Angga Abimana
Lega rasanya ketika telah menjelaskan semua yang terjadi, walaupun awalnya memang ia kecewa tapi pada akhirnya ia bisa menerima dengan lapang dada dan status kami akhirnya telah resmi terikat, walaupun belum sah secara agama, namun itu yang kini menjadi masalah, keinginannya untuk berkeluarga ternyata langsung saja menjadi prioritas utama mengingat usianya yang kini telah matang sebagai seorang wanita dan juga karir yang cukup mapan sebagai penunjang hidup keluarga. Tapi aku justru belum siap dengan semuanya, mengingat latar belakang dan karir yang bisa dibilang masih biasa-biasa saja, bahkan hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, belum lagi tentang keluarganya yang sama sekali belum ku kenal yang mungkin saja takkan merestui hubungan anaknya yang hanya mendapatkan pria seorang duda.
Ting.
Bunyi pesan membuyarkan lamunan. Isinya hanya berupa emoji berbentuk hati dan juga senyum dengan tanda cinta.
Aku tersenyum, rasanya melakukan hal ini membuatku merasa kembali muda atau mungkin terkesan kekanak-kanakan, tapi tak apa, mungkin ini hanya sekedar efek dari jatuh cinta.
Aku membalas pesannya dengan emoji yang sama disertai senyum bahagia dan tak berapa lama balasan pesan darinya pun menambah rasa bahagia untuk hari ini.
"Jangan lupa makan ya, sama nanti sore jangan masak, nanti aku masakin sesuatu."
"Iya."
Aku membalas pesan terakhirnya dengan singkat, tak mau obrolan lewat pesan mengganggu aktifitas kewajibannya.
Suara mobil yang sepertinya berhenti tepat di depan rumah memaksa rasa penasaran timbul dan membawaku untuk melihatnya, dan ternyata benar, sebuah mobil dari orang yang ku kenal telah terparkir disana.
Aku keluar dan berdiri di ambang pintu untuk menyambutnya, karena aku tahu kalau ia ke sini pasti untuk bertamu ke rumahku.
"Hai, tumben ke sini gak ngabarin?"
"Iya nih, sekalian lewat jadi mampir dulu deh, boleh kan?"
Aku mempersilahkannnya duduk di kursi tamu yang ada di depan, untuk kali ini dan seterusnya mungkin aku takkan mengizinknannya masuk, semua ku lakukan demi menjaga hubunganku dengan Mira.
"Tante."
Syafina yang sedang berada di kamarnya sengaja ku suruh untuk menemani Ana sementara aku menyiapkan minuman untuknya.
"Hei, sayang."
Bertemu Syafina, Ana langsung menggendong lalu memangkunya serta tak hentinya memperlakukan Syafina dengan gemas dan manja, mereka berdua bermain begitu akrab layaknya teman biasa.
"Kak Davinanya mana tante? Gak ikut?"
"Gak sayang, soalnya tadi tante gak sengaja lewat sini, jadi mampir dulu deh."
Mereka berdua begitu ceria, sebelum akhirnya keceriaan itu hilang saat seseorang datang. Syafina meronta meminta turun dari pangkuan Ana, dengan kaki kecilnya ia segera berlari menghampiri orang yang sedang berjalan ke arahnya.
"Tante."
Mira menangkap tubuh kecil Syafina, mengangkat lalu menggendongnya, keceriaan itu kini telah berpindah pada mereka berdua, sementara Ana harus merasa kalah melihat Syafina lebih antusisas bertemu dengan Mira.
Aku yang hanya memperhatikan mereka tak ingin berkomentar apa-apa, biarlah nanti ku jelaskan pada Mira perihal kedatangan Ana saat ini.
Ana tersenyum menyapa Mira yang sedang berjalan menuju ke arah kami dengan menggendong Syafina, aku menyambutnya dengan senyum semanis mungkin, tak terpungkiri lagi saat ini aku sedang merasa bahagia melihat kedekatan mereka berdua.
Cup.
Sebuah ciuman mendarat di salah satu pipi setelah sebelumnya Ana dan Mira saling bercipika-cipiki untuk sekedar bertegur sapa. Entah apa yang Mira pikirkan ketika melakukan itu, mungkin kalau tebakanku benar, Mira melakukan itu dengan sengaja agar Ana melihatnya yang pada akhirnya mungkin bisa menjelaskan status hubunganku dengan Mira saat ini padanya.
Wajahku memanas, jantungku berdebar sementara tatapan kecil itu justru tersenyum penuh arti melihat orang dewasa yang sedang menggendongnya melakukan hal itu didepan matanya sendiri.
"Mas, bisa tolong ambilin belanjaan gak di mobil? Buat kita masak makanan malam ini."
Aku yang belum selesai menikmati kejutan hari ini tersadar dan bergegas melakukan apa yang diucapkan Mira barusan.
"Eh, iya."
Mira lebih dulu masuk ke dalam rumhahku dengan membawa serta Syafina yang masih dalam gendongannya, aku menyusul mereka dengan membawa barang belanjaan Mira yang lumayan banyak, bahkan ada salah satu kotak kardus yang berukuran cukup besar juga di sana, yang berisi barang yang bukan bahan masakan.
"Maaf, tunggu sebentar ya."
Sebelum masuk, aku berbasa-basi terlebih dulu pada Ana agar ia tak merasa ditinggalkan begitu saja, aku yakin pemandangan tadi kurang disukainya melihat ekspresi wajah Ana saat ini berubah dari yang sebelumnya ceria kini menjadi biasa-biasa saja.
"Aku kedepan dulu ya, sebentar."
Setelah menaruh barang belanjaan Mira di atas meja makan yang tak jauh dari dapur, aku meminta izin Mira untuk kembali ke depan untuk menemui Ana, beruntung Mira mengerti dengan situasi seperti ini, walau bagaimanapun Ana adalah tamu dan sebagai tuan rumah aku harus menghargainya.
Setelah aku sampai dan baru saja melangkahkan kakiku selangkah melewati pintu depan, Ana langsung berdiri.
"Mas, aku pulang dulu ya, udah sore, kasian Davina nungguin."
Tanpa menunggu aku mengiyakan, Ana langsung pergi menuju mobilnya. Sebagai permintaan maaf yang tak terucap, aku mengantarnya hingga ke mobil lalu menunggunya dan memastikan mobilnya telah pergi meninggalkan gerbang komplek perumahan.
Setelah itu, aku kembali ke rumah dan langsung menuju dapur yang di mana dari arah sana sepertinya apa yang Mira ingin lakukan sudah ia mulai.
"Udah mulai rupanya."
Aku menemani Mira yang sedang memasak makan malam untuk kami seperti apa yang telah ia janjikan tadi, ternyata selain profesi yang ia jalani saat ini, rupanya Mira juga pandai memasak, walau tak sebanding dengan keahlian mendiang Viona.
"Iya dong, sebagai seorang calon istri kan harus bisa masak, biar suami sama anak seneng, gak cukup modal seksi aja, iya kan? Oh ya, Ana mana?"
Tanpa mengalihkan fokus pada apa yang sedang ia lakukan, Mira bertanya padaku tentang keberadaan Ana. Dari nada suaranya mungkin Mira tak suka dengan kehadiran Ana dirumah.
"Udah pulang, ada yang bisa dibantu?"
Aku menawarkan bantuan karena setahuku memasak pun bukan pekerjaan yang mudah, kecuali mungkin hanya memasak nasi, air atau mie instan yang tak perlu repot harus menyiapkan bumbu ini dan itu.
"Mmhh, ini aja nih, kamu cuciin dagingnya ya, sampai bersih."
"Iya, harus pakai sabun gak?"
Mira menatapku, heran namun kemudian tersenyum.
"Gak usah, pakai pemutih aja biar bener-bener bersih."
Aku langsung mengerjakan apa yang Mira katakan, ku cuci semuanya sampai menurutku benar-benar bersih.
"Sejak kapan kamu suka bercanda, Mas?"
"Udah dari dulu sih, cuma ya sama orang yang bener-bener deket aja."
"Berarti sekarang kita udah deket dong?"
Mira kembali menatapku dengan senyum dan tatapan mata yang tak biasa. Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang Mira tanyakan.
Selang beberapa waktu semua hidangan masakan telah tersaji di atas meja makan dan siap untuk di santap.
"Oh iya mas, boleh minta tolong gak? Itu lampu rumahku belum pada dinyalain."
"Ya udah, aku nyalain."
Mira memberikan ku kunci rumahnya, dan aku segera menuju ke rumahnya yang masih gelap gulita. Setelah masuk aku menyalakan satu persatu lampu dalam dan di luar rumah itu kecuali lampu kamarnya, di salah satu dinding ruang tamu terdapat sebuah foto berbingkai besar yang dalam foto tersebut terdapat empat orang yang sedang duduk bersama dengan pose yang berbeda-beda, tiga orang wanita dan satu orang laki-laki, salah satu diantara mereka adalah Mira yang kutaksir usianya di foto tersebut masih sekitar dua puluh lima tahunan, kemudian wanita yang satunya mungkin saudara Mira, sedangkan dua orang yang lainnya adalah orang tua Mira, terlihat begitu bahagia dan sempurna.
Setelah selesai sedikit menikmati kenangan Mira pada foto itu, aku segera kembali, tak sabar rasanya untuk menikmati hidangan yang Mira buat untuk kami malam ini.
"Udah? Ko lama sih?"
Mira dan Syafina yang telah duduk di balik meja makan bersiap untuk makan malam bersama heran karena aku pergi untuk menyalakan lampu saja memakan waktu cukup lama.
"Iya, maaf tadi aku lihatin foto keluarga kamu dulu."
"Oh, itu foto papa sama mamaku, terus sama kakakku juga."
Mira memasak masakan yang aku dan Syafina sukai, entah dari mana ia tahu makanan apa yang menjadi menu favoritku tapi yang jelas masakan Mira ternyata lumayan enak, ku lihat Syafina begitu ceria sekali ketika ia menimati makanan yang ia sukai.
"Gimana sayang? Enak gak?"
"Enak tante."
"Makannya pelan-pelan sayang, nanti keselek."
Melihat Syafina makan dengan lahap dan terburu-buru Mira pun menasehati. Setelah malam itu Mira kembali seperti dulu, perhatiannya pada Syafina begitu besar tapi masih ada rasa takut bagiku untuk mempercayainya kalau ia sanggup menjadi seorang ibu bagi Syafina.
"Kamu juga harus makan, jangan merhatiin Syafina aja."
Aku menyuapkan makanan dalam piringku padanya. Melihat aku melakukan itu, Syafina tersenyum geli.
"Kenapa? Kamu juga mau?"
Aku menyuapi Syafina dan Mira secara bergantian diselingi canda tawa yang tercipta dari hal yang sederhana.
Setelah selesai acara santap malam yang berbeda dari biasanya, Mira bermaksud untuk mencuci semua piring dan peralatan masak yang kotor, namun aku mencegahnya karena itu akan membuatnya sangat lelah, aku menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu bersama Syafina yang mulai melakukan hobi menggambarnya, sementara aku menyiapkan satu gelas susu hangat untuk Syafina serta dua gelas teh untuk aku dan Mira.
"Mas, ko kamarku masih gelap?"
Aku yang baru datang dengan membawa nampan berisi tiga gelas minuman hangat langsung ditodong oleh pertanyaan dari Mira.
"Belum aku nyalain."
"Ko? Emang kenapa gak dinyalain?"
"Itu kan kamar kamu, aku gak berani masuk."
Kami duduk berdampingan seraya memperhatikan Syafina yang sedang asik menuangkan goresan-goresan dari ide sederhana yang berusaha ia tuangkan.
"Mas, gimana masalah yang kita omongin kemarin?"
Mira memulai pembicaraan serius tentang apa yang menjadi keinginannya. Aku tak langsung menjawab pertanyaannya dan lebih dulu memilih memikirkan apa yang akan aku lakukan untuk menuruti apa yang menjadi keinginan Mira, sebenarnya bukan karena aku tak siap untuk kembali memiliki pendamping hidup, tapi lebih kepada secara materi, pernikahan itu membutuhkan biaya yang cukup besar dan dalam waktu dekat ini aku belum memiliki tabungan yang cukup, sementara hasil dari royalty didapatkan secara bertahap.
Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaannya.
"Aku siap buat ketemu orang tua kamu, tapi...apa kamu bener-bener siap jadi ibu? Menikah itu bukan sesuatu yang mudah, terutama kalau kamu masih suka dengerin omongan orang, belum lagi kalau keluarga kamu ternyata tak siap punya menantu kayak aku."
Mendengar jawabanku, Mira terdiam. Mungkin ia pun memikirkan hal yang sama. Perlahan ia mulai menyandarkan kepalanya pada bahuku seraya memikirkan solusi agar keinginannya untuk segera menikah bisa terwujud.
"Minggu depan aku mau pulang dulu ke rumah orang tuaku, buat ngomongin masalah ini, tapi setelah itu kamu bisa kan ketemu sama mereka?"
Melihat tatapan serius dari Mira, aku meyakinkannya bahwa untuk sekadar bertemu, aku siap, tapi untuk selanjutnya mungkin tergantung dari apa yang akan mereka tanggapi tentang hubunganku dengan Mira, kalau semuanya terlihat merestui maka aku pun siap untuk menikahinya, tapi kalau sebaliknya mungkin aku harus membuktikan diri bahwa aku layak menjadi pendaping putri bungsu mereka.