webnovel

Melarikan Diri

Andai hati seperti kertas

Andai masalah berupa pensil

Dan andai sabar itu adalah penghapus

Aku ingin pensil itu menulis apapun masalahnya dikertas itu

Dan sabar akan menghapusnya setelah itu

Walaupun kertas itu berbekas

Tapi tak apa aku bisa menghapusnya

Tapi sayang hati adalah hati

Dikecewakan saja ia akan tergores

Perih tapi tak terlihat

Sabar sudah ku lakukan tapi tak bisa kulupakan

Jangankan untuk dilupakan diobati saja tak bisa

Hati bisa kah kita berkompromi

Jangan terluka lagi aku tak mampu merasakan sakit lagi

Jangan kau simpan lagi

Tolong buang

Buang rasa sakit itu ikhlaskan

Kau terlalu berharga untuk terluka (lagi)

-Yuna Resya Tirka

Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian di cafe itu. Tahukah kalian, mengapa aku memutuskan pergi begitu saja dari cafe itu? Pertama-tama aku ingin mengakui, bahwa aku memang Chilidish. Tapi aku punya alasan, aku terlampau jijik untuk berada disana; berada ditempat yang sama dengan mereka, berbagi oksigen dengan mereka, mereka tidak pantas mendapat perlakuan yang sama denganku! Dan aku tak ingin memperlihatkan sosok diriku yang menyedihkan; didepan mereka. Bahkan aku tidak mau orang lain yang berada di sana seakan tau dengan penderitaanku dan melihatku dengan rasa kasihan.

Apa kalian tahu?

Dikasihani lebih menyakitkan dari pada disakiti atau dikecewakan.

Rasa jijikku terhadap mereka lahir dari rasa penyesalan terdalamku. Aku menyesal pernah kenal, bahkan sempat cinta sama laki laki yang terlalu baik seperti dia. Aku paling tidak suka berbagi apapun yang menjadi milikku, walau pun telah atau hanya pernah menjadi milikku. Karena bagiku, lebih baik membelikan yang baru untuk orang lain dari pada harus memberi sesuatu yang sudah aku buang untung orang lain, bukan kah itu lebih baik?

Bukan alasan cinta yang membuat seorang Yuna Resya Tirka benar benar kecewa. Tapi sebuah 'kepercayaan' yang telah hilang.

Sakit itu masih membekas sampai saat ini. Berapa banyak orang yang mengucapkan kata 'sabar' tanpa tau apa itu sabar. Mereka hanya bisa berkata dan berbicara 'sabar' kepadaku. Tapi nyatanya? Mereka tidak tahu dan tidak pernah tahu bagaimana perasaanku dan apa yang terjadi sebenarnya.

Aku tidak perlu dieja atau diberi tahu berulang tentang kata sabar, karena aku tahu apa itu sabar dan bagimana aku harus bersabar. Sabar itu memang sulit untuk dikerjakan. Tapi logikanya, aku tidak akan berada di saat ini masih tersenyum dan bisa tertawa dihadapan kalian kalau aku tidak sabar.

Walaupun mereka mengatakan tahu dan mengerti bahwa aku sudah bisa sabar dan ikhlas. Tapi mereka tidak pernah tahu bagaimana hatiku yang terdalam. Karena, bahkan sampai saat ini aku belum bisa berdamai dengan hati sendiri. Separuh hatiku memaksa untuk mengikhlaskan, sabar dan melupakan. Namun ... sebagian lagi memberontak; menginginkan keadilan di hati untuk membenci mereka dan menjauhi mereka, karena sakit hati yang mereka beri.

"Ehem...." dehem suara laki laki yang berdiri disampingku, menyadarkanku dari lamunan yang cukup panjang. Aku menoleh ke arahnya. Beberapa peserta test lain pun ikut menoleh ke arahnya.

Kami saling perang tatapan cukup lama sampai akhirnya dia mengalah dengan bertanya, "Sudah selesai?" Wajahnya tampak serius, tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana, aku pikir dia sengaja agar aku melihatnya dengan keren, Sayangnya posenya malah membuatnya terlihat bodoh.

Dengan ragu aku pun menjawab, "Emm ... belum pak," lalu kembali berpura-pura menulis sesuatu. Aku sedang malas untuk mengobrol dengannya, kalau pun tidak malas bukankah aku tidak punya otak, disaat orang-orang sedang berkonsentrasi untuk memperjuangkan masa depannya, aku malah menganggu mereka saja.

Ia berdiri cukup lama, sampai aku harus berpura-pura menghitung sesuatu dan bergumam pelan sendiri dan pada akhirnya ia menyerah dengan berbisik, "Yasudah lanjutkan. Jangan melamun lagi. Apa kamu mau gak lulus tes lagi, kali ini?"

Sembari menjauhkan kepalaku dari kepalanya yang mencoba berbisik aku berkata, "Eng ... enggak Pak." Sejujurnya setelah pikiranku melayang-layang ke masa lalu aku jadi tidak bernafsu untuk mengerjakan soal.

"Lanjutkanlah!" Perintahnya dengan tegas, dia awalnya menjauhkan tubuhnya namun tak lama sebelum kembali melangkah ia berbisik, "dan kita perlu bicara Resya. Jangan coba-coba kabur dari gue!"

Aku hanya bisa menahan emosi dengan mendengus lalu menghembuskan poni dengan jengkel. Dengan wajah kesal kuikuti gerak geriknya yang berjalan ke sudut belakang kelas dengan berjalan santai. "Ah shit lo Dirga!" gumamku yang tidak bisa aku suarakan.

•••

Kantin dengan suasana hijau berbentuk persegi panjang itu tak dipadati mahasiswa/mahasiswi seperti biasanya saat jam makan siang, karena mahasiswa/mahasiswi masih libur dan hanya menyisakan mahasiswa/mahasiswi abadi yang berusaha melepaskan kutukannya agar bisa bebas bekelana ke dunia yang sebenarnya. Mengapa aku tahu? karena aku pernah datang ke sini saat lomba dies natalis yang diadakan fakultas kedokteran. Ya ... kedokteran, aku pernah bermimpi bisa masuk ke fakultas tersebut.

Kami memilih salah satu meja kantin yang tak jauh dari pintu masuk. Saat duduk berhadapan aku berusaha acuh tanpa bisa menutupi wajah kekesalanku. "Kenapa lo pergi aja waktu itu?" Tanya Dirga yang duduk hadapanku sembari berpangku tangan dengan senyum bodohnya. Rencana yang aku buat dimenit terakhir waktu mengerjakan soal sia-sia, pada akhirnya dia berhasil menyeretku ke kantin kampus untuk berbicara berdua.

"Kenapa lo pengen tau? Masalah buat lo? Penting gitu?" Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya dengan nada ketus.

"Ya jelaslah gue pengen tau! Lo tuh, gak sopan! Ninggalin gue gitu aja!" cercanya, beberapa orang melirik-lirik ke arah kami. Aku memelototinya agar ia bisa sedikit pelan. Bikin malu nih orang tua!

"Apaan sih? Gak masuk akal! Jadi segitu kemampuan menjawab seorang dosen yang katanya masih muda dan pintar?"

Dirga berdecak, "ck ... sudahlah. Sekarang ... mana ponsel lo, pinjem!" Dirga menengadahkan tangan kanannya ke arahku.

Aku mengernyit, menyipit dengan tatapan yang tajam, "idih ... sapa lo sapa gue? Maksa maksa, ogah!"

"Siniin gak! Kalo gak—"

"APA?" Teriak gue.

"Sttttt ... lo kok malu-maluin banget sih? Toak banget, liat tu mereka!" Dirga menunjuk dengan dagunya kearah beberapa mahasiswa yang kembali menatap kami. "Jatuh harga diri gue sebagai dosen termuda dan terganteng disini," lanjutnya dengan pede.

Aku putar kedua bola mataku, kucebikkan bibir, "najong tralala trilili." Setelah mengatakan itu aku menarik tasku lalu meninggalkannya pergi.

"Eh tunggu!" Teriaknya.

Bodo amat! Aku berpura tak mendengarnya dengan tetap melaju pergi meninggalkan kantin.

"WOI TUNGGU!" aku menoleh sebentar ke arah belakang dan ternyata dia mencoba menyusulku. Namun, karena sudah kepalang malu karena membuat keributan. Aku mencoba mengambil langkah untuk berlari. Dengan hitungan ketiga dalam hati aku pun langsung berlari cepat menuju mobilku.

Sayangnya, aku terlalu meremehkannya. Ia ternyata berhasil mengejarku dan kami kini berlari sejajar.

"Masih mau lari dari gue?" tanyanya dengan wajah mengesalkan bukan main.

Tak ada cara lain, aku pun mengelabuinya.

"IH APA TUH? ADA IKAN TERBANG!" ucapku sambil menunjuk ke arah kiri kami. Ia menoleh dan aku pun mencoba berbalik mundur dengan berlari secepat mungkin dan masuk ke dalam mobil yang sengaja aku lewati. Ia yang tertipu tampak kesal karena aku berhasil masuk ke dalam mobil dan kabur.

RASAIN LO DIRGA! EMANG ENAK?!

•••

Chapitre suivant