webnovel

Pasukan Khusus

Keempat wanita itu tidak menyangka kalau pria yang ditemui mereka ternyata masih sangat muda berumur. Zay pemuda tampan asisten Ryozo berumur 23 tahun lebih muda dari mereka semua. Tubuhnya tinggi tegap, dia terlihat santai dengan pakaian olahraga. pertemuan itu memang dirancang di pagi hari di Lapangan olah raga. Ada banyak orang di sana.

awalnya mereka menduga Zay seorang pria dewasa berumur antara 30 atau 40-an, ternyata yang datang menemui mereka adalah pemuda yang masih muda.

"Halo! Saya Zay!" sapa Zay yang lebih dahulu. Zay malah sudah mengenali mereka. "Halo! jawab mereka kaget. Zay mengambil tempat duduk di atas rumput, sementara ke empat wanita itu duduk di alas plastik khusus bermotip cantik seperti orang piknik, mereka membawa banyak makanan dan minuman. Zay tersenyum.

"Saya sudah membaca riwayat kalian!"

"Apa!" seru mereka serempak. "Secepat itu...bagaimana mungkin!?" kata Puji.

Zay tersenyum menanggapi.

"Kamu sudah tahu siapa kami?" tanya Amel. Zay mengangguk.

"Kalian seperti intelijen!" kata Anne. "Kamu pasien palsu itu kan?" tanya Zay ke Anne. Wanita itu kaget. "Kamu bisa tahu itu..!"

"Rumah sakit jiwa itu milik.kami!"

"Apa...kalian sengaja membuatnya?"

"Untuk membuat kurungan untuk Dia (Mahesa)". jawab Zay

"Jadi...itu...!"

"Penjara!" sahut Tina cepat. Zay mengangguk mengiyakan. "Syukurlah!" sahut Amel.

"Kok kamu malah bersyukur?" tanya Tina heran.

"Karena kita bisa memantau ilmuan gila itu!"

"Benar juga!" sahut Puji.

"Kamu sekretarisnya kan?" Zay menggoda Amel. Yang lainnya tertawa. "Cuma kamu yang tahu kalau dia ilmuan gila!" kata Tina. Amel tersenyum. Dia menjadi sekretaris Mahesa sejak dua tahun yang lalu. Sejak itu pula hidupnya kacau. Menyadari itu hati Amel sakit. Untungnya dia tidak hamil karena itu. Tuhan masih melindunginya.

Apa rencanamu?" tanya Anne ke Zay. "Melatih kalian!"

"Melatih kami!" kata mereka serempak. "Pekerjaan ini bukan main-main...ini sangat berbahaya...kalian harus bisa melindungi diri!"

"Apa kamu di latih ilmu bela diri?" tanya Puji. "Diantaranya begitu!" sahut Zay. Mereka saling berpandangan. "Kamu serius!" tanya Tina. "Tentu saja! Apa kalian berani!" tantang Zay. Mereka terdiam. "Sebaiknya mundur kalau ragu-ragu!"

Mereka terdiam. Dendam mereka harus di balas.

"Siapa takut!" Sahut Amel semangat. "Ya. Tentu saja. Aku siap!" jawab Tina.

"Aku benci dengan diriku sekarang. Aku tidak ingin hal ini terjadi pada orang lain. Aku siap berkorban untuk perjuangan ini!" Puji menepuk pundak Anne. Wanita idealis ini hancur karena Mahesa. "Kita hancurkan mereka!" Puji meletakkan telapak tangannya di depannya. Dia menoleh kepada tiga temannya. Mereka meletakkan tangan mereka di atas tangan Puji. "Kita hancurkan mereka!" Zay tersenyum melihat semangat keempat wanita cantik itu. Sekarang dia punya tugas baru, melatih ke empat wanita itu. Menjadikan mereka pasukan khusus.

Mereka kemudian berangkat ke pulau Pusaka.

.....

Sementara itu, Piya menghubungi Delima. Gadis itu kaget. Piya kok tiba-tiba menelponnya. "Aku punya pekerjaan untukmu!"

"Aku sudah bekerja sekarang. Pekerjaannya enak gajinya tinggi!"

"Gajinya 3 lipat dari gajimu sekarang".

"Kita ketemu sekarang!" sahut Delima cepat. Dia Matre. Piya tersenyum. Piya sejujurnya mengkhawatirkan adik sepupunya itu. Delima bekerja di perusahaan Tokugawa, musuh Ryozo pasti mengincarnya kalau tahu hubungan kekeluargaan meteka. Delima harus berlatih cara melindungi dirinya. "Temui aku di puncak gedung ini!"

"Apa!!" Delima kaget, Piya ada di puncak gedung. Ngapain! Pikirnya

"Sekarang!"

"Oke. Aku ke sana!" Delima berjalan tergesa-gesa menuju lift. Dia takut Piya bunuh diri di puncak gedung itu. Kali aja Piya jadi Gila.

Di puncak gedung perusahaan Tokugawa, Piya menunggu Delima di dalam helikopter. Delima kaget. "Piya? Helikopter ini...!"

"Naiklah! kita berangkat!"

"Apa!!

***

Delima tidak sempat lagi bertanya banyak hal kepada Piya. Meskipun dia ingin mengajukan banyak pertanyaan yang ada di benaknya kepada Piya, tetapi menikmati pemandangan dari atas dalam helikopter ini jauh lebih penting. Delima takningin kehilangan momen indah ini. Akhirnya impiannya kesampaian. Naik helikopter merupakan impiannya sejak kecil. Meski dia anak seorang dijabat petinggi dari kepolisian tetapi dia tidak pernah menikmati fasilitas negara untuk bersenang-senang seperti ini. "Wow...luar biasa... luar biasa...indah sekali....!" Delima bersorak kegirangan. Dia bertepuk tangan gembira menengok kiri kanan jendela helikopter seperti seorang anak kecil yang baru mendapatkan hadiah mainan. "Wow...ada pulau...ada istana...waaah besar sekali...kita ke sana ya...!" Piya mengangguk. "Asyiik!" Delima bertepuk tangan lagi kesenangan.

"Seperti istana dongeng... wonderful...!" Delima merogoh kantongnya ingin mengabadikan pemandangan di bawah dengan ponselnya. "Ya tuhan...Hpku tertinggal...aduuh gimana ini...Piya pinjam HP-mu!" Piya memberikan ponselnya. Delima merekam pemandangan di bawahnya sambil bergumam. "Subhanallah...laut...lautnya indah sekali....pantai...pasir putih....oh Tuhan...cantiknya!" Delima sangat senang. Naik Helikopter merupakan pengalaman yang baru bagi Delima.Tidak seperti Piya. Piya kan polisi. Dia sering terlibat aksi penyelamatan untuk korban bencana alam dengan helikopter ketika jadi polwan.

Capt Ruben Amarta, Pilot Rotary Wings atau helikopter itu tersenyum geli melihatnya. Delima bukan satu-satunya orang bersikap begitu ketika pertama kali naik pesawat ini.

Capt Ruben Amarta bekerja di perusahaan penyedia jasa sewa helikopter di Jakarta. Dia telah menerbangkan helikopter sejak tahun 2000 silam hingga kini. Usai menamatkan sekolah penerbangan selama tiga tahun, ia langsung terjun ke dunia penerbangan.

Piya mengenalnya ketika masih menjadi anggota kepolisian. Mereka berteman sejak 5 tahun yang lalu, pria ini juga mengenal baik Delima. Teman Piya ya teman Delima juga, Delima terlalu takjub berada di Helikopter ini sehingga dia jadi tidak memperhatikan Capt Ruben Amarta yang tertawa melihat tingkahnya.

Setelah helikopter itu mendarat di pulau Pusaka, Ruben membuka Helmi dan kacamata miliknya, Delima terpekik kaget melihatnya, "Ruben !...Ooh my God... rupanya kamu yang jadi pilotnya.. kenapa g bilang-bilang!" Delima memukul lengan pemuda tinggi besar itu. "Kamu dari tadi asyik banget sih!" Delima tersipu malu. "Iya...maaf Ruben! Aku tadi terlalu gimana gitu!" Delima menutup wajahnya dengan tangan kanannya yang bersemu merah."Delima kamu cantik sekali!" Puji Ruben Amarta jujur. "Oh iya...aku memang cantik!" sahut Delima sambil tertawa. Mereka memang sejak dulu suka saling menggoda. Mereka tetap begitu, walaupun sudah lama tak saling bertemu. "Hmmm...!" Piya mendehem. Dua orang itu melupakan Piya yang berdiri dari tadi di antara mereka. Ruben tertawa " Oh... Piya... maaf...aku pamit dulu ya sampai jumpa!" Ruben naik helikopter itu dan melayang pergi.

Delima tiba-tiba baru menyadari sesuatu. "Piya...aku tidak bawa apa-apa kesini...tasku...dompetku...ponselku...oh my...aduuh gimana dong!" Delima panik. "Tenang aja...4 jam lagi barang milikmu itu akan di antarkan!" Sahut Piya kalem.

"Ayo kita masuk!" Delima mengiringi Piya memasuki istana Pusaka itu. Dia kebingungan

"Piya...kita bermalam di sini ya...sampai kapan...trus tentang kerjaan itu... kerja apaan sih itu... beneran gajinya gede... halal ga... bukan jual diri ka..n?" Piya berbalik, "Nanti aja nanya nya!....ini kamarmu...kamarku di sebelah...istirahatlah dulu...satu jam lagi aku kembali!" Piya membukakan pintu kamar Delima, begitu Delima masuk kamar itu, .pintunya langsung tertutup. Delima Berbalik ingin membuka pintu itu. Terkunci. Pintunya terkunci otomatis. Mana kuncinya? Delima mengetuk-ngetuk pintu kamar itu tidak ada yang mendengar. Delima panik. Dia paling takut terkunci. "Piya...Piya...eh hik hik Piya bukain!" Delima menangis. "Ada apa sih berisik amat!" Delima Berbalik melihat arah suara, ada orang lain di kamar itu. Delima sekamar dengan Amel.

"Kamu...kamu si siapa?" Delima gugup.

"Aku Amel...kamu?"

"Aku..aku Delima!"

"Kamu memang cengeng gitu ya...ini kunci kamar kita...itu tempat tidurmu...ranjangku yang ini!" Amel melempar kunci kamar di ranjang milik Delima. Kamar ini sangat besar dan indah. Dua orang saja di kamar ini masih terlalu luas untuk mereka.

"Mandilah dulu...pakaian untukmu ada di lemari itu!" Amel menunjuk lemari besar berisi banyak pakaian wanita. Delima tertegun campur bingung. Siapa Amel? kenapa dia juga ada di pulau ini?"

Delima tidak tahu mulai besok dia sudah mengikuti latihan keras seperti tentara yang bakalan membuatnya menangis setiap hari.

Chapitre suivant