webnovel

Ch. 173

Irene masih tersenyum manis saat ia tau bahwa rencananya akan berhasil sebentar lagi. Tinggal menunggu waktu yang tepat dan semuanya akan berada dalam genggaman tangannya.

"Mereka sudah bergerak, ayo... sekarang giliran kita." Choi Dusik yang sejatinya adalah ayah dari Choi Seungcheol buka suara. Sejauh ini rencana mereka berjalan lancar dan ya, hanya tinggal permainan waktu saja.

"Jangan terburu-buru. Biarkan mereka bersantai sebentar lagi." Ujar Irene. Masih tenang dengan secangkir green teanya, Irene mulai membuka beberapa pesan yang masuk kedalam ponselnya. "Menarik."

"Kau yang jangan terlalu bersantai, ini kesempatan bagus. Selagi mereka belum punya banyak bukti, lebih baik kita bergerak dari sekarang." Tuan Choi sudah mulai jengah, ini kesempatan emas dan tunggu apa lagi?

"Tenang, besok mari kita beri dia kejutan."

**

Setelah acara menyumpah di kantin tadi, Jinyoung langsung pergi menuju kelasnya. Tentunya diikuti oleh duo manusia penuh tanda tanya alias Lucas dan Xukun.

"Tidak main-main memang." Lucas berdecak bangga, sungguh suatu kemajuan kawan-kawan. Jasper pasti bangga di dalam penjara sana.

Setelah insiden tadi selesai yang juga bertepatan dengan selesainya Jinyoung makan, si manusia berkepala biji ketumbar langsung saja pergi kekelasnya. Dia tidak ingin terlambat.

"By the way, kau tau dia mengandung dari siapa?" Tanya Xukun penasaran. Masih tak menyangka saja jika Jinyoung bisa tau kabar menghebohkan seperti itu.

"Teman-teman kelas yang bergunjing dan aku yang pasang telinga." Tentu saja Jinyoung tidak akan bisa kesal pada dua seniornya ini. Yaah, walau tadi sempat membuat malu memang.

"Bagus. Bagus. Tingkatkan." Lucas dengan senyum cerah yang memperlihatkan gigi-gigi besar dari zaman batu miliknya.

Plak.

"Tak usah mengajarkan hal sesat kau! Bayiku tidak boleh lebih sesat dari ini." Menggeplak kepala Lucas dan membawa Jinyoung masuk kedalam pelukannya.

Untung Jinyoung pria, jika bukan? Sudah berdetak kencang jantung Jinyoung saat ini.

"Masih ada Haowen yang pantas di panggil bayi, Hyung." Jinyoung mengomel kesal, enak saja pria itu memanggilnya bayi. Jika dia bayi, Haowen apa? Kecebong?

"Tidak usah protes." Desis Xukun. Jika sudah berdesis seperti ini, jangankan Jinyoung dan Lucas. Jasper saja langsung angkat tangan pertanda menyerah. Menyeramkan memang.

"Jam berapa selesai kelas?" Tanya Lucas. Aneh. Apa tempelengan Xukun tadi membuat otak Lucas kembali pada jalan yang benar?

"Hmm, jam tiga. Nanti aku ingin keperpustakaan dulu. Kenapa?" Jinyoung kembali bertanya. Apa si penerus tahta Wakanda ini ingin mengajaknya kencan?

"Tidak ada, ayo kita beli Ice cream nanti." Lucas melompat-lompat membayangkan bagaimana rasa manis itu meleleh di lidahnya dan berlabuh nyaman di perutnya. Ugh, Lucas... sudah tidak sabar.

"Ya begini, minum susu tidak sesuai umur." Dengus Xukun. Malu Xukun jika seperti ini. Badan Lucas itu termasuk yang paling bongsor di angkatan mereka dan tingkahnya juga termasuk yang paling kekanakan. Heran.

"Heh, yang tidak minum susu diam saja ya."

"Aku minum susu sesuai umur."

"Banyak alasan!"

"Sekian, sampai jumpa. Silahkan lanjutkan pertengkaran kalian dan see u next time." Pamit undur diri, Jinyoung mulai berbelok kearah kanan menuju dimana seharusnya ia berada. Kelasnya.

"Yang kau minum air susu apa air cucian beras?"

"Aku minum susu ya. Kau saja yang minum air putih di tambah cat tembok hingga bisa bobrok seperti ini."

Lucas terdiam. Air putih dan cat tembok? Apa iya ya? Apa orang tuanya salah memberi minuman?

"Minggir kau, Pendek!" Melangkah lebar, Lucas mendorong dahi Xukun hingga pemuda itu hampir jatuh terjerembab menabrak dinding.

"KEMARI KAU BONGSOR TAK TAU DIRI!"

"AKU TIDAK! KAU SAJA YANG TIDAK TUMBUH-TUMBUH!"

**

Jasper seperti hari-hari biasanya di balik jeruji besi ini. Diam, tenang, hening, dan mengumpat dalam hati untuk siapapun yang sudah menjebloskannya kedalam tempat terkutuk seperti ini.

Ceklek.

Klang.

Suara besi yang beradu tak mengalihkan perhatian Jasper dari pejaman mata tampannya. Jasper terlalu malas untuk peduli teman-teman.

"Oh Jasper."

Baru saat namanya di panggil, Jasper membuka mata dan menoleh pada petugas yang sudah menunggunya tepat di depan sana.

"Kau bisa keluar."

Tiga kata yang membuat Jasper terdiam seperti orang bodoh. Kau bisa keluar katanya? Membathin heran, Jasper berdiri dari duduknya. Keluar yang bagaimana maksudnya ini?

"Silahkan ikuti kami."

Lagi, Jasper hanya menurut seperti kerbau yang di tusuk hidungnya. Tak banyak protes karena memang, tabiat awal Jasper seperti itu.

"Tuntutanmu sudah di cabut dengan beberapa syarat. Kau bisa keluar dari sini."

Yang Jasper tangkap hanya kata-kata dengan makna bahwa ia sudah bebas bersyarat dan juga sudah bisa pulang kerumahnya.

Aah, rumah.

Sudah lama sekali Jasper rasanya tidak menyebut rumah. Dan lagi, pulang? Berapa lama ia di balik kurungan besi sialan itu?

Tanpa banyak bicara, Jasper hanya balas dengan mengangguk singkat dan berlalu keluar kantor polisi yang entah, Jasper rasanya sudah mengutuk tempat terkutuk ini.

"Nah, mari kita lihat siapa yang sudah bermain-main denganku."

**

Irene kali ini datang dengan penuh kedamaian di wajahnya. Tidak dengan suaranya yang berteriak-teriak memanggil nama Sehun. Dan juga tidak dengan tingkah tak normalnya.

"Aku ingin bertemu dengan Oh Sehun." Berujar pada staf di bagian informasi, Irene masih tenang seraya memperhatikan kuku-kuku cantiknya.

"Anda sudah membuat janji?"

"Tak perlu membuat janji. Katakan saja padanya." Kenapa karyawan Sehun ini lamban sekali? Sudah lelah berdiri kakinya ini.

"Maaf, tidak bisa. Silahkan buat janji temu terlebih dahulu dengan Presdir Oh."

"Katakan saja padanya ini tentang si anak sulungnya."

Lama terdiam, perempuan pada bagian informasi akhirnya mulai menelfon Sehun. Dengan wajah harap-harap cemas, antara tidak ingin dimarahi, dan juga ancaman pemecatan yang bisa saja datang tanpa tau sebab.

"Halo, Presdir Oh. Bae Irene ingin bertemu dengan Anda."

"..."

"Dia mengatakan jika ini berhubungan dengan Tuan Muda Jasper, Presdir."

"..."

"Baik, Presdir." Meletakan kembali gagang telepon, wanita yang bernama Soojin itu melangkah kedekat Irene dengan senyum tipisnya. "Mari ikuti saya."

**

Fokus Sehun terpaksa harus terbagi karena suara dering telfon yang membuatnya hampir mengumpat kesal.

"Halo, Presdir Oh. Bae Irene ingin bertemu dengan Anda."

"Katakan aku sibuk. Suruh keamanan untuk menyeretnya keluar." Harus berapa kali Sehun katakan agar para keamanan yang bertugas di luar sana tau apa yang harus mereka lakukan jika perempuan menjijikan satu itu datang kekantornya.

"Dia mengatakan jika ini berhubungan dengan Tuan Muda Jasper, Presdir."

Sehun terdiam untuk beberapa  saat, Jasper? Ada urusan apa wanita itu dengan anak sulungnya. "Bawa dia keruanganku."

"Baik, Presdir."

Entah apa yang akan terjadi nantinya, yang Sehun mau saat ini hanya mengenai Jasper apa yang dimaksudkan oleh si rubah itu.

"Sejak kapan dia peduli dengan anakku." Gumam Sehun. Apa itu tidak terlihat aneh?

Tok... tok... tok...

"Masuk."

"Sehun, apa kabar?" Irene berbasi-basi sebentar, duduk di sofa dengan kaki yang bersilang anggun.

"Tak usah basa-basi. Katakan saja apa yang ingin kau katakan." Sehun tentu tak mau repot-repot walau hanya untuk berdiri dari kursi kebesarannya.

"Apa kau tak bisa mendekat? Tidak sopan jika berbicara dari jarak sejauh ini bukan?"

"Aku tak peduli."

Irene memutar bola matanya malas, sungguh. Kurang ajar sekali mulut masa depannya ini. Tapi untuk kali ini biar saja, akan Irene maafkan. Sungguh.

"Aku tak suka basa-basi, jadi... kau mau tau cara agar Jasper cepat keluar dari sana?" Irene berjalan mendekat kearah Sehun. Duduk di sudut meja dengan kaki menyilang dan tangan yang bersedekap di dada.

"Aku sudah membebaskan anakmu." Ujar Irene.

Sehun menghentikan gerakan tangannya yang sedang membalikan lembaran kerja sama dari perusahaan tetangga.

Membebaskan anakku? Dia?

"Tak usah membual." Dengus Sehun. Lelucon tak berkualitas memang.

"Aku bersungguh-sungguh. Aku membebaskan anakmu dengan syarat tentu saja." Senyum licik Irene berikan saat kilatan mata Sehun terasa akan membunuhnya.

"Apa maksudmu, Sialan!"

"Tenang, Sayang." Irene mendekat kearah Sehun. Menyentuh bahu pria yang sampai saat ini masih menjadi pengisi hatinya. Mendekatkan wajahnya pada Sehun dan berbisik pelan dengan senyum licik yang tak juga lepas dari bibirnya.

"Bagaimana? Syaratku mudah bukan? Silahkan berpikir hingga nanti sore tepat pukul enam. Aku tak akan memberimu tenggang waktu." Memperbaiki posisinya, Irene berlalu begitu saja menuju pintu. Tak mempedulikan bagaimana reaksi Sehun yang saat ini sudah mengepalkan kuat kedua belah tangannya.

"Pikirkan baik-baik tawaranku, Oh Sehun."

Ceklek.

Blam.

Praang.

"Kau... sialan!" 

TBC

SEE U NEXT CHAP

THANK YOU

DNDYP

Chapitre suivant