webnovel

39. Menjauh

Okta memasuki ruangan pribadi Dhika, Okta hanya berdiri di atas tanpa berniat menuruni tangga. Penerangan diruangan ini sangat minim, tetapi Okta masih mampu melihat Dhika dibawah sana, duduk bersandar di dinding. Dengan tatapan lurus menatap kumpulan foto Lita yang di pajang di dinding. Kaleng minuman dan juga serbuk-serbuk bekas rokok bertebaran disekitarnya. Dari semalam Dhika tak beranjak dari tempatnya dengan menghisap rokok. 'Dhika orang yang sangat anti merokok. Bahkan Dhika selalu menasihatiku dan anak brotherhood untuk menghindari rokok. Karena menurutnya asap rokok dan kandungan zat yang ada di dalam benda itu berbahaya untuk tubuh. Bukan hanya paru-paru tetapi juga jantung dan organ tubuh lainnya yang bisa rusak karena rokok.' Batin Okta

Dan sekarang Dhika mengkonsumsinya. Bahkan dari semalaman Dhika sudah menghabiskan 2 bungkus rokok sekaligus, apa dia berniat bunuh diri? Pikir Okta. Okta terus bertanya-tanya memikirkan apa yang sudah terjadi pada Dhika, Tingkah Dhika semalam, benar-benar membuat Okta kaget setengah mati. Ini pertama kalinya Okta melihat Dhika menangis begitu memilukan.

Bahkan Okta dapat merasakan kepedihan dari setiap isakannya. Padahal sebelum berangkat Dhika terlihat begitu bahagia dan bersemangat. Ini lebih parah dari 10 tahun lalu. Dhika tidak sehancur ini saat mendengar kabar Thalita menghilang.

Dia melakukannya lagi...

'Dan apa maksud dari kata-katanya itu? Apa yang Lita lakukan lagi padanya?' batin Okta semakin bertanya-tanya.

Setelah berperang dengan pikirannya, Okta akhirnya menuruni tangga menuju tempat Dhika berada. Dia masih menatap kosong kedepan saat Okta sampai disana, Dhika bahkan tidak menyadari kehadiran Okta. Okta menarik rokok yang tengah dia hisap dan mematikan rokok itu. Itu berhasil membuat Dhika menatap kearah Okta. 'Astaga lihat dirinya sekarang? Dia terlihat hancur,, wajahnya terlihat sangat pucat. Matanyapun merah dan terllihat air matanya menggantung di pelupuk matanya seakan ingin jatuh membasahi pipi.' Batin Okta menatap Dhika dengan iba.

Tanpa memperdulikan Okta, Dhika kembali menyalakan lagi rokok lainnya dengan api. Okta kembali merebutnya dan melemparnya ke sembarang arah. "cukup !! dari semalam loe sudah merokok sangat banyak" ujar Okta duduk dihadapan Dhika. "jelaskan Dhika, apa yang terjadi? Apa yang Lita lakukan lagi, sampai loe kayak gini?" Tanya Okta sudah tidak tahan lagi.

"pergilah !!!" ucapnya lirih seraya kembali mengambil sebungkus rokok baru dari tas kecil yang ada disampingnya.

'Astaga, berapa bungkus rokok yang dia beli??? Apa sekarang dia berubah profesi menjadi seorang sales rokok?' batin Okta. "gue bilang cukup !!!" Okta kembali merebut rokok itu lagi membuatnya melotot pada Okta.

"apa?! loe mau marah? Loe mau nonjok gue? Silahkan tonjok gue sampe loe puas, asal loe berhenti menghisap racun ini !!" bentak Okta dan Dhika menunduk mengusap wajahnya dengan gusar.

"lalu apa yang harus gue lakukan, hah? APA OKTA?!"pekiknya memalingkan wajahnya ke arah lain. Sebutir air mata akhirnya lolos dari pelupuk mata Dhika. Okta mencengkram kuat kedua pundak Dhika membuatnya menatap kearah Okta.

"apa yang terjadi? Apa yang dia lakukan?" Tanya Okta dengan tajam.

"semuanya sudah berakhir, gator !! dia sudah memiliki orannglain"ucap Dhika.

"tapi loe masih bisa kan merebutnya kembali. Gue yakin Lita masih mencintai loe" ujar Okta. "Loe masih bisa buat terus membuat Lita mencintai loe lagi, sebelum janur kuning melengkung" ujar Okta mencoba menyemangatinya lagi.

"sudah terlambat gator, dia sudah menikah !!!" ucap Dhika berhasil membuat Okta terpekik kaget.

"a-apa??!!!!" Okta sangat kaget bahkan Okta merasa dirinya salah mendengar.

"dia sudah menikah, gator. Dan gue tidak bisa berbuat apa-apa" gumam Dhika menyandarkan punggungnya ke dinding dan pandangan sendunya menerawang ke depan.

"loe tau, disini" tunjuk Dhiika ke dadanya sendiri. "disini, rasanya sangat perih dan ngilu. Hati gue serasa disiram air yang sangat mendidih dalam waktu sekejap dan lelehannya itu diinjak-injak. Rasanya sakit, sangat gator, sangat sakit" gumam Dhika mengusap wajahnya dengan gusar. Air matanya kembali luruh membasahi pipi, membuat Okta ikut menangis melihatnya.

"tapi kalau memang kalian masih saling mencintai, loe bisa memperjuangkannya kembali walau dia sudah mempunyai suami" ujar Okta.

"iya, gue sempat berpikir kesana. Tapi gue tidak bisa, karena sudah ada seorang anak diantara mereka" ucapan Dhika membuat Okta semakin mematung syok. "gue mungkin saja bisa merebutnya kembali dan menghancurkan rumah tangganya. Tapi gue tidak bisa melakukan itu disaat ada seorang anak yang tidak berdosa akan menanggung akibatnya. Gue juga tidak mungkin memisahkan Lita dengan buah hatinya hanya karena demi keegoisan gue" jelas Dhika. "gue memang mencintainya, yah bahkan sangat mencintainya melebihin apapun juga. Tetapi gue juga tidak mungkin merusak kebahagiaannya, ini cinta bukan obsesi. Gue hanya ingin membuatnya bahagia, dan kalau bukan gue yang bisa membuatnya bahagia. Gue berharap oranglain bisa membuatnya bahagia" jelas Dhika semakin menyayat hati.

'Dia bertahan selama 10 tahun dengan keyakinan dan harapan Lita akan kembali bersamanya. Dia lewati semua kehampaan dan kehancurannya dengan tegar dan bahkan dia berkorban nyawanya untuk Lita. Dia sudah menghukum dirinya sendiri selama 10 tahun ini..Tetapi ini yang dia dapatkan akhirnya. Cinta yang tak terbalaskan' Batin Okta menatap Dhika dengan sedih. 'Kenapa tuhan? Sampai kapan kau menghukum sahabatku seperti ini. Apa salahnya? Apa karena dia terlalu mencintai wanitanya, apa itu kesalahannya?' batin Okta mengusap matanya yang basah karena air mata.

"Dan lagi dia nolak gue, dia meminta gue untuk menjauhinya. Dia tidak ingin gue merusak masa depan dan kebahagiaannya. Dia bilang kalau gue hanya masa lalunya dan hubungan kita sudah berakhir saat 10 tahun yang lalu. Dia mengatakan itu tanpa ragu. Itu sungguh membuat gue semakin hancur lebih hancur lagi dan ini lebih pedih dari saat gue tau dia selingkuh dengan Angga. Dia menghancurkan harapan gue" gumam Dhika, air matanya kembali luruh. Keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"balikin rokok gue" ujar Dhika menghapus air matanya dan mencoba merebut rokok dari tangan Okta.

"tidak lagi Dhika, dari semalaman loe merokok. Loe belum pernah merokok dan sekarang loe langsung menghabiskan 2 bungkus sekaligus. Sadar Dhika, loe tidak mau mati konyol kan" ujar Okta tetapi Dhika hanya tersenyum sinis.

"lagian buat apa juga gue hidup? Gue udah tidak punya tujuan hidup lagi" ujar Dhika sangat frustasi.

"istigfar Dhika, jaga ucapan loe. Ini bukan Dhika yang selama ini gue kenal" ucap Okta.

"Dhika yang loe kenal sudah mati" ucapnya seraya beranjak dan mengambil kunci mobil dan tas kecil yang ada di sampingnya.

"mau kemana loe?" Tanya Okta ikut berdiri.

"bukan urusan loe !! dan jangan ganggu gue lagi" ujar Dhika dingin dan berlalu pergi.

***

Dhika melajukan mobilnya tanpa arah tujuan, air matanya terus mengalir membasahi pipi tanpa diminta. Sesekali Dhika mengusap air mata yang mengalir membasahi pipinya. Ucapan Thalita terus terngiang di telinganya. Membuat hatinya semakin di remas-remas, rasanya sangatlah perih. Aku menghentikan mobilku di pinggir jalan, dan kebetulan ini di daerah yang mau menuju puncak. Dhika mampu menatap hamparan kebun teh di pinggir jalan. Dhika masih duduk di kursi pengemudi dengan pintu mobil yang sudah dibuka. Atap mobil yang terbuka, karena saat ini Dhika tengah memakai mobil sport Jaguar F-Type roars onto local roads. Dhika merogoh sebungkus rokok dari dalam tasnya dan membakar ujungnya dengan api. Dhika menyandarkan kepalanya ke kepala jok mobil dan menatap langit biru sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

'Kenapa dia dengan mudahnya menyuruhku untuk melupakannya dan menjalani hidup tanpanya. Apa dia tidak penah mengerti, aku begitu mencintainya dan menginginkannya. Bagaimana bisa aku melupakannya? Bagaimana aku bisa menjalani hidup ini tanpa bayang-bayang dia? 10 tahun saja tidak cukup untukku melupakannya, perasaan ini seperti sudah mendarah daging dengan tubuhku. Kamu tau Lita, kamu adalah alasanku bertahan hidup hingga detik ini. Kamu alasanku untuk selalu tersenyum. Dan bagaimana aku bisa hidup tanpa ada kamu? dan bagaimana bisa aku melepaskanmu? Tolong beritahu aku Lita. aku harus bagaimana?' Batin Dhika, air matanya menetes dari sudut matanya yang merah.

Sebatang rokok sudah habis dan kini Dhika membakar lagi rokok keduanya. Semalaman Dhika tidak berhenti merokok, bahkan sebelumnya Dhika tak pernah merokok sedikitpun. 'Kenapa? Kenapa Lita? kamu melakukannya lagi. Apa ini balasanmu padaku? Kamu tau, aku bahkan tidak mampu memikirkan satu orang perempuanpun yang layak menggantikanmu di dalam hidupku bahkan di dalam hatiku. Mungkin benar, perempuan yang lebih cantik darimu banyak, yang lebih pintar darimu ada dimana-mana, dan mungkin lebih segalanya darimu. Tetapi aku tidak membutuhkan kelebihan-kelebihan itu, aku hanya butuh kamu. hanya kamu Lita tidak yang lain. Karena cintaku hanya untukmu' batin Dhika. Dhika terus menghisap rokoknya dan mengepulkan asapnya ke atas. Handphonenya terus berdering. Tetapi Dhika tidak berniat untuk mengangkatnya. Tak lama Dhikapun merogoh handphone di dalam tasnya karena terus saja berdering. Dan nama Khairul muncul disana. Dhika tak ingin mengangkatnya, di lemparnya asal handphonenya yang terus berdering tanpa berhenti. Dhika baru saja mengingat kalau hari ini dia ada jadwal operasi. Dhika segera melempar rokoknya yang tengah dia hisap dan menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

Di rumah sakit, semua dokter dari tim 1 tampak cemas, karena Dhika masih belum juga datang bahkan tidak mengangkat telpon mereka. Tidak biasanya dokter Dhika membiarkan pasiennya seperti ini. Thalita mengusulkan untuk meminta bantuan dokter Rival, karena pasien tidak bisa menunggu lama lagi. Akhirnya semuanya menyetujui ide Lita. Dan operasipun berlangsung, dengan ketua tim operasinya dokter Rival. Semuanya berjalan lancar.

Tetapi setelah cukup lama, dokter Rival tidak sengaja menggores pembulu darah pasien membuat darah memuncrat ke pakaian steril Rival. Semuanya menjadi resah, apalagi detak jantung pasien semakin melemah. Rival mencoba memasukan tangannya mencari letak goresan untuk dijahitnya.

"astaga, aku tidak dapat melihat apa-apa" gumam Rival karena darah menggenang disana.

Saat sedang resah seperti itu. Pintu ruang operasi bergeser dan menunjukkan Dhika disana dengan sudah memakai pakaian operasinya lengkap. "syukurlah anda datang dokter Dhika" ujar Rival yang sudah berkeringat dingin.

"biar saya yang melanjutkan" ujar Dhika datar dan berjalan menuju dokter Rival, dan dengan spontan dokter Rival menjauh dari sana. Thalita terus menatap Dhika yang terlihat fokus memeriksa pasien, tanpa berniat melihat ke arah Thalita yang berdiri di hadapannya. Dhika memasukkan tangannya ke dalam dada pasien dan mencari letak goresanya sambil memejamkan matanya.

Hingga akhirnya ketemu, Dhika segera menjahitnya dengan telaten di bantu Thalita. Tetapi Dhika seakan menjaga jaraknya untuk tidak bersentuhan tangan dengan Thalita. "berikan aku Laparoscopy" perintah Dhika. #Laparoscopy adalah alat yang berfungsi untuk pembersihan darah. Suster Meli segera menyerahkannya kepada Dhika.

Satu jam berlangsung, operasipun selesai dan kondisi pasien stabil. Dhika keluar ruangan terlebih dahulu dan melepas sarung tangan, masker, dan penutup kepalanya.

Oho oho oho

Dhika terbatuk-batuk diluar sana, membuat Claudya menghampiri Dhika. "kamu baik-baik saja?" Tanya Claudya dengan khawatir.

"iya, aku baik-baik saja" jawab Dhika datar.

"kamu terlihat sangat pucat, Dhik" Claudya memegang kening Dhika membuat Dhika menghindar. "astaga badan kamu juga panas" ujar Claudya.

"aku tidak apa-apa, aku hanya flu" jawab Dhika beranjak meninggalkan Claudya dan tanpa mereka ketahui, Thalita berdiri di depan pintu ruang operasi. Pandangan Lita terarah ke tangan Dhika yang diperban dan juga wajah Dhika yang terlihat sangat pucat.

***

Dhika hendak memasuki lift, tetapi tertegun saat pandangannya bertemu dengan mata hazel Thalita. Dhika memasuki lift dengan wajah datarnya. Keduanya berdiri berdampingan tanpa berbicara apapun. Keduanya merasa sangat canggung, dan merasakan sakit yang teramat.

Bahkan sudah sedekat ini, mereka masih tidak bisa bersama dan meluapkan rasa rindunya.

"oh iya, kemarin aku tidak sempat memberikan ucapan selamat padamu. Selamat untuk pernikahanmu" ujar Dhika seketika membuat Thalita menengok dan Dhika hanya menatap lurus ke depan. Thalita hanya bisa menelan salivanya sendiri yang terasa sangat sulit di telan. Matanya berkaca-kaca.

'bagaimana ini? aku bahkan masih tak bisa mengatakan perasaanku saat kami sudah sedekat ini. Maafkan aku' batin Lita.

"syukurlah kamu sudah menemukan kebahagiaan kamu" Dhika menunduk seakan mengambil nafasnya dalam-dalam, Thalita bahkan melihat Dhika mengusap kedua matanya yang basah. Dhika menengok ke arah Thalita dan memasang senyuman paling menyakitkan." Berbahagialah, hanya itu yang aku inginkan sekarang. Melihatmu bahagia dengan pasanganmu" ujar Dhika mengusap kepala Lita dan beranjak keluar dari lift.

Thalita menunduk dan menangis di dalam lift. Entah kenapa hatinya begitu terluka mendengar ucapan Dhika.

Apa cinta itu benar-benar telah kembali? Apa pertahanannya kembali luruh?

***

Dhika baru selesai memeriksa beberapa pasien, dan sekarang hendak pulang, Dhika sudah berbicara dengan Hans dan mengatakan kalau dia akan mengambil cuti cukup lama dari rumah sakit. Dhika butuh waktu untuk sendiri.

Dhika baru saja keluar dari lift tepat di lobby rumah sakit. "bundaaaa...." Teriakan anak kecil menghentikan langkah Dhika.

Jantung Dhika berhenti berdetak saat melihat pemandangan paling menyakitkan di depannya. Anak kecil itu memanggil bunda kepada Thalita yang tengah menyambutnya untuk memeluknya. Anak laki-laki berusia 6 tahun itu memeluk Thalita dengan erat dan seorang laki-laki dewasa dengan memakai jas formalnya. "kalian datang?" Tanya Thalita tersenyum.

"iya bunda, Vino ingin makan siang bersama bunda" ujar anak kecil bernama Vino itu.

"baiklah, kita makan bersama yah" ujar Thalita melepas pelukannya.

Thalita menuntun tangan Vino sebelah kanan dan laki-laki itu sebelah Kiri. Saat berbalik, langkah Thalita terhenti saat berpapasan dengan Dhika yang masih berdiri di depan pintu lift. Pandangan Lita dan Dhika saling bertautan, tatapan terluka Dhika mampu menembus mata hazel Thalita. Thalita tersadar saat laki-laki di sampingnya merangkul pinggang Lita dengan mesra dan itu membuat Dhika memalingkan pandangannya ke arah lain dengan hati yang sangat terluka.

Thalita tersenyum kecil ke laki-laki di sampingnya dan melanjutkan langkahnya menuju keluar rumah sakit. Dhika kembali menatap Thalita, mereka bertiga terlihat seperti keluarga bahagia di mata Dhika. Dhika tersenyum kecil mentertawakan dirinya sendiri.

'bohong kalau aku bisa bahagia melihatnya bahagia, kenyataannya hatiku hancur dan sangat sakit melihat kebahagiaan Thalita bersama laki-laki lain' batin Dhika langsung beranjak meninggalkan rumah sakit.

***

Di sebuah café, Okta dan Chacha tengah makan siang bersama, sambil berbicara tentang Dhika dan Lita. "gue gak nyangka kalau Lita sudah menikah" ucap Chacha masih tidak mampu mempercayainya.

"ya, gue juga. Apalagi mereka sudah dikaruani seorang anak" ujar Okta.

"bagaimana dokter Dhika sekarang? Pasti dia sangat amat terluka" Tanya Chacha.

"bukan hanya terluka, si Dhika sangat hancur. Bahkan kemarin dia menangis, baru kali ini gue melihatnya menangis meraung-raung. Gue tidak tega melihatnya, selama 10 tahun dia menunggu Lita dengan harapan Lita akan kembali tapi sekarang saat dia kembali, kenyataan pahit lagi yang harus dia dapat" ucap Okta lirih, merasakan rasa sakit yang Dhika rasakan.

"kasian kak Dhika" gumam Chacha

"heh nela, loe tidak mau kan buat gue hancur seperti Dhika" ujar Okta tiba-tiba membuat Chacha mengernyitkan dahinya. "gue cinta sama loe nela, gue serius" ujar Okta memegang kedua tangan Chacha membuat Chacha menegang. "apa loe juga merasakan apa yang gue rasakan?" Tanya Okta.

"gue nggak tau crocodile, gue gak tau apa yang gue rasakan" gumam Chacha merenung membuat Okta terdiam. "kayaknya gue harus balik ke rumah sakit sekarang" ucap Chacha dan beranjak begitu saja meninggalkan Okta yang masih terpaku.

"ck,, kenapa cewek itu susah sekali di tebak sih" gumam Okta

***

Okta tengah berjalan menuju kamar Dhika, tetapi saat melewati ruang keluarga yang kebetulan menghubungkan dengan kolam renang di luar sana. Okta melihat dari kaca yang kebetulan dindingnya terbuat dari kaca. Diluar sana terlihat Dhika tengah memainkan pisau di tangannya membuat Okta terpekik kaget dan berlari menuju Dhika. "loe ngapain sih" Okta langsung merebut pisau dari tangan Dhika membuat Dhika menatap ke arah Okta. Dhika menunjukkan buah apel yang di pegang di tangan kirinya membuat Okta bernafas lega. Okta pikir Dhika akan berpikiran rendah dan mencoba mengakhiri hidupnya.

"sini biar gue yang kupasin" ujar Okta mengambil apel dari tangan Dhika. Keduanya duduk berdampinga menatap ke arah kolam renang. Okta memberikan potongan apel itu ke Dhika membuat Dhika memakannya dan Oktapun ikut memakan apel itu.

"besok gue akan pergi" ujar Dhika

Oho oho oho

Okta tersedak karena kaget dan langsung menatap ke arah Dhika yang tengah menatap kosong kedepan. "loe mau kemana, Dhik? Kenapa loe suka sekali mengasingkan diri" ujar Okta.

"kemana saja yang bisa buat gue melupakan Lita" ujar Dhika datar.

"loe yakin akan melepaskan Lita?" Tanya Okta.

"ya, gue tidak mungkin menghancurkan kehidupan keluarga bahagia mereka. Gue juga tidak yakin Lita masih mencintai gue atau tidak" ujar Dhika mengingat kejadian tadi siang, Okta terus memperhatikan Dhika. "gue hanya akan selalu mendoakan kebahagiaannya" tambah Dhika.

'setulus itu kah cinta loe ke Lita? kenapa takdir ini begitu kejam?' batin Okta.

***

Di rumah sakit, Thalita berjalan menuju ruangannya dengan tertatih setelah mendengar kabar kalau Dhika meninggalkan rumah sakit ini dan entah kapan akan kembali.

Tetapi tiba-tiba saja pintu ruangan Lita di buka dengan kasar oleh Claudya membuat Thalita menengok. "apa yang sudah kamu lakukan pada Dhika??" pekik Claudya emosi, Thalita hanya diam saja, tak tau harus menjawab apa. "ini pertama kalinya Dhika seperti ini, dia tidak pernah meninggalkan rumah sakit bahkan mengambil cuti selama ini" ucap Claudya berapi-api. "apa yang sudah kamu lakukan, hah" Claudya mendorong tubuh Lita hingga menabrak meja di belakangnya sedangkan Lita hanya terdiam. Okta datang dan memisahkan mereka berdua.

"aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Dhika lagi" ucap Claudya tajam dan beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Thalita menatap ke arah Okta dengan datar.

"gue datang untuk bertemu dengan loe" ujar Okta

"katakanlah" ucap Lita datar.

"Dhika pergi, dia kembali mengasingkan dirinya" ucap Okta membuat Lita terdiam. "kemarin gue melihatnya sangat hancur. Lita gue tau loe sudah bahagia dengan keluarga loe, tapi gue mohon jangan membuatnya sehancur ini" ujar okta, thalita masih diam. "kalau loe masih mencintainya, maka bawa kembali cinta loe. Jemput Dhika segera, karena gue takut dia melakukan hal konyol, kemarin bahkan dia merokok" ucapan Okta membuat Lita terpekik kaget, Dhika yang Lita kenal seseorang yang sangat anti pada rokok.

"selama 10 tahun dia selalu berharap akan kehadiran loe, tapi sekarang semuanya telah hancur" ujar Okta. "Gue mohon, Lita. Kalau loe mencintainya, jemput dia, perjuangkan cinta kalian kembali. Tetapi kalau sudah tak ada cinta lagi, jangan berharap apapun lagi. Mungkin Dhika bisa mengakhiri hidupnya sendiri" ucapan Okta bagai tamparan untuk Thalita, "Dia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun, dia hanya selalu menunggu loe dan selalu mencintai loe. gue hanya mau mengatakan itu sama loe. Pikirkanlah baik-baik, jangan sampai kejadian 10 tahun lalu kembali terulang." Setelah mengucapkan itu, Oktapun beranjak pergi meninggalkan Thalita sendiri.

Thalita berpegangan ke ujung meja kerjanya sambil memegang dadanya. Air matanya luruh membasahi pipi. 'maafkan aku, maafkan ketidaberdayaanku. Dhika. kenapa aku selalu tidak bisa memahami cintamu. Maafkan aku' batin Thalita yang sudah menangis terisak.

***The End***

Chapitre suivant