webnovel

Mengubur Rahasia

Rahasia yang dilupakan bukanlah rahasia

Rahasia yang diceritakan tiada lagi rahasia

Orang bijak mampu menyimpan rahasia

Orang lalai menyerakkan rahasia

Orang dungu tak lagi mengingat

yang rahasia dengan yang bukan rahasia

Bukan rahasia bahwa yang dungu dan lalai akan celaka

Apakah perasaan Gurunya sudah kembali ceria? Pikirnya dengan khawatir. Semua pelayan dan keluarga Wander telah berkumpul di bawah. Ia membuka pintu dan melangkah masuk.

Gurunya telah membersihkan dirinya. Ia mengenakan baju dari katun berwarna hitam dengan topi jahit berwarna merah (hadiah yang dibuat sendiri oleh Wander). Ia sedang duduk di hadapan altar kamar itu, sambil memegang sebuah kotak hitam yang biasanya ia taruh di altar.

Kotak yang dipernis itu berbentuk persegi. Panjang dan tingginya sekitar sepuluh senti. Kotak itu disegel dengan pita emas. Bagian wadahnya diukir dengan lukisan seekor burung berwarna emas, dan di depannya terdapat simbol bunga Tulip dan enam Bunga Kapas. Kurt menaruh kotak itu dengan hati-hati di posisinya lalu ia berdoa singkat sambil menghadap kotak itu.

Sesaat, Wander tergelitik oleh rasa ingin tahu yang sangat besar mengenai kotak itu. Cara Gurunya memperlakukan benda itu, sampai ke ekspresi wajahnya yang dipenuhi kesedihan, duka, penyesalan yang memercik dahsyat dari balik ketenangannya. Ia pernah melihat kotak itu sebelumnya tapi ia mengira isinya hanya benda keramat untuk keperluan doa.

"Apa isi kotak itu, Guru?" Demikian ia bertanya setelah Gurunya lepas berdoa, masih menatap altar dengan hampa.

Kurt bagaikan baru terbangun dari lamunannya. Ia tersenyum, "Ada waktu untuk segala hal, Wuan. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk pertanyaanmu." Lalu Gurunya beranjak untuk siap-siap turun.

Wander membungkuk dan mengantar Gurunya ke bawah. Hatinya terus bergetar penuh rasa ingin tahu akan kotak itu, juga khawatir, tapi juga tidak enak karena takut telah menyinggung Gurunya.

Ketika Kurt sampai ke aula latihan, yang telah disulap menjadi ruang makan kedua, wajahnya sudah bersinar-sinar kembali bagaikan mentari. Ia tampak begitu senang seperti anak kecil saat melihat dekorasi, makan malam yang berlimpah, serta begitu banyak bunga-bunga penghias ruangan, serta keluarga Wander.

Kekhawatiran Wander mengenai perasaan murung dan gelap Gurunya telah hilang sepenuhnya. Ia bergabung dalam tarian diiringi musik dari para pelayan wanita dan pria, bahkan termasuk Kurt juga untuk merayakan ulang tahunnya. Ketika mereka selesai dengan tarian, mereka mengelilingi meja rendah di mana makanan sudah ditaruh. Mereka duduk makan sambil bersila.

Usaha sepenuh hati para pelayan Kurt untuk membuat pesta itu begitu berkesan tampaknya menggerakkan hati Kurt. Ia tertawa, bercanda, dan ia tampak begitu bahagia. Ia juga begitu ramah dan hangat pada semuanya, termasuk keluarga Wander dan begitu dermawan hingga Likuun sampai malu. Kakak-kakak Wander begitu terkejut melihat rumah dan makanan yang begitu mewah, jadi tenang dan ikut tertawa melihat Wander dan Kurt menarikan versi lucu dari Tupak bersama-sama.

Pesta itu terus berlangsung dan saatnya tiba bagi Kurt untuk memberikan sepatah dua patah kata, "Hadirin yang baik, tuan dan puan sekalian, orang bijak berkata bahwa ketika seorang telah berumur 60 tahun, ia tidak akan memiliki kekhawatiran apa pun lagi. Ia akan seperti anak kecil lagi. Malam ini, kalian membuatku sadar bahwa aku tidak lagi tua, tapi bahkan jadi lebih muda dari kalian semua… kecuali Wuan, mungkin. (Semua pelayan tertawa mendengarnya) Aku sudah berkelana kesana kemari semenjak aku muda, melakukan begitu banyak hal dalam hidupku, dan sekarang di senja hidup ini aku masih dikaruniai teman-teman yang setia, yang bersedia menemaniku di rumah yang terlalu besar untukku ini. Tiada berkah dan syukur yang bisa menyaingi hal ini. Aku berdoa bagi kebahagiaan kalian semua juga, dan kedamaian yang terus berlangsung. Kalian sudah bagaikan keluargaku sendiri. Jadi izinkan aku bersulang lebih dahulu: Untuk kita semua!"

Mereka semua bersulang, memegang gelas berisi cokelat kental dan panas di tangan mereka, "Untuk kita semua!"

Setelah mereka semua minum seteguk, Chiru'un mengangkat cawannya lagi dan berteriak, "Untuk kesehatan Master Kurt!"

"Panjang umur Master Kurt!" Mereka semua menyorak bersamaan.

Kurt tertawa dan mengangkat cawannya juga.

Ia tersenyum penuh kenakalan, "Untuk Wuan, muridku!"

"Wuan!" Mereka semua bersorak. Sekarang, bolanya sudah berada di tangan Wander untuk memimpin sulangan yang keempat, sulangan yang paling akhir dan terpenting.

Ia begitu terkejut, tidak mampu memikirkan apa yang harus ia sulangi. Ibunya baru saja mencuri rencananya bersulang buat gurunya. Setiap mata di ruangan itu sekarang melihat ke arahnya dengan penuh harapan.

Jantung Wander berdebar makin cepat semakin ia berusaha berpikir, tapi ia tidak mampu memikirkan apa pun. Bibirnya bergetar tidak siap. Ia berniat memohon, tapi baik pelayan dan Kurt tidak mengindahkan isyarat matanya.

"Jangan membuat kami menunggu terlalu lama, Nak."

"Ayo! Kamu bisa melakukannya!"

"Lakukan selagi masih panas, nak," Bahkan Likuun juga terbawa suasana.

Wander meneguk ludahnya, melihat ke cawannya. Hanya ada cairan yang begitu lezat dan mahal di sana, jadi ia menutup matanya. Ia melihat apa yang terjadi hari ini dalam kilas balik sampai momen ini. Ia menyadari sebuah sebab utama mengapa apa pun yang terjadi pada dirinya, keluarganya, Gurunya, dan seluruh penghuni rumah ini bisa berkumpul.

Ia membuka matanya dan bersulang, "Untuk Baginda Raja! Semoga kedamaian ini berlangsung selamanya!"

Seruannya segera memicu teriakan sulang luar biasa keras, penuh dengan persetujuan.

"Untuk Baginda Raja! Untuk Perdamaian!"

Wander merasa begitu senang dan malu, lebih lanjut lagi, saat ia melihat wajah Gurunya, Kurt tampak begitu bahagia, wajahnya bersinar-sinar.

Umari'l Waya - Cerita Tambahan

Malam itu telah begitu larut, ketika Wander dipanggil ke kamar Gurunya.

Gurunya memberikan instruksi singkat, "Pergilah ke gudang peralatan. Ambil obor dan sekop, lalu tunggu aku di kabin."

Wander mematuhinya, meskipun ia hampir gagal menahan dirinya dari bertanya. Ia menuruni tangga ke lantai dasar, sebelum ia berbelok ke dapur. Dari sana, ia membuka pintu samping dapur yang membawanya ke dekat gudang peralatan dan tiang-tiang jemuran.

Ia membawa besertanya sebuah lampu minyak kecil. Ia bekerja dengan cekatan dan mengambil barang-barang yang diminta dengan cepat. Menutup pintu gudang itu, ia bergerak menuju gubuk kayu di tengah hutan kecil itu. Di sana, ia menunggu dengan tidak sabar.

Waktu berjalan begitu lambat untuk orang yang gelisah, hingga Wander mencoba mengingat segala hal yang menyenangkan yang terjadi hari ini. Ia mendadak teringat pada Kotak itu dan ia membuat dirinya terhibur dengan berbagai tebakan liar soal Kotak itu. Apa isinya? Sebuah peta harta karun seperti dalam buku cerita? Ataukah permata tak ternilai atau berlian?

Tapi tebak-tebakannya berhenti dan jantungnya berdetak lebih kencang, saat ia melihat Gurunya datang dan membawa Kotak itu.

Gurunya berkata dengan singkat, "Ikuti aku. Jangan nyalakan obornya sampai kubilang."

Wander mengikutinya, dan mereka bergerak ke arah taman di bagian belakang benar rumah itu, di mana petak-petak bunga tertata rapi. Di sebuah petak yang baru saja digemburkan dan kosong, Kurt berhenti.

"Nyalakan obornya."

Wander menjentikkan batu api begitu cepat hingga ujung suluh itu segera menyala.

Kurt memegang obor itu sementara ia menunjuk ke petak kosong itu, "Gali lubang di sana."

Wander segera menyekop tanah dan menggali. Selama beberapa lama ia bekerja, tidak seorangpun bersuara. Ketika ia sudah membuat sebuah lubang dua meter dalamnya, Kurt memberikan kotak itu ke muridnya.

Perintahnya singkat, "Kuburkan."

Wander dengan hormat dan patuh menaruh kotak itu di dasar lubang lalu ia menutupnya dengan tanah segar. Ketika ia selesai ia tidak mampu lagi menahan kecurigaannya,

"Guru?"

Kurt berkata misterius, "Aku sekarang sudah berumur enam puluh tahun. Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi punya penyesalan apa pun. Akan tetapi, kotak ini berisi semua masa laluku, semua penyesalan, kesedihan dan duka, juga segala impianku. Aku tak ingin lagi mengingat mereka, jadi aku akan menguburnya."

"Kenapa tidak dihancurkan saja, Master? Kalau itu membuatmu berduka begitu rupa?"

Kurt memikirkan dengan penuh sayang betapa pengertiannya muridnya itu.

Ia tersenyum samar, "Aku tak bisa menghancurkannya. Selamanya itu akan menjadi rantai dan ikatanku. Aku terikat dengannya selamanya. Aku hanya bisa mencoba melupakannya, dan berharap masa depan akan menyembuhkanku."

"Aku tidak mengerti, Guru."

"… Kamu sudah begitu sabar denganku, Wuan. Kamu begitu cerdas dan pikiranmu lincah bagai angin dan api. Tetapi aku begitu tidak adil padamu. Aku tidak pernah menceritakan padamu apa pun…"

"Itu tidak benar, Master. Aku…"

"Tidak ada gunanya mengatakan sesuatu yang tidak benar. Kamu terlahir dengan rasa ingin tahu dan tidak ada yang salah dengan itu. Itulah manusia. Aku tidak pernah memberitahu padamu mengenai masa laluku, atau mengenai kamu."

"Mengenai aku?"

Kurt mencubit pipi Wander penuh sayang, "Ya. Mengenai kamu. Apa kamu pikir pertemuan kita hanyalah kebetulan? Ada banyak hal-hal besar yang belum kau ketahui. Tetapi, aku tidak akan memberitahukanmu apa pun. Kotak ini yang, pada waktunya, akan memberitahumu."

Wander bertanya dengan jujur, "Bagaimana bisa ia memberitahu aku? Kotak itu terkubur di sini."

Kurt tersenyum, "Kalau begitu, marilah kita membuat sebuah perjanjian. Ketika jalan takdir kita untuk berpisah, bukalah kotak itu dan pelajarilah segala isinya. Bagaimana?"

Mendadak mata Wander mulai berkaca-kaca, "G-g-guru, jangan pergi, Guru!"

"Ssst… Jangan menangis. Maksudku tidak sekarang… Masih lama."

"Tapi kamu akan meninggalkanku, kan? Kenapa? Guru tidak suka padaku?"

Kurt berusaha menghibur Wander dengan canggung. Wander jarang sekali menunjukkan sisi kekanak-kanakannya itu, dan tangisan seorang anak kecil merupakan salah satu kelemahan Kurt.

Ketika Wander sudah lebih tenang, Kurt berkata, "Setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Sudahkan kamu lupa akan pelajaran itu? Jadi jangan berduka saat bertemu atau berpisah, tapi nikmatilah dan hargailah saat-saat perjalanan bersama."

Wander akhirnya menunduk juga, mengisak perlahan.

"Suatu hari, aku tidak akan lagi ada besertamu… Bukalah kotak ini dan lihatlah isinya. Tetapi untuk saat ini, kau harus sabar denganku. Aku hanya bisa menjanjikanmu ini. Sisanya akan tetap menjadi rahasia sampai saatnya matang untuk kau ketahui."

"Kenapa kau tidak beritahu saja aku sekarang?"

Kurt tertawa mendengar saran muridnya itu, ia lalu menjawabnya dengan sebuah kedipan, "Karena aku percaya padamu. Aku percaya bahwa kamu akan memenuhi janjimu. Ini adalah ujian yang aku ingin kau lampaui dan pada waktunya, kesabaranmu akan memberikan hasil lebih besar dari yang kau impikan."

Wander menggelengkan kepalanya, ia mengucap, "Aku tidak mengerti. Tapi aku percaya padamu, Guru. Wuan akan melupakan soal Kotak ini, tidak akan bertanya lagi, sampai kita tidak lagi… bersama. Jika itu terjadi, Wuan akan menghormati janji kita dan akan ingat lagi dengan kotak ini."

"Bagus kalau begitu," Kurt tampak lega dan membungkuk di depan Wander. Ia mengulurkan jari telunjuk dan kelingkingnya, yang bertemu dengan telunjuk dan kelingking Wander pula.

Mereka lalu mengucapkan ikrar keramat. Jari telunjuk mereka saling mengait, "Dengan disaksikan Divara, dengan kehendak-Nya, semoga janji ini terpenuhi. Batu dan Tanah akan menjadi saksi kami," Lalu jari telunjuk mereka terlepas, dan giliran kelingking mereka saling mengait, "Semoga janji ini dipenuhi di waktunya yang tepat, Langit dan Bumi menjadi saksi kami."

Ritual kuno itu selesai. Kurt berdiri, ia tersenyum, "Menurutmu apa yang harus kita tanam di atasnya, Wuan?" Ia menunjuk ke tempat persembunyian kotak itu.

Wander menjawab tanpa ragu, "Alzael. Bunga tiada-ingkar-tiada-lupa."

Kurt tertawa, dan dalam hatinya ia bersyukur sekali sudah diizinkan bertemu dengan muridnya ini.

Chapitre suivant