Wisnuprabawa menguap di atas howdah—semacam tenda kecil yang dipasang di atas pelana gajah. Ia memperhatikan ribuan manusia yang bergelut seperti semut. Pasukan Airlangga membentuk formasi bulan sabit sehingga barisannya melengkung panjang. Tapi percuma saja sebab bala tentara Wisnuprabawa dua kali lebih banyak—mereka tak akan bisa membendungnya.
Suara dentingan logam yang diiringi teriak kesakitan itu seperti lagu bagi Wisnuprabawa. Apalagi tetamburan yang tidak henti-hentinya dari pihak Medang. Ditambah angin semilir yang menerpanya, juga tudung howdah yang teduh, membuat sang raja semakin mengantuk. Ia memiliki jendral-jendral yang bisa dipercaya untuk memimpin pasukan. Jadi mungkin tidur sebentar tak jadi masalah.
"Bangunkan aku kalau kita sudah mau menang," ucapnya pada sang serati—sebutan untuk penunggang gajah.
Lalu ia memejamkan dua kelopak matanya.
Dan tanpa sepengetahuannya, dua lusin pasukan kavaleri melaju kencang dari belakang barisan Airlangga.
***
"Serbuuuuu!!!" Narotama memimpin kavaleri tersebut, diikuti Airlangga dan Sri Dewi di sampingnya.
Mereka berkuda mengitari sisi luar medan perang diiringi suara tetabuhan hingga derap langkah kudanya tak terdengar. Ditambah dengan wyuha candra yang membuat bala tentara Medang mengelilingi pasukan Wuratan, para prajurit Wuratan itu pun tak menyadari kavaleri Medang yang melaju.
Seperti kata Hasin, seluruh pasukan akan runtuh bila rajanya jatuh.
Yang dituju Narotama adalah Wisnuprabawa yang sekarang cuma dilindungi segelintir pengawal pribadinya.
"Bersiaaaaappp…" Ia memberi aba-aba.
Pengawal-pengawal Wisnuprabawa pun akhirnya menyadari kedatangan kavaleri Medang. Mereka lekas bersiaga, mempersiapkan pedang dan perisai.
Airlangga mengeraskan tekadnya. Tubrukan akan segera terjadi. Hari ini tangannya akan menumpahkan darah. Ia mengangkat sebilah pedang ke udara.
"Serbuuu!!!"
Dan ia refleks memejamkan mata saat tubrukan terjadi. Ia merasakan tunggangannya menabrak sesuatu, diikuti teriakan seorang pria. Saat ia membuka mata, ia mendapati kudanya menginjak-injak seorang prajurit, sementara puluhan yang lain mengelilinginya.
Kemudian Narotama menyusul.
Pria itu menyiapkan sepasang pedang di kedua tangannya, lalu menyabetkannya bersamaan, memenggal dua kepala sekaligus.
Sementara Sri Dewi menghunuskan tombaknya, menikam bahu pengawal Wisnuprabawa seperti sate.
Dan sisa prajurit kavaleri yang lain ikut menerjang, membuat para pengawal Wisnuprabawa tercerai-berai.
Airlangga jadi pusing. Semua orang bertarung, saling membantai. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk bergabung. Siapa yang harus diserang? Ia dan kudanya cuma berputar-putar di tempat, mengamati keadaan.
Sampai seorang prajurit Wuratan berlari ke arahnya. Airlangga refleks menarik tali kekang kudanya, sehingga binatang itu mengangkat kedua kaki depan. Tapal besinya menghantam si prajurit Wuratan. Airlangga tak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Ia segera menebas bahu prajurit terebut. Sang prajurit pun berteriak kesakitan lalu jatuh berguling di tanah. Darah merembes keluar.
Airlangga terpaku melihatnya.
"Sri Rajaaa!"
Pemuda itu menoleh. Seorang prajurit Wuratan yang lain berlari ke arahnya. Sri Dewi mengejar, lalu menghunuskan tombaknya untuk menghentikan prajurit tersebut.
Kacau sekali.
Setitik air mata menetes keluar dari kelopak Airlangga. Ia menyekanya.
Kemudian ia melihat sesosok yang menyelinap di antara pengawal-pengawal Wisnuprabawa. Tubuhnya telanjang, kurus tinggi dengan perut buncit.
Airlangga mengucek matanya sekali lagi, kalau-kalau ia salah lihat.
***
Si serati membangunkan Wisnuprabawa dengan takut-takut. Ia khawatir sang raja marah, tapi merasa situasi mulai di luar kendali.
"Sri… Sri Raja… ma—maaf…" Ia menepuk-nepuk lutut pria tersebut.
"Apa?!" Wisnuprabawa bangun dengan mata melotot.
"Ampun, Sri Raja," si serati langsung bersujud. "Tapi kita diserang!"
Wisnuprabawa kebingungan. Ia yakin pasukannya tak mungkin ditembus. Ia melihat ke sekitar, lalu melihat Airlangga bersama dua lusin prajurit kavaleri tengah berbentrokan dengan pengawal-pengawal pribadinya.
Tapi tidak masalah. Ia memliki banyak sekali pengawal pribadi. Dan pengawal pribadinya bukan cuma manusia.
***
Sosok telanjang itu mengangkat tangannya yang cuma tulang berbalut kulit, lalu menampar kepala kuda yang ditunggangi Airlangga. Kepala kuda itu langsung terpelintir, sementara tubuhnya terhempas. Sang raja sendiri terpelanting di buatnya,
Sosok itu, melalui kedua manik matanya yang hitam legam, memperhatikan Airlangga.
Tiba-tiba hawa dingin mengalir di tengkuk sang raja. Instingnya berkata bahwa makhluk itu bukan manusia. Ada energi yang begitu tua bersemayam dalam tubuhnya. Makhluk itu pastilah dari golongan jin, kaum halus yang sudah hidup di Tanah Jawa bahkan sebelum kerajaan-kerajaan manusia bermula.
"Lindungi Sri Raja!"
Sri Dewi berdiri membentengi Airlangga, sementara prajurit lainnya berlarian mengepung jin tersebut. Lagi-lagi makhluk itu mengayunkan tamparan dari jemari-jemarinya yang panjang. Orang-orang terpental begitu saja.
Tiba-tiba Narotama melesat. Ia bertolak, lalu memutar tubuhnya di udara, tepat di samping leher makhluk tersebut. Ia menyabetkan kedua pedangnya bersamaan.
Makhluk itu memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan Narotama, lalu mengayunkan tamparan. Beruntung angin ada di pihak Narotama. Pria itu berputar lagi untuk berkelit, kemudian menghunuskan pedangnya lagi.
Keduanya bertarung sengit.
Dan Airlangga memutuskan untuk tidak tinggal diam. Ia bangkit, melewati Sri Dewi, lalu bergabung dengan pertarungan.
"Mpu! Minggir!" teriaknya.
Narotama segera mundur, sementara Airlangga menerjang. Pemuda itu melesat dengan pedang terhunus. Sang makhluk yang tak menyangka datangnya serangan tersebut tak sempat menghindar. Maka ia menangkap bilah pedang Airlangga meski itu membuat kulitnya terluka. Ia terus meremas pedang Airlangga sampai hancur berkeping-keping.
Namun, serangan sang raja belum usai. Ia menyalakan Asto Broto, lalu mencabut keris dari pinggangnya. Ia menikamkan senjata itu tepat ke jantung sang makhluk.
Jin itu berteriak kesakitan—teriakan dari alam gaib yang terdengar sampai sukma—lalu tubuhnya berguncang keras. Susah payah Airlangga bertahan agar tidak terpental. Hingga akhirnya makhluk itu melebur seperti cairan yang merembes ke tanah. Dari bumi kembali ke bumi.
Sayangnya, makhluk itu cuma satu dari sekian banyak pengawal golongan jin yang dimiliki Wisnuprabawa. Saat para manusia mulai berjatuhan, jin-jin menampakan wujud. Mereka memiliki aneka rupa. Ada yang kecil seperti tuyul, besar seperti guci raksasa, juga yang tubuhnya setengah ular.
Di sisi lain prajurit kavaleri yang dipimpin Narotama sudah berjatuhan. Hanya sedikit yang bertahan, itu pun tak lagi berada di atas kuda.
Padahal, jarak Wisnuprabawa masih cukup jauh. Puluhan jin menjadi penghalang antara kedua raja.
Narotama bisa saja menggunakan ajian Bayu Senja untuk berlari di udara, tapi ia tak bisa meninggalkan Airlangga di antara kepungan jin. Jadi ia memilih cara lain.
"Sri Dewi! Lindungi aku!" Ia berlari ke arah Airlangga.
Satu jin merah melecutkan cemeti api ke arah Narotama.
Sri Dewi mengangkat perisai. Cemeti itu pun menyambar keras perisainya. Api segera melalap. Sri Dewi cepat-cepat membuang perisainya sebelum tubuhnya ikut terbakar.
Narotama mendekati Airlangga, lalu mencengkram lengannya, "Sri Raja, saya akan menerbangkan Sri Raja langsung ke arah Wisnuprabawa!"
"Hah?!"
"Ingat, cuma ada satu kesempatan!" Tanpa menunggu persetujuan Airlangga, Narotama melemparnya begitu saja. "Angin, antarkan Sri Raja!"
"Aaaaaaahhh!!!"
Lalu Narotama lanjut menghadapi puluhan jin yang menerjang ke arahnya.
Airlangga merasakan tubuhnya didorong tiupan angin yang sangat kuat. Ia terlontar menuju gajah yang berjarak hampir dua puluh tombak jauhnya. Di atas punggung gajah tersebut, duduk seorang pria yang bertatahkan akik.
Satu jin kera mendak melompat ke arahnya.
Satu kesempatan.
Airlangga menyalakan ajian Asto Broto. Jin kera itu tiba-tiba seperti berhenti di udara. Airlangga melesat makin cepat, sementara Wisnuprabawa ternganga dalam gerak lambat.
Airlangga menghunuskan kerisnya.
Selesai sudah.
Namun, tiba-tiba Airlangga terbanting.
Asto Broto usai, dan Airlangga tergeletak di samping si serati. Wisnuprabawa masih membelalak kepadanya. Ia kaget karena tiba-tiba Airlangga bergerak sangat cepat, tapi segera mengumpulkan ketenangan.
"He-hei serati! Tangkap dia!"
Si serati lekas berusaha mencengkram Airlangga, tapi sang raja cepat-cepat menendangnya jatuh dari atas gajah.
Airlangga meraih kerisnya, lalu hendak menikam lagi. Tapi kekuatan tak kasat mata mendadak terasa menekannya. Hawa dingin mencekam itu adalah sesuatu yang menolaknya barusan.
Dan samar-samar Airlangga bisa melihat sosok wanita yang kulitnya kebiruan, sedang merangkul Wisnuprawa dari belakang. Wanita itu memiliki tiga mata—satu di dahi—dan empat tangan yang masing-masing dilapisi semacam logam perisai berukiran sansekerta.
"Nyai Ratu Permanasari, terima kasih," gumam Wisnuprabawa.
Sang jin wanita menjawabnya dengan senyuman simpul yang memikat.
Napas Airlangga memburu. Jelas sekali mata ketiga Nyai Ratu Permanasari bisa mengikuti gerakannya, sehingga mampu menangkis tepat waktu. Di sisi lain, puluhan jin mulai mengepung gajah yang ditempati Wisnuprabawa.
Rencana yang disusun Narotama akan gagal. Mereka tidak memperhitungkan Wisnuprabawa memiliki pengawal jin yang sedemikian banyak.
Satu kesempatan!
Airlangga menolak menyerah. Ia menggores leher gajah yang ditumpanginya menggunakan keris. Binatang itu pun mengamuk. Ia meniupkan belalai, lalu berlari liar menerobos kerumunan jin yang mengelilinginya.
"Eh? Eh?" Wisnuprabawa berpegangan erat-erat.
Sang gajah terus berlari ke arah ribuan prajurit yang tengah bertarung sengit di tanah terbuka. Orang-orang yang menyadarinya lekas berlarian ke segala arah, tak mau mati terinjak.
"Hei! Hei! Tolong!" Wisnuprabawa berseru pada prajurit-prajuritnya.
Airlangga juga berseru. "Hasiiiiin! Serang gajah ini!!!"
Hasin mendengarnya. Ia melihat gajah itu di kejauhan, dengan Airlangga dan Wisnuprabawa di atasnya. Ia lekas berlari membuka jalan, lalu membuat ancang-ancang. Pria itu melompat. Tinggi sekali. Ia mengangkat bogemnya ke atas, lalu mengayunkan sekuat tenaga ke howdah tempat Wisnuprabawa berada. Binatang itu pun seakan dihantam meteor. Ia langsung berlutut di atas keempat kakinya.
Tapi Wisnuprabawa selamat karena Nyari Ratu Permanasari menggunakan keempat perisainya untuk menahan bogem Hasin.
Airlangga lekas merengkuh kesempatan tersebut. Ia menyalakan Asto Broto sekali lagi—menggunakan energi yang tersisa. Mata ketiga Nyai Ratu Permanasari memang bisa mengikuti gerakannya, tapi saat ini keempat tangannya sedang sibuk menahan Hasin. Airlangga pun menghunuskan kerisnya ke jantung Wisnuprabawa.
Pria tua itu berteriak tanpa suara. Ekspresinya mematung. Tiba-tiba ketakutan yang sangat dalam terpancar di matanya. Malah, mendadak ia seolah memohon pada Airlangga. Tapi sekarang sudah terlambat.
Nyai Ratu Permanasari menyaksikan majikannya telah mati. Ia tersenyum lebar. Ia memeluk tubuh Wisnuprabawa, lalu menarik sukma sang raja bersama dirinya. Ia terlihat sangat gembira, sementara sukma Wisnuprabawa menjerit. Itulah harga yang harus dibayar bagi orang yang bersekutu dengan jin. Meski para jin mengabdi padanya di dunia, kelak ia yang akan mengabdi pada para jin di akhirat.
Pasukan makhluk halus yang mengepung Narotama dan Sri Dewi pun berangsur menghilang. Mereka sudah tak memiliki tuan untuk dilayani, sehingga urusannya di sini sudah selesai.
Airlangga masih tak percaya barusan ia bertarung melawan makhluk halus. Ia mengalahkan jin dengan kedua tangannya sendiri. Lalu ia mengangkat kerisnya yang berlumuran darah ke udara.
"Prajurit Wuratan, dengarkan aku baik-baik! Wisnuprabawa, raja kalian sudah mati! Ia telah mendapat hukumannya!"
Awalnya para prajurit yang berada di sekitar bangkai gajah melihat raja mereka terbujur tanpa nyawa. Keraguan pun menghampiri. Lalu keraguan itu terus mewabah ke prajurit-prajurit lain di seluruh medan perang.
Di saat yang sama, moral prajurit Airlangga meningkat drastis. Melihat panutan mereka berdiri gagah di atas jasad lawannya, mereka semakin berapi-api. Mereka menerjang seperti tak ada hari esok.
Prajurit Wuratan pun tercerai-berai. Tanpa komando, mereka bergerak sendiri-sendiri. Sebagian besar melarikan diri, berusaha kabur dari kejaran pasukan Medang.
Airlangga masih terengah-engah, menyaksikan bagaimana prajuritnya memukul mundur lawan seperti air bah.
"Inikah kemenangan?" gumamnya.
"Ya, Sri Raja," Hasin berlutut di sisinya.
"Kejar mereka, Hasin. Kita belum selesai sebelum Wuratan benar-benar jatuh di tangan Kemaharajaan Medang."
"Baik, Sri Raja." Hasin kembali bergabung ke medan pertempuran. Ia memimpin prajuritnya memburu musuh yang berlarian.
***
Setelah kemenangan mereka, Airlangga terus bergerak bersama bala tentaranya untuk menduduki Wuratan. Ia melihat penduduk yang ketakutan, bersembunyi di rumah-rumah mereka. Tapi Airlangga menyerukan pesan yang jelas.
"Kami datang bukan untuk menindas! Kami datang untuk membebaskan! Sudah terlalu lama kalian berada di bawah tirani, dan kini Airlangga sudah kembali untuk mengembalikan kemakmuran Medang!"
Airlangga pun menekankan agar prajuritnya tidak melakukan penjarahan macam apapun. Mereka bukan penjajah. Ia tak mau mengulang apa yang diperbuat Aji Wurawi.
Ia mengumpulkan para pejabat Wuratan, lalu menawarkan dua pilihan. Melawan dan mati, atau tunduk dan bersama bekerja untuk rakyat.
Banyak yang memilih tunduk.
Mereka mengantar Airlangga menuju singgasana Wisnuprabawa, singgasana sang titisan Wisnu. Maka kini ialah sang titisan Wisnu.
Sekedar mengingatkan jangan lupa vote, koleksi, dan bagikan apabila anda menyukai cerita ini. Itu sangat berarti bagi Author, hehe.