webnovel

6. Sepuluh Tahun Yang Lalu

Lita kembali ke rumah sakit, setelah menghadiri pemakaman Rahma. Ia baru keluar dari lift dan berjalan menuju ruangannya, tetapi saat melewat ruangan Rival tidak sengaja ia mendengar pembicaraan mereka.

Dimana dokter Rival tengah kebingungan karena asisten utama tim operasinya mengalami kecelakaan dan cedera cukup parah, membuatnya tidak akan bekerja sampai keadaannya stabil. Dokter Rival akan melakukan operasi yang cukup serius dan tidak mungkin melakukan operasi tanpa asisten utama team.

Mendengar itu, entah dorongan dari mana Thalita mengajukan dirinya untuk menjadi asisten utama dokter Rival selama asisten utamanya belum sembuh total. Awalnya dokter Rival menolak karena Thalita merupakan asisten utama team operasi 1, dan pasti dokter Dhika tak akan membiarkannya. Tetapi Thalita meyakinkan kalau dokter Dhika akan mengijinkannya. Dan akhirnya dokter Rivalpun menerima dengan senang hati.

Setelah pembicaraannya dengan dokter Rival, Thalita kembali berjalan dengan anggun dan angkuh menuju ruangannya, tiba-tiba saja seseorang menabraknya dari belakang, membuat Thalita dan orang itu terhuyung tetapi tak sampai jatuh.

"Maafkan saya dokter" ucap seseorang itu meminta maaf karena merasa bersalah. "Saya sangat buru-buru sampai tak melihat anda, maaf-" ucapan seseorang berjas dokter itu terhenti saat melihat wajah cantik Thalita. Bahkan dokter berambut pirang itu melotot sempurna saat melihat Thalita.

"Li-lita" ucapnya tertahan dengan ekspresi yang sangat syok, seperti baru saja melihat hantu. Kedua matanya melotot sempurna, bahkan tangannya terangkat menutup mulutnya sendiri.

Ekspresi Thalitapun tak kalah syoknya. Keduanya saling berpandangan tanpa berkata apapun, hingga akhirnya Lita memalingkan wajahnya. "ka- kamu be-neran Lita? Thalita Putri Casandra kan?" ujarnya tercekat

"Iya, Clarisa Abshari Pratista" jawab Thalita terdengar dingin.

"Ja-jadi loe masih hidup?" ucapnya masih tidak mempercayai penglihatannya.

"Kenapa? Loe mengharapkan gue sudah mati?" tanya Thalita dengan angkuh

"Nggak, bukan begitu. Gue-" ucap Clarisa tertahan, rasanya sangat sulit mengeluarkan suaranya sendiri, air mata sudah memenuhi pelupuk matanya.

"Sudahlah" ucap Thalita malas. "saya permisi dulu dokter Clarisa," Thalita melirik ke arah jas dokter yang Clarisa pakai, nama Clarisa terpangpang jelas disana dengan profesinya sebagai dokter kandungan. Lita kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Clarissa yang masih mematung ditempatnya.

Lita memasuki ruangannya dan mengunci pintu ruangan dari dalam. Dia mampu bersikap angkuh di hadapan orang-orang di masalalunya, tetapi kenyataannya rasa sakit itu masih ada dan terus menggerogoti hati Thalita. 'kenapa harus bertemu dengannya lagi? Kenapa luka itu masih saja menyayat hatiku? Melihatnya kembali, membuat luka yang aku kubur dalam-dalam kini kembali muncul,' batin Lita, setetes air mata jatuh membasahi pipinya.

Flashback On

"Inget yah guys, apapun yang terjadi persahabatan kita akan tetap abadi sampai kita tua' ujar gadis yang berkulit coklat.

"Iya, gue setuju. Persahabatan kita tidak akan pernah berubah, akan tetap terjaga seperti ini" ujar gadis lain dengan rambut hitam pekatnya.

"Dan inget yah guys dengan prinsip kita, kalau persahabatan kita adalah number one. Dan gak akan pernah terpisahkan oleh apapun sekalipun itu seorang lelaki. Pokoknya cinta dan sayang itu adalah sahabat...." ujar gadis berparas cantik keturunan Turki

"Persahabatan kita akan tetap utuh sampai kapanpun juga, dan tidak akan terpisahkan oleh apapun. Jarakpun tidak akan merubah segalanya" ujar Thalita saat masih duduk dibangku Junior High School.

"Kita selamanyaaaa...." teriak keempat gadis berseragam putih biru itu sambil bertos ria. Dipergelangan tangan kanan mereka tersampir gelang yang sama.

Flashback Off

Lita yang sudah duduk dikursi kebesarannya, menatap kosong keluar jendela. Ingatan 10 tahun yang lalu kembali berputar dikepalanya. Kejadian yang membuatnya harus pergi sejauh mungkin.

10 Tahun Yang Lalu

Pagi itu aku keluar dari kamar setelah selesai bersiap-siap memakai seragam Sekola Menengah Atas yang cukup terkenal di kota Bandung. Aku Thalita Putri Casandra dan teman-temanku biasa memanggilku Lita, usiaku 18 tahun. Aku orangnya sangat pendiam, tidak banyak bicara. Bahkan ketiga sahabatku selalu mengataiku si kutu buku, karena aku sangat gemar membaca buku. Termasuk membaca komix dan novel, aku sangat menyukainya.

Saat ini aku tengah berjalan mendekati meja makan, dimana tanteku yang paling cantik dan paling baik tengah menyiapkan sarapan pagi. Dia adalah tante Ratih, dia yang mengurusku dari aku kecil bersama mendiang omku. Tapi tuhan lebih dulu memanggil om Ardi saat aku duduk dibangku junior High School. Kalian pasti bertanya kenapa aku tidak tinggal bersama kedua orangtuaku. Dari sejak kecil aku tidak tau siapa orangtua kandungku. Setiap kali aku bertanya pada tante, tante selalu bilang kalau orangtuaku sudah meninggal. Dan aku tidak berniat bertanya lagi meskipun aku masih penasaran dan tidak yakin dengan jawaban dari tante Ratih. Tetapi ya sudahlah mungkin memang benar kalau orangtuaku sudah meninggal. Disini aku dan tante hanya tinggal berdua dirumah yang sangat sederhana. Tante membuka usaha toko kue basah dan kering. Dan Alhamdulillah banyak sekali yang menyukai kue bikinannya.

Setelah selesai sarapan, aku pergi ke sekola dengan menggunakan jasa angkutan umum. Hingga kini aku sudah sampai di depan gerbang Senior High School. Aku berjalan menuju kelasku hingga saat sampai disana, aku melihat ketiga sahabatku tengah berdiskusi.

"Lita... akhirnya loe datang juga. Gue mau lihat tugas matematika loe dong yang kemarin" ujar sahabatku yang berparas cantik keturunan Turki itu dengan senyuman manisnya, saat aku baru saja mendaratkan bokongku di atas bangku. Dia adalah Chacha, nama aslinya adalah Clarisa Abshari Pratista. Anak tunggal dari seorang pejabat, salah satu anggota DPRD di kota ini. Dia anaknya sangat lucu, kocak, baik,tetapi dia masih saja kekanak-kanakan dan terkadang suka sensitive.

"Kebiasaan banget sih loe Cha, ngerjain tugas disini" ucap gadis berambut hitam yang berada disampingku. Dia adalah Serli, Serli Angela Brunella teman sebangkuku. Dia putri pertama dari 2 bersaudara, keluarganya hanya keluarga sederhana. Ayahnya seorang wiraswasta di kota ini. Dia orangnya sangat ceplas ceplos, suka sekali dengan tantangan, kadang selalu heboh dan dia juga sangat baik.

"Udah gak apa-apa, nih tugasnya" ucapku menyerahkan buku tugasku ke Chacha. Dan Chacha langsung menerimanya dengan sangat antusias.

"Thanks Tha, loe memang sahabat terbaik gue" ucap Chacha tersenyum

"Terlalu baik loe Tha, lama-lama keenakan juga kan nih si Chacha" ucap gadis berkulit coklat yang duduk disebelah Chacha. Dia adalah Ratu Adela Aloysius, dia sangat tomboy dan berpenampilan apa adanya. Dia orangnya tidak suka yang ribet, dia menyukai hal hal yang simple, dia selalu membuat rusuh di sekola dan dia jago bela diri. Dia anak dari seorang wartawan swasta di perusahaan televisi swasta dikota ini.

"Ya nggak apa-apa, asalkan loe paham dari jawaban itu" ucapku santai

"Gue paham kok," jawab Chacha dengan cengiran lebarnya.

Inilah ketiga sahabat terbaikku. Kami sudah bersahabat dari sejak kami duduk di bangku Junior High School. Selain tante Ratih, merekalah keluargaku. Mereka selalu ada di saat aku butuh dan kami selalu saling membantu satu sama lain. Kegilaan, kekonyolan, tawa bahagia, membuat onar di sekola, itu sudah melekat di diri kami berempat. Bahkan guru BP sudah bosan menghukum kami berempat.

Bukankah masa sekola itu adalah masa yang paling indah...

Dan di antara kami berempat, baru Serli lah yang sudah memiliki kekasih. Sedangkan aku, Ratu dan Chacha kami masih menjomblo, kami belum pernah memiliki seorang kekasih.

Dan Tragedi itu mulai terjadi, saat itu Chacha baru saja memiliki seorang kekasih yang bernama Gilang. Chacha begitu tergila-gila padanya, bahkan semua permintaan Gilang, diturutinya. Chacha melupakan kami sahabatnya sendiri. Chacha sudah sering bolos sekola, padahal selama kami bersahabat kami tak pernah bolos. Bahkan Chacha lah yang sangat bersemangat untuk selalu bersekola.

Kami bertiga sudah lelah mengingatkan Chacha, tetapi Chacha tak pernah menggubrisnya dan tetap pada pendiriannya.

***

Chapitre suivant