bisa salah.

"Kalau waktu itu? Mengapa dia begitu peduli? Padahal kurasa menolongmu tidak akan mendapatkan keuntungan dalam hal apa pun. Bayangkan kalau dia tidak bisa menghadapi tiga orang dari distrik merah. Gadis itu terlalu percaya diri."

Naru menggerakkan jarinya, menolak teori Sasuke, kemudian dia memberitahu temannya. "Jika kau seorang atlet gelap, berarti kau bukan orang sembarangan, kau punya bakat yang berbeda dari kebanyakan para atlet pada umumnya, itu bukan bentuk percaya diri, tetapi Hinata memang mampu untuk menangani."

"Kau serius? Dia seorang atlet gelap?"

Naru menghela napas. "Bisa masuk ke sekolah orang-orang kaya kau pikir dia mengandalkan kepintarannya saja?" Sasuke terdiam, masih menunggu kelanjutannya dengan tenang. "Dia mantan atlet dengan prestasi membanggakan tingkat SMP. Dia pernah mendapatkan skandal ketika menyusup dalam pertandingan tingkat SMA, begitu dia hampir mendapatkan kemenangan, juri mendiskualifikasi gadis itu karena ketahuan, lalu dia tidak pernah lagi muncul dan kabarnya memutuskan untuk berhenti menjadi seorang atlet."

"Sangat-sangat gila!"

Dari tempatnya, Sasuke mengamati Hinata Hyuuga sedang membaca buku ditemani bekal makan siangnya. Gadis itu bukan ajaib, tapi dia memiliki ambisi yang sulit dimengerti. Hinata Hyuuga mempunyai sebuah ketangguhan—atau lebih tangguh dari gadis pada umumnya. Ia menggunakan pertandingan untuk mendapatkan uang, atau ada alasan yang tak dimengerti oleh mereka kenapa harus memilih jalur yang menegangkan, sementara keluar dari profesinya menjadi tanda tanya besar.

Setahun yang lalu, Naruto ketahuan oleh temannya kalau dia masuk ke Yamabuki bukan karena sekolah itu masuk ke dalam sekolah bergengsi yang ada di Tokyo. Pemuda itu ketahuan pergi ke Yamabuki karena mengejar seorang gadis.

Sasuke awalnya tidak percaya, tapi mengingat insiden pertemuan di antara Hinata dan Naruto itu karena dirinya dan Gaara, sewaktu masa-masa SMP, ketika mereka baru naik kelas tiga, dirinya dan Gaara digencet oleh seorang anak SMA yang tak dikenal. Mereka tidak bisa melawan karena kalah jumlah, toh alasan lainnya karena keluarga mereka keluarga politikus, Sasuke maupun Gaara takut terjadi sesuatu pada karier ayah mereka. Sehingga mereka memilih dipukuli dan beruntung jika pada waktu itu tidak membawa cukup banyak uang hingga ia dan Gaara tidak terlalu banyak dirampok.

Karena melihat wajah babak belur di wajah teman-temannya, Naruto mulai mendesak keduanya untuk mengaku. Sasuke tahu, satu-satunya yang dapat membalaskan dendam mereka hanya Naruto. Keesokan harinya, Naruto menunggu anak-anak SMA itu di tempat biasa mereka lewat. Tanpa mencari tahu, bahwa salah satu dari anak-anak itu adalah putra seorang gangster dari wilayah Kanto.

Masalah tidak sampai di situ saja. Tragedi penusukan yang diterima Naruto membuat kakek laki-laki itu berang, sampai akhirnya mendatangi markas orangtua si anak SMA, masih dilanjutkan dengan saling menyerang, hingga masuk ke dalam berita besar kala itu pertikaian antara gangster yang membuat orang mewaspadai daerah-daerah tertentu.

"Mungkin berhentinya dia jadi atlet ada kaitannya dengan kematian ayahnya."

"Kematian?"

"Kau pernah dengar tentang seorang laki-laki bunuh diri di apartemennya karena motif di belakangnya disebabkan oleh masalah bangkrut dan meninggalkan utang begitu besar? Laki-laki itu bernama Hiashi Hyuuga, dia adalah ayah dari teman kita."

"Wah, itu berita besar. Mungkin dia menghindari seseorang karena tidak ingin kembali terlibat dalam insiden memilukan itu? Kurasa dia takut mendapatkan gunjingan. Kau tahu mulut anak perempuan bagaimana?"

"Entah. Mungkin iya atau mungkin tidak. Insiden itu terjadi tidak lama setelah pertemuan kami."

Cerita itu mungkin harus diakhiri, hanya menambah luka. Sasuke merasakan sesak pada dadanya. Kalau dia jadi Hinata, dia bakal menutup diri dan menghindari segala sesuatu yang menyakitkan, termasuk omongan orang yang tak pernah tahu situasi yang sesungguhnya.

Sasuke mendongak begitu Naruto tiba-tiba bangkit dari duduknya, tetapi dia tidak mencegah ke mana temannya akan pergi. Sasuke tahu tujuannya, menghampiri Hinata yang kini ribut akan jus yang tumpah ke atas roknya.

Dari tempat duduknya, Sasuke hanya mengamati.

Naruto mengambil sapu tangan dari saku jas, mendekati Hinata sembari menawarinya untuk menggunakan sapu tangan tersebut. Naru berbaik hati membantu Hinata membersihkan rok kotak-kotaknya, yang membuat gadis itu berakhir diam, seolah mengamati cukup enggan, dan yang terjadi, Hinata kemudian menghindar.

Kalau dilihat-lihat oleh Sasuke sendiri, Hinata bukan tidak mengenali Naruto—laki-laki yang ditolongnya pada malam hujan—seperti yang terlihat, mungkin saja gadis itu memang mengenali, tetapi seolah-olah tak mengingat dengan pasti. Seperti yang keduanya duga, Hinata menutup diri karena tidak ingin siapa pun tahu, kalau dia amat menderita.

Dengan perasaan kecewa, Naru membuang sapu tangannya ke tong sampah sambil memandangi Hinata yang menjauhi dirinya, pemuda itu tahu dia tidak boleh kesal, tapi seluruh perasaan itu telanjur menyerang secara ganas pada hatinya.

Sasuke berinisiatif untuk mendekat, dan berbisik akibat dugaan-dugaan yang terus mengganjal. "Gadis itu mengenali dirimu," dalam artian yang berbeda.

Chapitre suivant