Tumanggala mengenakan kain kemben—tidak lupa dengan pengganjal dada—yang disediakan pelayan. Sri Dewi membantunya berhias, mengenakan gincu dan konde. Biar bagaimana pun pemuda itu harus bisa memikat hati Wijayarama—meski hal itu membuatnya merasa jijik.
Ia berencana mengajukan diri sebagai selir.
Tapi tentunya ada masalah, karena Ratih juga ingin menjadi selir. Penampilan gadis itu sangat cantik dan anggun, sehingga kemungkinan besar Wijayarama akan memilihnya. Jadi Sri Dewi mengambil tindakan antisipasi. Tadi sore ia menangkap Ratih di pemandian, mengikat tangan dan kakinya, membekap mulutnya, dan mengikat tubuhnya ke batang pohon kelapa.
"Maaf," ucap Sri Dewi sebelum meninggalkan Ratih yang berkutat tanpa daya.
Saat malam tiba, para gadis sudah siap bersimpuh di Pondok Putri. Kelihatannya tidak ada yang peduli terhadap hilangnya seorang di antara mereka, kecuali Gendis.
"Di mana Ratih?" tanyanya pada siapapun yang mungkin mengetahui.
Saraswati mengendikkan bahu. "Kabur mungkin?"
"Mustahil…"
Sri Dewi geli—meski membuatnya merasa jahat—memikirkan betapa frustasinya Ratih sekarang. Impian dan kesempatan gadis itu untuk menjadi selir akan pupus begitu saja. Besok ia akan dipulangkan ke desanya karena sang raja sudah turun tahta.
"Sri Raja Wijayarama tiba!!!" teriak seseorang dari gerbang istana.
Ekspresi para gadis menegang. Mereka cepat-cepat bersikap siap, lalu menanti dalam diam. Mereka menunggu sampai sesosok pria muncul menaiki tangga Pondok Putri.
Tampaklah Wijayarama yang tersenyum memamerkan dadanya yang bidang. Bulu-bulunya yang jantan memenuhi dada, perut, dan lengannya. Ia mengenakan sebuah gelang dengan hiasan rambut-rambut hitam—seperti rambut binatang.
"Halo gadis-gadis," Ia mengedipkan sebelah mata, lalu duduk di depan calon-calon selirnya. Ia memperhatikan mereka satu-persatu. "Aki Tirem memang pintar, tahu saja seperti apa kesukaanku."
Tumanggala merinding mendengar Wijarama mengarakannya.
"Lho? Kenapa kurang satu? Aki Tirem bilang ada tujuh." Wijayarama menghitung beberapa kali, memastikan ia tak salah hitung.
"Maaf Sri Raja… Katanya… perutnya sedang sakit…" jawab Sri Dewi. "Dia sedang… buang-buang air besar…"
Wijayarama pun mengernyit jijik, "Sayang sekali."
Ia memperhatikan gadis-gadis itu lagi.
"Jadi…" Wijayarama menjilat bibirnya sendiri. "Siapa yang mau menjadi selirku malam ini?"
Tak ada yang menjawab. Anjani yang sejak tadi berusaha menahan emosi, kini bahunya gemetar. Isak tangisnya hampir tak terbendung.
Melihat itu, Gendis berpikir untuk mengajukan diri, agar Anjani punya waktu untuk menenangkan diri. Tapi tiba-tiba Tumanggala mencengkram tangannya. Dan pemuda itu mengangkat tangannya sendiri, sambil tetap menatap lantai.
"Oooh," Wijayarama cukup tertarik. Ia menatap Tumanggala lamat-lamat, dengan tatapan nakal yang menelanjangi. Ia mendekat sampai wajahnya cuma berselisih satu jengkal dari wajah Tumanggala. Ia mengangkat dagu Tumanggala menggunakan telunjuknya, tapi pemuda itu lekas kembali menatap lantai. "Adik agak pemalu ya, bikin gemas saja. Hahahaha!"
Tumanggala rasanya sudah tidak sabar untuk menyarangkan ajian Gelap Nyampar ke wajah pria itu.
"Baik, ayo kita ke candi."
Wijayarama bangkit, dan Tumanggala mengikutinya. Untuk terakhir kali, Tumanggala dan Sri Dewi berkomunikasi dengan saling bertukar pandang. Mereka berbicara melalui batin kakak-beradik yang tumbuh besar bersama-sama.
Semoga berhasil.
Kakak juga, cepat bergabung dengan pasukan utama.
Wijayarama dan Tumanggala beriringan menuju candi. Susah payah Tumanggala melangkah karena kainnya sangat rapat. Di tengah jalan, Wijayarama melambat. Ia menyamakan langkah dengan Tumanggala kemudian melingkarkan tangannya di pinggang pemuda itu.
"Tidak usah tegang, lemasin saja," bisik Wijayarama.
Tumanggala mengatur pernapasannya agar tak terbawa emosi. Ia harus melakukannya di candi yang lokasinya paling jauh dari gerbang, agar jerit kesakitan Wijayarama tak terdengar oleh pengawal.
"Hati-hati, Dik," Wijayarama menuntun Tumanggala meniti anak tangga candi.
Sebuah lilin minyak menyala menerangi bagian dalam ruangan. Ada meja kecil bertaplak merah yang diatasnya diletakkan beraneka ragam kembang tujuh rupa. Kemenyan dibakar di dalam wadah tembikar, menguarkan aromanya yang khas. Tumanggala langsung merasa pusing dibuatnya.
"Kita lakukan ritual penyucian dulu," Wijayarama mendudukkan Tumanggala di depan meja kecil, sementara di seberangnya ada kain hitam tebal yang mengelumbuk begitu saja.
Wijayarama berlutut di belakangnya, lalu menangkupkan kedua tangan untuk berdoa.
Tumanggala pun bersiap. Ia berkonsentrasi agar bisa mengerahkan ajian begitu kesempatan datang.
"Kanjeng Gusti Halimun, saya sudah membawakan tumbal untuk malam ini."
Tiba-tiba Wijayarama mencengkram kedua bahu Tumanggala, bahkan sebelum pemuda itu sempat berbuat apa-apa. Cengkramannya sangat kuat, membuat Tumanggala sulit bergerak.
Dan samar-sama pemuda itu mendengar suara berbisik dari mulut Wijayarama. Pria itu tengah memanjatkan doa-doa yang tak Tumanggala kenal.
Mendadak, candi yang semula sepi terasa begitu ramai. Seolah ada banyak orang yang memperhatikan, meski secara kasat mata tak ada siapa-siapa. Lalu terdengar dengusan babi yang tak terhitung jumlahnya. Tidak dekat, karena tidak ada babi di sana. Tapi juga tak jauh, karena suaranya seperti berasal dari dalam candi.
Kemudian kain hitam di depan Tumanggala mulai bergerak-gerak kasar. Kain itu terangkat perlahan, seperti ada sesuatu tumbuh di bawahnya. Kain itu terus terangkat, hingga tampak wujud siluman babi hutan yang sangat mengerikan. Matanya gelap, taringnya tajam, dan sekujur tubuhnya ditumbuhi rambut hitam. Ia mendengus-dengus tidak karuan sembari memperhatikan Tumanggala.
"Kanjeng Gusti Halimun, terimalah persembahan perawan ini," kata Wijayarama.
Tubuh Tumanggala diserang syok. Ia terbelalak menyaksikan makhluk hitam besar dengan kedua bola matanya sendiri. Ia tak tahu akan berhadapan dengan hal yang seperti ini.
Sang siluman babi mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu mendengus membaui tubuh Tumanggala. Pemuda itu bergidik ngeri. Tiba-tiba makhluk itu murka.
"Bukan perawan!" raungnya buas.
"Hah?" Wijayarama kaget bukan main. Ia menatap Tumanggala heran. "Maafkan saya, Kanjeng Gusti. Ini kesalahan Aki Tirem. Ia pasti sembarangan mengambil gadis tanpa mengecek terlebih dahulu—"
"Ia bahkan bukan seorang gadis, Wijayarama!"
Pria itu semakin kaget. Ia menatap Tumanggala lagi, lalu meraih kemben Tumanggala. Ia menyobeknya. Sepasang ganjalan dada pun jatuh. Tumanggala tersenyum getir—karena merasa berhasil mengelabui sekaligus takut di saat bersamaan.
"Brengsek!"
Wijayarama menampar Tumanggala, tapi pemuda itu menangkisnya.
"Kanjeng Gusti! Saya masih punya gadis lainnya. Saya akan membawanya ke sini!"
"Kalau begitu cepatlah, Wijayarama. Waktumu tidak banyak." Usai mengucapkan itu, tubuh sang siluman babi menyusut seperti ditelan bumi. Kain hitam kembali menutupinya, lalu mengelumbuk di lantai seperti pada awalnya.
Wijayarama frustasi. Ia menatap kesal pada Tumanggala, yang balas melempar senyum meledek.
"Jadi begitu…" cicit Tumanggala. "Kalau kau sampai terlambat memberi tumbal, apa yang akan terjadi?"
Wijayarama bergegas pergi, tapi Tumanggala menangkap lengannya. Wijayarama segera mengibaskan Tumanggala, lalu menjejak perutnya. Tumanggala yang mengenakan kain rapat sulit menghindar. Ia jatuh terhempas ke lantai candi.
Wijayarama tak punya waktu meladeni Tumanggala. Ia cepat-cepat berlari keluar untuk mengambil gadis lain. Tapi Tumanggala tak tinggal diam. Ia menyobek kain yang membelit kakinya, lalu mengejar Wijayarama. Pemuda itu sangat lincah. Ia mengerahkan ajian Gelap Nyampar. Percikan cahaya bermunculan di telapak tangannya, sementara langkah-langkahnya semakin cepat. Begitu menyusul Wijayarama, ia melompat setinggi-tingginya, siap menyambarkan petir.
Wijayarama yang merasakan tekanan tenaga dalam Tumanggala lekas berbalik. Ia menyilangkan kedua tangannya. Kemudian Tumanggala menghantam pertahanannya. Terang dan menggelegar, seperti petir sungguhan.
Namun, rupanya Wijayarama masih berdiri kokoh. Kulitnya sama tebal—atau malah lebih tebal—dengan kulit para manusia babi.
"Bocah gendeng!" Wijayarama menendang Tumanggala.
Pemuda itu terhempas lagi, tapi segera mencengkram tanah untuk bertahan.
"Sini kalau kau mau cari mati!" Wijayarama memutuskan untuk menyingkirkan bocah pengganggu itu terlebih dahulu. Ia membuat kuda-kuda, lalu menerjang.
Tumanggala juga menerjang dengan tendangan berputar. Wijayarama menangkisnya dengan satu tangan, lalu menangkap pergelangan kaki Tumanggala dengan tangan yang lain. Kemudian ia memutar-mutar Tumanggala beberapa kali, lalu melemparnya.
Tumanggala lekas memperbaiki posisinya di udara. Ia mendarat di sebatang pohon kelapa yang besar. Tapi Wijayarama mengejarnya, melesatkan sebuah tinju. Tumanggala melompat ke samping hingga tinju Wijayarama menghantam pohon tersebut. Suara dentumannya begitu keras, diikuti gemeretak yang susul-menyusul. Pohon itu rubuh.
Tumanggala menggigit bibir bawahnya. Ia takut segala keributan yang dibuatnya ini disadari para pengawal yang berada di luar gerbang istana.
Wijayarama menerjang lagi. Ia mengerahkan serangan-serangan menyeruduk seperti babi hutan. Tumanggala tahu ia akan kalah bila mengadu kekuatan, jadi ia berusaha untuk menghindar. Ia kerap berkelit dari serangan bertubi-tubi Wijayarama.
Namun, perbedaan teknik maupun pengalaman di antara keduanya segara terlihat. Wijayarama berhasil menendang perut Tumanggala sebelum sempat menghindar. Ia lanjut meninju kedua bahu pemuda itu bergantian, lalu menendang lagi ke tulang rusuknya. Tumanggala tak sempat memasang kuda-kuda. Wijayarama melancarkan tinju yang tak ada habi-habisnya ke perut Tumanggala, lalu diakhiri dengan tinju ke pipi.
Tumanggala jatuh berguling-guling. Begitu berhenti, ia cepat-cepat bangkit. Tapi mendadak kepalanya sempoyongan dan ia ambruk lagi.
Wijayarama pun mendekatinya untuk serangan penghabisan. Tangannya mengepal keras hingga urat-uratnya tampak.
Untungnya Sri Dewi datang tepat waktu. Gadis itu menendang punggung Wijayarama dari belakang, sehingga pria itu terdorong beberapa langkah. Wijayarama agak kaget, karena ada satu lagi calon selir yang berusaha membunuhnya.
"Jangan bilang kalian semua kiriman Airlangga?!"
"Tidak, cuma kami berdua!" jawab Sri Dewi.
"Mbak! Kenapa Mbak ke sini?" Tumanggala masih berlutut di tanah, menahan nyeri.
"Aku dengar keributan yang kau buat. Aku jadi khawatir. Ternyata kau memang dalam bahaya."
"Dia kuat, Mbak. Dia mendapat ilmu dari siluman babi hutan. Para gadis yang ia kumpulkan adalah tumbalnya."
Sri Dewi terperangah. "Sungguh sesat," gumamnya sengit. Ia segera berkonsentrasi untuk menyalakan ajian Lembu Sekilan. "Kita serang sama-sama."
"Baik." Tumanggala sudah berdiri di atas kedua kakinya.
Mereka pun maju. Wijayarama memperhatikan dengan seksama, lalu menyambutnya.
Pria itu menyabet Sri Dewi. Gadis itu menangkis serangannya. Tumanggala menendang dari sisi lain. Wijayarama mengeraskan pinggangnya sehingga tendangan pemuda itu tertahan. Ia balas meninju Tumanggala, yang menangkis dengan menyilangkan kedua tangan. Giliran Sri Dewi yang meninjunya. Wijayarama menangkap kepalan gadis itu, lalu memelintirnya. Sri Dewi menjerit tertahan. Tumanggala cepat-cepat menyerang siku Wijayarama, sehingga ia refleks melepas pelintirannya pada Sri Dewi. Gadis itu langsung balas menendang. Wijarayama menangkis dengan tendangannya sendiri. Lalu ia menyikut pelipis Tumanggala hingga pemuda itu terdorong ke belakang. Ia lanjut melakukan tendang menyapu. Sri Dewi lompat menghindarinya, lalu menempatkan diri di samping Tumanggala.
Wijayarama mengeratkan rahangnya. Ia tak mau memberi kakak-beradik itu waktu untuk beristirahat. Ia segera melancarkan tinjuan-tinjuan yang sangat cepat. Susah payah Sri Dewi menangkisinya. Bahkan setelah menggunakan ajian Lembu Sekilan, kedua tangannya masih terasa sakit menerima hantaman-hantaman tersebut.
Tumanggala mencari celah lalu sesekali menyerang, tapi selalu ditangkis atau tak mampu menembus kulit Wijayarama.
Pria itu mengambil ancang-ancang, lalu menapak dada Sri Dewi dan Tumanggala secara bersamaan. Keduanya pun terpental jauh.
"Licik sekali Airlangga itu," ujar Wijayarama sembari mengatur napas. "Mengirim gadis-gadis untuk membunuhku."
"Aku bukan gadis!" teriak Tumanggala, kemudian terbatuk-batuk.
Sri Dewi merasa dadanya sesak. Ia menatap nanar pada Wijayarama. Pria itu jauh lebih kuat daripada manusia babi yang ia lawan tempo hari.
"Tumanggala, kau masih bisa menggunakan ajian Gelap Nyampar?" bisiknya.
"Mungkin…" jawab sang adik. "Tapi ajianku tadi bisa ditangkis."
"Aku akan menahan pergerakannya," kata Sri Dewi seraya bangkit. "Kita lakukan seperti saat kau mengalahkan manusia babi di hutan. Serang di bagian vital."
"Tapi—Mbak juga bisa kena setrum—"
"Waktu itu juga aku kena setrum, tapi masih hidup," Sri Dewi menyunggingkan senyum. "Kekuatan ajian Lembu Sekilanku sudah hampir habis. Kita tidak boleh membuang waktu."
Sri Dewi pun melesat, tak memberi Tumanggala pilihan. Maka pemuda itu mengepalkan tinjunya. Kali ini giliran Tumanggala yang tak membiarkan pengorbanan Sri Dewi berakhir sia-sia.