webnovel

4. Bidadari Kecil

Thalita baru sampai diruangannya pagi itu, dan menyambar jas dokternya untuk dia pakai. Tak lama handphonenya berdering dan menampakkan satu nomor tanpa nama dilayarnya. Thalita menatap nomor yang muncul di layar handphonenya itu. "Ternyata dia tidak mengganti nomor telponnya sama sekali" ujar Thalita saat mengetahui kalau yang menghubunginya adalah Dhika. Thalita segera mengangkat teleponnya dan ternyata Dhika memintanya untuk datang ke ruangannya.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh sang empu, Thalitapun masuk ke dalam ruangan, terlihat Dhika tengah berdiri menatap keluar jendela yang langsung menampakan jalanan ibu kota dengan sebelah tangannya yang dimasukan ke dalam saku celananya.

"Ada apa dokter memanggil saya?" Tanya Thalita karena Dhika tak kunjung berbalik badan. Mendengar suara Thalita yang seakan menyihir otaknya, Dhikapun berbalik dan tatapan mereka berdua langsung beradu. Dhika selalu terhipnotis oleh mata hitam bulat milik Thalita, membuatnya sulit sekali untuk berpaling. Tetapi dengan cepat Thalita memalingkan pandangannya ke arah lain. "ada apa?" Tanya Thalita dingin.

Dhika merasa sakit melihat sikap dingin Thalita, tetapi Dhika juga mencoba untuk memakluminya. 'ini semua karena kesalahanku juga'. batin Dhika. Dhika berjalan ke arah meja kerjanya dan mengambil berkas pasien di sana.

"Bagaimana kondisi ibu Atikah?" Tanya Dhika menanyakan pasien yang kemarin melakukan operasi paru-paru.

"Kondisinya masih belum ada perubahan, sepertinya pasien nyaman dengan kondisi tertidurnya" jawab Thalita, membuat Dhika mengangguk paham.

"Apa tidak ada walinya yang datang?" Tanya Dhika lagi mengalihkan pandangannya dari berkas ke arah Thalita yang masih memasang ekspresi dingin dengan paras cantiknya. Dhika selalu terpesona dengan kecantikan Thalita, bagaimanapun penampilannya, dia selalu terlihat cantik dimata Dhika. Bahkan hatinya slalu bergetar saat menatap Thalita.

"Belum ada" jawaban Thalita dingin, Dhika tersenyum kecil melihat sikap dingin Thalita.

"Ini data pasien yang baru saja masuk tadi malam. Remaja berumur 18 tahun, namanya Rahma. Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir" ujar Dhika. "tolong kamu perhatikan perkembangannya. Kemarin malam aku sudah menyuntikkan Oxycodone padanya" ujar Dhika menyodorkan berkas ke arah Thalita.

"Kalau begitu saya permisi" ujar Thalita, Dhika hanya menjawabnya dengan anggukan. Ingin sekali Dhika bertanya apa dia sudah sarapan, dan berbicara seakrab mungkin tidak formal seperti ini. Tapi Dhika sadar, dia tidak mungkin melakukan itu. Mendekati Thalita lagi harus butuh tahapan tidak bisa dengan mudah dan cepat. Dhika memperhatikan Thalita yang berjalan diluar ruangannya lewat kaca. Karena dinding ruangan disini semuanya terbuat dari kaca. Dhika terus memperhatikan Thalita yang kini menghilang dibalik pintu lift yang tertutup.

Thalita berjalan memasuki ruangan bernomor 115. Matanya melotot sempurna saat menatap gadis remaja yang terbaring lemah diatas brangkar. "dia.." gumam Thalita kaget, sampai menutup mulutnya tak percaya.

Thalita berjalan mendekati pasien, dan mengelus kepala pasien dengan lembut. "Sepuluh tahun berlalu. Tapi kamu tidak berubah" gumam Thalita tersenyum dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Merasa ada yang mengusap kepalanya gadis itupun membuka matanya perlahan dan langsung menatap wajah Thalita. Gadis itu bahkan mengernyitkan dahinya merasa kaget dan tak percaya.

"Kak Lita" gumam gadis itu lirih dan pelan karena terhalang alat pernafasan yang menutupi hidung dan mulutnya.

"Hallo little princess" ujar Thalita tersenyum.

"Kak Lita masih ingat aku?" Tanya gadis yang diketahui bernama Rahma itu.

"Pasti sayang, kakak tidak akan pernah lupa sama little princessnya kakak" ujar Thalita terus mengelus kepala Rahma dengan lembut.

"Kakak kemana saja? Tidak pernah datang lagi menemuiku?" Tanya Rahma membuat Lita tersenyum.

"Maaf sayang, kakak sangat sibuk dengan study kakak dan kakak baru kembali lagi ke Indonesia beberapa minggu yang lalu. Kakak datang ke rumah kamu tetapi ternyata kamu sudah tidak tinggal disana lagi" ujar Thalita.

"Iya kak. Aku, adik-adikku dan orangtuaku pindah ke rumah yang lebih sederhana. Rumah itu di jual, karena papa kehabisan uang untuk pengobatanku" ujar Rahma dengan lemah.

"Sekarang dimana mereka?" Tanya Thalita

"Tadi disini, tapi sekarang aku tidak tau. Mereka mungkin sedang keluar" jawab Rahma.

"Little princessnya kakak sekarang sudah menjadi princes yang sangat cantik" ucap Thalita menatap Rahma penuh sayang.

"Kakak juga semakin cantik, apalagi sekarang sudah menjadi seorang dokter" kekeh Rahma terllihat sedikit menahan sakit didadanya.

"Jangan tertawa dulu" perintah Thalita dan Rahma membalasnya dengan tersenyum kecil. "istirahatlah cantik, kakak akan memeriksa kondisimu dulu" ujar Thalita mulai menempelkan stethoscope di telinganya dan memeriksa kondisi Rahma.

Thalita masih tak beranjak sedikitpun dari samping Rahma yang kini sudah terlelap. Pandangannya tak lepas menatap wajah pucat Rahma, hingga ingatannya kembali menerawang ke sepuluh tahun yang lalu.

Flashback on

Thalita tersadar saat bau asap, dan panas menerpa tubuh dan kulitnya. Thalita membuka matanya dan melihat sekeliling ruangan yang ia tempati sudah dilahap oleh api.

Dengan kondisinya yang masih sangat lemah, Thalita terbangun dan melepas alat bantu pernafasan yang bertengker di hidungnya. Sesak langsung menerjangnya, membuatnya terbatuk-batuk karena asap yang langsung menyesakkan dadanya. Thalita mencoba meminta tolong tapi karena masih sangat lemah, suaranya sangat kecil dan serak. Thalita melihat api mulai menjalar mendekati brangkar yang ia tempati dan terdapat tabung oksigen di sisi brangkarnya. Lita sadar kalau api itu mengenai tabung, ruangan ini akan hancur karena ledakan termasuk dirinya. Thalita melepas jarum infusan di tangannya dengan menahan kesakitan.

Dengan susah payah Thalita menuruni brangkar sambil berpegangan ke sisi brangkar dan meja di sampingnya. Thalita berusaha untuk berdiri tegak meskipun rasa pusing menjalar, ia menarik sprai diatas brangkar dan membalutkannya ke tubuhnya sendiri. Setelah itu iapun beranjak menerjang api yang menghalangi langkahnya menuju pintu keluar .

Thalita berhasil melewati api itu walaupun lengannya terluka karena terkena api. Ia menahan rasa perih dilengannya dan melempar sprai yang sedikit terbakar itu dengan sembarangan. Thalita berjalan dengan gontai menyusuri lorong rumah sakit yang sepi dan juga sebagiannya sudah dilahap api.

Thalita terus berteriak meminta tolong, tetapi tidak ada yang mendengarnya. Terlihat disini tidak ada orang sama sekali. Ia berhasil berjalan menuju lift, tetapi lift sudah tidak bisa di pergunakan. Ia kembali berjalan dengan berpegangan ke dinding menuju tangga darurat, meskipun badannya terasa sangat lemas dan kepalanya begitu pusing, Thalita tetap berjalan. Tetapi naas saat membuka pintu tangga darurat, ternyata disana sudah terlahap si jago merah tanpa celah. Thalita merasa dirinya sudah terjebak dan tidak tau harus bagaimana, apalagi perut disebelah kanannya terasa sangat sakit membuatnya sedikit membungkuk.

"Tolonggggg!!!!!" teriak Thalita sambil terbatuk-batuk. Keringat sudah membasahi tubuh ringkihnya, bahkan dadanya terasa sangat sesak sekali. Thalita masih berusaha berteriak meminta tolong dengan suara lemah dan seraknya. Thalita sudah merasa kalau umurnya akan berakhir saat ini juga disini. Dengan menyandarkan punggungnya ke dinding Thalita terus melafalkan doa dengan memejamkan matanya.

"Kakak...kakak" suara anak kecil samar-samar tertangkap oleh indra pendengaran Thalita membuatnya langsung membuka mata.

"Siapa itu? Tolong aku,"seru Thalita dengan suara seraknya.

"Kakak,, disini" ucapnya pelan membuat Thalita celingak celinguk melihat sesekelilinya mencari asal suara. Hingga pandangannya menangkap sosok seorang anak perempuan berambut sebahu yang memakai pakaian pasien di rumah sakit ini tengah menyembulkan kepalanya dari lubang ventilasi di sudut bawah tak jauh dari Thalita berdiri. "kakak, ayo masuk kesini. Kita bisa keluar lewat sini" ucapnya antusias saat Thalita sudah berjongkok di hadapannya.

"Apa bisa?" Tanya Thalita mengernyitkan dahinya.

"Iya kakak, kita ikutin tikus ini" anak itu memperlihatkan tikus putih kecil ke hadapan Thalita membuatnya geli dan jijik sendiri.

"Kamu percaya dengan tikus ini? Jangan bercanda De, ini bukan saatnya bermain-main" ucap Thalita sedikit kesal.

"Aku gak bercanda kakak, aku serius. Tikus ini akan membantu kita keluar dari sini" ujar anak itu membuat Lita semakin bingung. "aku mempunyai sedikit keistimewaan, aku bisa mengerti bahasa hewan" ucapnya membuat Thalita kembali mengernyitkan dahinya semakin keras membuat lipatan di dahinya semakin jelas.

"Percaya sama aku, kakak. Ayoo" ujar anak itu lagi, Lita benar-benar bingung. 'Apa aku harus mempercayainya atau tidak' Pikir Lita

"Kalaupun kita harus meninggal karena di lahap api ini, tetapi seenggaknya kita sudah berusaha" ujarnya. 'Benar juga yang dia katakan, aku harus berusaha dulu. Jangan pasrah begitu saja' Batin Lita.

"Ayo Kakak, apinya semakin dekat" ucapnya lagi

"Apa muat?" Tanya Lita melihat ukuran lubang itu

"Aku yakin kakak akan bisa masuk, aku saja bisa merangkak. Kakak pasti masuk, ayo" ucapnya membuat Lita mengangguk. Thalita mengikuti anak itu masuk ke ventilasi itu dan benar saja, ternyata badannya muat masuk ke dalam meskipun dengan posisi merangkak.

Lita terus mengikuti anak itu sambil memegang perut sisi kanannya yang terasa sangat sakit. Hingga mereka menemukan ventilasi yang jalurnya kebawah. "kakak penutupnya buka" ucap anak itu. Lita dan anak itu sama-sama membuka penutupnya dengan sekuat tenaga hingga akhirnya terbuka juga. "kita meluncur ke bawah, yah kak" ucap anak kecil itu.

"Apa kamu yakin? Gimana kalau di bawah sana sudah di lahap api? Kita tidak mungkin naik lagi kan" seru Lita sedikit ngeri membayangkan mereka meluncur ke bawah tetapi di bawah sana api sudah menanti mereka untuk dilahapnya.

"Kakak, kalau kita memang harus meninggal disini. Apa daya, kita tidak meluncurpun kita akan tetap meninggal karena kehabisan nafas karena api yang diluar sana" ucapnya. " ayo kak, seengaknya kita coba dulu" tambahnya penuh percaya diri membuat Lita tersenyum dan ikut mengangguk antusias.

"Tapi kakak dulu, oke. Takut ada api di bawah" ucap Lita membuat anak kecil itu mengangguk. Lita menurunkan kedua kakinya dan dengan posisi terlentang, Lita meluncur ke bawah diikut anak kecil itu. Keduanya meluncur dengan cepat.

"AAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa" teriak keduanya.

Hingga mereka melihat cahaya disana dari lubang penutup ventilasi membuat Lita ketakutan, takut cahaya itu dari api yang tengah berkobar. Mereka tidak bisa menghentikkan gerakannya sehingga terus meluncur dan kaki Lita langsung menabrak tutup ventilasi hingga terbuka. Tubuh Lita berguling keluar diikuti oleh gadis kecil itu. Keduanya menutup mata dan terbatuk-batuk. Lita membuka matanya perlahan dan yang pertama kali ia lihat adalah langit biru yang cerah. Lita melihat ke arah gadis disampingnya yang masih menutup matanya ketakutan sambil memeluk erat tikus putih itu.

"Kamu baik-baik saja" mendengar ucapan Lita, gadis itu membuka matanya dan melihat sekeliling diikuti Lita. Ternyata mereka berada di belakang rumah sakit. Dibagian belakang rumah sakit ternyata belum terlahap api. Lita dan gadis itu terbangun, keduanya saling pandang dan tersenyum bahagia.

"Horeeeeeee" teriak girang dari keduanya sambil berpelukan."kita berhasil, kak" ucap gadis itu

"Iya dek, kita berhasil" ucap Lita tak kalah antusias. "Ayo kita segera pergi dari sini" Tambah Lita membuat gadis itu mengangguk.

Keduanya berdiri, lalu gadis itu melepas tikus yang dia pegang ke tanah."sekarang pergilah, dan cari keluargamu tikus kecil. Terima kasih sudah membantuku dan kakak ini" ucap gadis itu dan terlihat tikus itu bersuara dengan suara khasnya membuat Lita menatap takjub anak dihadapannya ini. "dadah..." ucap anak itu

"Terima kasih" ucap Lita saat tikus itu berlari masuk ke dalam gorong-gorong. Keduanya berjalan beriringan sambil berpegangan tangan. Sebelah tangan Lita memegang perutnya yang masih terasa sakit. Meskipun badan mereka terasa remuk dan terluka karena berguling tadi, tetapi mereka tidak memperdulikannya dan tetap berjalan beriringan dengan bahagia.

"Siapa nama kamu?" Tanya Lita

"Aku Rahma, kalau kakak?" Tanya anak itu mendongakkan kepalanya menatap Lita.

"Aku Thalita, panggil kak Lita saja" ujar Lita tersenyum. Membuat gadis kecil itu mengangguk patuh . "kita mau pergi kemana?" Tanya Lita saat sampai di pinggir jalan.

"Kakak mau pulang? Alamat kakak dimana?" Tanya Rahma

"Kakak gak tau, kakak gak punya rumah" ucap Lita bingung. 'aku tidak mungkin kembali lagi ke mereka, sudah cukup luka yang aku dapatkan' batin Thalita.

"Kalau begitu ayo kerumah Rahma, rumahnya tak jauh dari sini kok kak" ucap Rahma membuat Lita tersenyum senang.

Flashback off

"Dokter Lita" Thalita tersadar dari lamunannya saat ada tepukan ringan dibahunya. Thalita menengok dan terlihat dokter Rival berdiri dibelakangnya. "kamu melamun? Daritadi aku memanggilmu" ucap Rival

"Maafkan aku, tadi aku sedang menatap gadis ini" jawab Lita segera mengusap air matanya yang tak terasa luruh membasahi pipi.

"Oh begitu, tadi aku hanya lewat dan melihat kamu disini" ucap Rival tersenyum. " dia sakit apa? melihat dari alat medis yang terpasang di tubuhnya sepertinya cukup kronis" ujar Rival menatap Rahma

"Dia mengidap kanker paru-paru stadium akhir" jawab Thalita

"Kasian sekali, gadis semuda ini harus merasakan rasa sakit yang teramat" ujar Rival simpati.

"Iya, meskipun selalu di suntikan oxycodone tetapi itu tidak akan bertahan lama menahan rasa sakitnya" ujar Lita menatap sendu gadis yang tengah terlelap itu.

"Thalita" suara dari seorang wanita membuat Thalita dan Rival menengok.

"Ibu Sari" ucap Lita menghampiri ibu itu dan memeluknya

"Kamu kemana saja? Rahma slalu menanyakan kamu bahkan Ridha, Risa dan Riza selalu menanyakan kamu" ucap Sari saat melepas pelukan Lita.

"Aku pergi ke Wina dan melanjutkan kuliah disana. Ibu sama bapak apa kabar?" Tanya Lita

"Ibu sama bapak baik-baik saja, hanya keadaan Rahma-" ibu Sari tidak melanjutkan ucapannya, air matanya sudah luruh membasahi pipi.

"Ibu tenang yah, saya akan berusaha membantu untuk menolong Rahma" ucap Lita.

"Tapi hampir semua dokter yang memeriksanya mengatakan kalau dia tidak akan mampu di sembuhkan. Tingkat kesembuhannya tidak ada" tangis Sari pecah.

"Saya akan coba berbicara dengan dokter khusus, nanti akan saya kabarin ke bapak dan ibu. Saya akan berusaha mencari cara untuk membantu menyembuhkan Rahma" ucap Lita membuat Sari mengangguk. Thalita memeluk tubuhnya memberi ketenangan.

Saat ini Lita tengah duduk disofa yang ada di ruangan Dhika, sebelumnya Lita sudah menghubungi Dhika. Dan Dhika memintanya untuk menunggu di ruangannya karena kebetulan Dhika tengah memeriksa beberapa pasien.

Lita menatap ruangan Dhika yang terlihat bersih dan rapi, pandangannya terarah ke arah meja kebesaran Dhika. Entah ada dorongan dari mana, Lita berjalan mendekati meja dan berjalan ke dekat kursi kebesaran Dhika. Pandangannya langsung terarah ke arah pigura yang terpajang indah di atas meja kerja Dhika. Dimana seorang gadis yang tengah memakai gaun berwarna pink yang terlihat sangat cantik, dengan rambutnya yang disanggul dan ditata secantik mungkin menyisakan beberapa helai rambut yang terjuntai ke bawah. Disampingnya seorang pria dengan tuxedo hitamnya dan terlihat sangat gagah juga sangat tampan. Terpancar kebahagiaan dari wajah keduanya.

Lita sangat mengetahui siapa orang yang ada di foto itu, dan saat acara apa foto itu di abadikan. Itu adalah foto Dhika dan Thalita saat mereka bertunangan dulu, kebahagiaan yang terpancar dari wajah keduanya sangat jelas, tetapi itu merupakan akhir kebahagiaan mereka berdua dan awal dari malapetaka yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini. Lita ingin mengambil pigura itu tetapi tanpa sengaja lengannya menyenggol laptop di hadapannya membuat layar itu menyala dan memperlihatkan media player yang sepertinya baru diputar. Disana terpangpang jelas wajah Thalita yang terlihat sangat pucat. Dengan tangan yang bergetar, Lita menekan spasi membuat video berdurasi 3 menit itu berputar. Mata Lita berkaca-kaca mengingat saat dia merekam video itu.

'Ternyata dia masih menyimpan semuanya, tapi apa yang terjadi? Bukankah dia sudah menikah dengan kak Natasya?' batin Lita.

Thalita mendengar derap langkah seseorang, membuatnya segera menghentikan video itu dan berjalan menuju sofa. Baru saja Lita mendaratkan pantatnya di atas sofa, pintu ruangan terbuka, dan muncullah Dhika.

"Maaf sudah membuatmu menunggu lama" ucap Dhika

"Tidak apa-apa" jawab Lita sinis, Lita tidak ingin memandang dhika. Dia tidak ingin Dhika menatapnya tengah berkaca-kaca, ia tidak mau terlihat lemah lagi di depan Dhika. Dhika lalu duduk di sofa yang bersembrangan dengan Lita.

"Ada apa?" Tanya Dhika lembut

"Saya datang kesini ingin menanyakan perihal penyakit pasien bernama Rahma" ucap Lita to the point.

"Gadis itu" gumam Dhika. "kemarilah" Dhika beranjak dari duduknya dan berjalan menuju computer yang berjajar disudut ruangannya. Dhika mulai mengotak atik computer itu sehingga muncullah organ tubuh manusia yang bernama paru-paru di layar komputer itu. Thalita sudah berdiri disamping Dhika menatap ke arah Komputer. Thalita terdiam memperhatikan setiap sudut organ pernafasan yang muncul di tiga layar komputer itu.

"Kankernya sudah menyerang paru-paru dan mulai menyebar ke ruas jantung kirinya." Ucap Dhika menunjukkan gambar yang berada di layar komputer sebelah kanannya. "kamu lihat Lita, ini arteri pulmonalis dan aorta. Kankernya sudah menyebar ke sana,"

"Pasien ini termasuk pasien DNR" tambah Dhika.

"Apa tidak ada jalan lain untuk menolongnya?" Tanya Lita tetap fokus menatap layar computer.

"Ada, mungkin jalur operasi. Tapi tingkat keberhasilannya sangat rendah" ucap Dhika. "Jika terjadi serangan jantungpun, kita tidak boleh melakukan CPR,"

"Jadi kita akan biarkan dia mati begitu saja, tanpa melakukan apapun?" Tanya Lita sedikit tersulut emosi.

"Itu lah inti dari aturan untuk pasien DNR" ujar Dhika membuat Thalita terdiam, bagaimana caranya dia menolong adik kecilnya itu. Lita tidak mampu melihatnya semakin menderita.

"Ada apa Lita?" Dhika selalu tau setiap gerak gerik Thalita,

"Tidak apa-apa, aku pergi" Lita berlalu pergi meninggalkan Dhika yang masih penuh tanya.

***

Chapitre suivant