"Jangan pergi, jangan pergi lagi!" cicit Edo memeluk Karin dari belakang.
Karin terhenyak, apakah Edo sadar dengan apa yang di katakannya? Apakah Edo telah mengingat dirinya? Karin membalikkan badannya dan menatap lekat manik mata Edo.
"Aku harus pulang Do, besok pasti aku ke sini lagi." ucap Karin mencoba memastikan apa Edo sudah mengingat dirinya.
"Jangan pergiii, jangan pergi lagi! aku mohon." Edo terisak bersimpuh di lantai.
Dengan sedikit tidak yakin, Karin memutar kunci, dan berlahan membuka pintu, dia ingin tahu sampai di mana reaksi Edo jika dia tetap pergi, jika Edo sudah mengingatnya pasti dia akan memanggil namanya.
"Karinnnn, jangan pergi! jangan pergi." lirih suara Edo berulang-ulang dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya tergenggam erat, hingga ruas jarinya yang terluka kembali berdarah, terlihat dari perban putihnya yang berwarna merah darah.
Karin kembali mengunci pintu kamar Edo, dan berbalik cepat mendekati Edo yang duduk bersimpuh di lantai.
"Edo." panggil Karin ikut duduk bersimpuh tepat di depan Edo.
"Tatap Aku Do, tatap aku." lanjut Karin sambil menangkup wajah Edo dengan kedua tangannya.
Berlahan mata Edo membalas tatapan mata Karin yang berlinang airmata.
"Panggil namaku Do, sekali lagi panggil namaku, aku tidak akan pulang jika kamu panggil lagi namaku seperti tadi." ucap Karin menangis gembira.
"Jangan pergi lagi, Karin." balas Edo dengan mata yang memancarkan sejuta kerinduan.
"Edoooo, kamu mengingatku." tatap Karin dengan senyuman bercampur tangisan, di peluknya Edo dengan erat. Edopun membalas pelukan Karin tak kalah eratnya.
"Kariiinnn, aku merindukanmu...aku merindukanmu." cicit Edo menangis di ceruk leher Karin. Karin menangis bahagia, hatinya sangat bersyukur karena Edo telah sembuh hanya dengan waktu satu hari bersamanya. Ini sebuah keajaiban yang di rasakan Karin. Berkali-kali Karin dan Edo saling menatap, menangis, kemudian tertawa bersama.
"Do, apa kamu tahu kamu di mana sekarang?" tanya Karin duduk di samping Edo, duduk berdua di lantai, sama-sama bersandar di dinding kamar setelah melepas pelukan yang haru biru itu.
"Di rumah sakit Jiwa." jawab Edo menatap langit-langit kamar.
"Kalau kamu tahu ini rumah sakit jiwa, kenapa kamu sampai di sini?" tanya Karin tak mengerti.
"Karena ini yang aku inginkan." Edo menoleh ke wajah Karin dan menatap Karin dengan sedih.
"Kamu tahu Rin, saat pagi-pagi aku ke tempatmu dan kamu sudah tidak sana, hatiku hancur saat itu, tapi aku tetap bertahan. Selama lima bulan aku mencarimu seperti orang gila, bahkan Alea sendiri ikut membantuku mencarimu, dan aku menjadi putus asa saat polisipun tak berhasil menemukan jejakmu. Aku kehilangan arah, aku merasa sendiri, hatiku terasa sepi, aku menyesal kenapa aku harus membantu Citra waktu itu. Karena penyesalanku itu aku menjadi kehilangan jati diri, aku hanya bisa mengingatmu dengan hayalan dalam mimpi-mimpi malamku. Aku menjauh dari keramaian dunia, aku ingin sendiri, hidup hanya dengan kesedihanku dengan dunia mimpiku. Sampai suatu saat aku terpuruk, tak sanggup lagi menahan rasa sakit di hatiku. Aku ingin melupakan semuanya, baik dirimu, bahkan diriku sendiri. Aku sudah tidak perduli dengan apapun, sampai aku di bawa kemaripun aku tak perduli." cerita Edo masih dengan tatapan penuh kesedihan karena terlalu sakit luka di hatinya.
"Maafkan aku Do, maafkan aku." tangis Karin pecah.
"Aku yang bersalah di sini, aku yang menyebabkan kamu bisa sampai ke sini. Aku mohon maafkan aku." wajah Karin tertunduk sedih dan malu pada Edo.
"Kamu tidak bersalah Rin, aku yang salah, karena tidak jujur padamu dengan apa yang telah aku lakukan. Maafkan aku juga." Edo menangkup wajah Karin kemudian memeluk Karin dengan erat.
Karin membalas pelukan Edo dan menangis terisak-isak, mengingat hatinya yang dulu di penuhi dengan dendam, kebencian, bahkan telah merubah dirinya menjadi wanita yang dingin, kini telah hilang musnah setelah tahu Edo tidak pernah menghianatinya.
"Do, aku pulang ya..ini sudah malam sekali, kasihan Alea pasti menungguku." ucap Karin sambil menghapus airmata terakhirnya, dengan hati yang lega, melihat Edo sudah kembali seperti dulu.
"Hm, bukannya kamu telah berjanji, jika aku bisa mengingatmu, kamu tidak akan pulang." Edo melirik Karin dengan wajah memerahnya.
"Eehhh, baiklah..ini aku lakukan karena aku memenuhi janjiku ya." balas Karin sedikit malu.
"Terus kalau aku di sini, aku tidur di mana?" tanya Karin.
"Kita tidak akan tidur, kita tetap akan seperti ini, duduk dan bercerita sampai pagi." jawab Edo kalem.
"Aku ingin mendengar kisahmu, bagaimana hari-harimu setelah jauh dariku."
***
(Flasback)
Sementara di rumah sakit di kota N, Aska dan pak Damar, beribu-ribu mengucapkan terima kasih pada Dila, setelah Dila selesai berbincang dengan Karin via telpon.
Dari Dila lah, Aska bisa mengetahui di mana Karin berada, hampir kemarin sore sampai siang, Aska menunggui Dila yang kerja shift, hanya untuk bisa mendapatkan informasi tentang Karin. Sudah beberapa kali Dila menyuruh Aska pulang namun Aska tetap kukuh di tempatnya.
Melihat keadaan Aska yang tidak begitu sehat, hati Dila menjadi luluh, apalagi dengan kesungguhan Aska yang rela menunggunya sejak kemarin sore sampai hari ini, Di sela kesibukannya kerja Dila sempat melihat Aska yang beberapa kali terbatuk, dan terkantuk-kantuk duduk di kursi koridor rumah sakit.
Dan hari ini luluh sudah hati Dila, melihat ketulusan dan kesungguhan Aska. Dila mau membantu Aska untuk mendapat alamat di mana Karin tinggal sekarang.
"Karin tinggal di kota A, untuk alamatnya aku belum tahu, yang pasti dia bekerja di Cafe Alea's, nanti aku coba tanyakan padanya, jika dapat aku kirim nanti alamatnya." ucap Dila dengan hati iba, melihat kondisi Aska yang tidak cukup baik.
"Terimakasih Dil, sampai kapanpun aku berhutang budi padamu, jika suatu saat kamu membutuhkan bantuan, datanglah padaku, aku pasti membantumu." ucap Aska bersungguh-sungguh dan memberikan kartu namanya.
Dila tersenyum dan mengangguk kecil.
"Hati-hatilah dalam perjalananmu, jaga kesehatan. Kamu harus terus sehat agar bisa menemukan Karin." Dila memberi semangat.
"Trimakasih sekali lagi." ucap Aska lagi,
Di iringi Pak Damar di sampingnya Aska berjalan menyusuri koridor rumah sakit arah jalan keluar.
Di tempat parkir, Pak Damar menjadi kuatir melihat Aska terlihat sangat lelah dan kesakitan.
"Den, apa kita perlu ke tempat dokter heru dulu, agar bisa memberikan obat pada Aden."
"Tidak perlu pak Damar, obat dari dokter heru masih ada, cukup untuk sampai besok. Kita harus ke kota A sekarang Pak, aku sangat kuatir dengan keadaan Karin." ucap Aska, dengan wajah yang sangat pucat.
"Baiklah Den, baiknya Den Aska istirahat dulu, perjalanan ke kota A membutuhkan waktu
enam jam den. Sampai sana mungkin malam, sekarang sudah sore." ucap Pak Damar dengan hati yang sedih melihat tuannya keadaan sakit tapi masih menguatirkan Karin.
"Hm, ya pak Damar." balas Aska dengan mata terpejam di kursi belakang. Tubuhnya terasa makin melemah, sangat terasa sakit di seluruh tubuhnya, terutama pada perutnya yang sangat mual dan seluruh badannya terasa panas.
Namun entah kenapa rasa sakit itu hilang timbul di saat dia mencemaskan keadaan Karin, rasa sakitnya hilang tak terasa. Tapi di saat seperti ini, rasa sakitnya sungguh sangat membuatnya lemas tak bertenaga.
Aska mencoba menenangkan hati dan pikirannya karena sudah menemukan di mana karin berada, namun matanya tak jua bisa terpejam.
Hati Aska selalu bertanya-tanya, bagaimana keadaan Karin, sedang apa di sana, apa yang di lakukannya, semua pikiran Aska hanya tertuju pada Karin.
"Apakah kamu memikirkanku Rin? seperti aku yang selalu memikirkanmu? Apakah kamu merindukanku seperti aku yang merindukanmu?" rintih Aska dengan mata yang terpejam. Aska meraba dan mengusap hidungnya saat dia merasakan ada darah yang keluar dari hidungnya.
Aska tidak terkejut,dia sudah sering mengalami sebelumnya, di saat badannya panas, pasti darah selalu keluar dari hidungnya.
"Pak Damar tolong berhenti sebentar, ambilkan obat di laci dan tissu basah pak." Aska meminta tolong.
Dia harus meminum obatnya segera agar badannya yang panas segera menurun dan menghentikan darah dari hidungnya.
Pak Damar segera menghentikan mobilnya ke tepi, sedikit cemas Pak Damar mengambil tissu basah dan obat yang di dalam laci.
"Ini Den." pak damar memberikan obat dan tissu basahnya pada Aska, kemudian di berikannya sebotol air.
Setelah membersihkan darah di hidungnya dan meminum obatnya, Aska menyuruh Pak Damar untuk melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan berkali-kali Pak Damar mengamati Aska dari kaca spion, hati kecil pak Damar takut jika terjadi apa-apa pada Aska. Di lihatnya tubuh Aska tak bergerak dengan mata yang terpejam.
Dua jam sudah perjalanan telah di lalui Pak Damar, namun tak ada pergerakan dari tubuh Aska. Hati Pak Damar mulai cemas dan takut, dengan pelan pak Damar menepikan mobilnya kembali.
Pak Damar memutar tubuhnya menghadap ke belakang melihat Aska.
"Den, Den Aska." panggil Pak Damar sambil menyentuh tangan Aska, yang terasa dingin. Rasa panik mulai menyerang hati pak damar.
Sedikit tenaga pak damar menggoyang tangan Aska.
"Den, Den Aska." tercekat suara Pak Damar, tidak tahu lagi apa yang harus di lakukannya jika terjadi sesuatu pada Tuannya.
Berlahan Aska membuka matanya dengan berat, karena merasakan ada goncangan di tangannya.
"Ada apa Pak Damar? kenapa mobilnya berhenti? apa sudah sampai?" tanya Aska masih menahan matanya yang masih terasa berat karena efek dari obat rasa nyerinya yang berdosis tinggi.
Pak Damar menarik nafas lega, hampir saja jantungnya berhenti jika Aska tak juga terbangun.
"Tidak ada apa-apa Den, barusan isi air mobil." jawab Pak damar beralasan.
"Kalau Pak Damar capek, biar aku yang nyetir pak." ucap Aska pelan.
"Ennnggg..tidak usah Den, saya kan sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh." sahut Pak Damar cepat.
Bagaimana bisa Aska bisa menyetir, jika tubuhnya saja lemas, bisa-bisa sampainya ke rumah sakit." pikir pak damar.
"Tidur aja lagi Den, masih empat jam lagi kita sampainya." lanjut Pak Damar, sambil menjalankan mobilnya kembali dengan kecepatan sedang.
Empat jam perjalanan sudah di lalui pak Damar. Tiba di kota A, pak Damar berhenti di depan sebuah hotel berbintang lima.
"Den kita sudah sampai, apa kita istirahat di hotel saja?" tawar Pak Damar.
"Sekarang jam berapa pak?" tanya Aska tanpa menjawab pertanyaan Pak Damar.
"Jam dua lebih Den." jawab Pak Damar.
"Kita langsung aja ke Cafe Alea's pak, dari Maps ini jika kita ke cafe Alea's masih dua jam lagi pak." ucap Aska sambil menunjukan Mapsnya ke pak Damar.
"Emmm...pak Damar istirahat aja dulu satu jam, nanti kita jalan lagi." lanjut Aska.
Pak Damar mengiyakan perintah Aska.
Setelah istirahat satu jam, Aska dan pak Damar melanjutkan perjalanan menuju cafe Alea's .
Malemmm kk,..
trimakasih sy ucapkan sebelumnya, jika suka dengan cerita ini, untuk lebih mensupport semangat saya, bisa dong kk,..memberi komentar pada ulasan , serta bintang dan vote nya,.
Trimakasih kk