webnovel

BAB 4

Kabar buruk setelah operasi berjam-jam itu membuat keluarga Hyuuga jauh lebih sakit luar biasa.

Hinata mengalami gegar otak dan harus melakukan perawatan fisik maupun psikis di kemudian hari. Tidak berakhir di situ saja, ketika gadis itu mengalami kerusakan kornea karena kecelakaan menjadi penyebab utama Hikari Hyuuga berinisiatif menyelamatkan putrinya dengan mengorbankan dirinya sendiri, mengingat sulitnya mendapatkan sebuah pendonor dalam sekejap, apalagi kenyataannya kornea mata keluarga Hyuuga tidak sembarangan bisa didapatkan karena kasus genetika.

Meski mereka menunggu ada kabar baik dari Bank Mata, kecil kemungkinan mereka mendapatkannya secepat yang mereka butuhkan.

Kelumpuhan dan kebutaan, kabar buruk itu lebih mengerikan dari saat mereka mendapatkan kabar bahwa putri mereka mengalami kecelakaan dan harus mendapatkan penanganan secepatnya.

"Kita harus membawanya pergi ke luar negeri, mencari rumah sakit yang bisa menolongnya." Istrinya mendesak, sementara Hiashi tetap memandangi putrinya yang masih belum sadar dari koma. "Kau mendengar apa yang kukatakan, 'kan?"

Hiashi melirik istrinya, kemudian dia mengambil duduk di sofa ruang inap putrinya, dengan menenangkan dirinya sendiri, dia bersuara, "aku mendengar semua yang kaukatakan sejak tadi, Hikari."

"Lalu, kau menunggu apa lagi?"

"Tidak mudah mendapatkannya!" Hiashi memberitahu dengan berat hati. "Kornea keluarga Hyuuga sangat unik. Salah satu dari kita harus mendonorkan kornea untuk anak itu."

"Aku—" istrinya mendekatinya, keyakinan yang ditunjukkan wanita itu membuat Hiashi bergidik. "Aku akan melakukan apa pun untuk putriku. Perjalanan hidupnya masih panjang. Dia butuh penglihatan, setidaknya meski dia lumpuh dia bisa melihat dunia kembali."

"Lalu, apakah Hinata akan merasa baik-baik saja setelah mengetahui dari mana dia mendapatkan penglihatannya kembali?"

"Hiashi, kumohon!"

Namun permohonan istrinya tidak akan pernah dikabulkan olehnya, sebaliknya Hiashi tidak bisa memberitahu alasan bahwa anak perempuan tidak sebegitu penting baginya, dan mendonorkan mata itu sesuatu yang masih dianggap sangat tidak wajar.

Sebagai seorang ayah, bersikap diskriminatif tidak dianjurkan dalam hubungan keluarga. Tapi bentuk patriarki turun-temurun itu membuat Hiashi menutup mata hatinya. Ia mungkin merasa terpukul oleh kabar buruk itu, tetapi tidak mengubah apa pun.

Ia membiarkan istrinya menangis di sampingnya dan terus memohon tanpa henti pula.

Hiashi tidak tergerak sedikit pun sekadar memikirkan pilihan istrinya saja tidak, meski dapat dilihat olehnya, putri keduanya yang seharusnya pulang dengan gembira seusai pesta kini justru terlihat mengenaskan.

Pada setiap jengkal tubuh gadis itu penuh luka, terpasang slang-slang medis dengan alat yang terus menunjukkan bahwa gadis itu masih hidup, sebaliknya Hiashi cukup merasa lega hanya karena masa kritis telah dilewati, ia tidak peduli tentang apa yang bakal dilakukan olehnya selanjutnya—sebagai seorang ayah dia harusnya memikirkan sedikit nasib putrinya, tetapi sayang sekali bahwa Hiashi sudah merasa lega kalau anak itu masih tetap hidup dan berada di sisinya.

Chapitre suivant