webnovel

Merajut Kenangan

"Hem, kenapa kamu memintaku datang?". Perempuan dengan style feminim, siapa lagi kalau bukan Tania. Perlahan-lahan dia letakkan tas jinjingnya yang berharga itu di atas meja. Brand Chan*l memancing setiap gerakannya untuk berhati-hati.

"Kali ini apa masalahnya?". Dia menyadari pria dihadapannya akan mentraktirnya makan ketika menghadapi situasi tidak menyenangkan.

"Entahlah aku hanya ingin melakukannya". Mendengar pernyataan Hendra. Perempuan itu memicingkan mata mengamati.

"Wajah mu Lusu sekali, aku rasa kau perlu perawatan. He he, kita bisa melakukannya di Spa langganan ku. Pasti menyenangkan".

"Kau membuatku kehilangan selera". Pria itu meletakkan garpu dan sendoknya. Meraih gelas berisi air dingin.

"Baiklah kau boleh pergi". Kibasan tangan Hendra memancing amarah perempuan di depannya.

"Seenaknya saja kau!! Brak!!". Gerakan lincah menampar punggung meja, serentak menghilangkan kesan feminin. Ups!! Tania segera merapikan dirinya. Menghela nafas panjang dan kembali membangun pesona.

"Aku sudah susah payah menyelinap dari lokasi syuting dan kamu mempermainkan ku". Nada bicaranya di tekan dengan intonasi memanjang. Supaya tetap cantik.

"Lain kali kalau mau makan, lakukan dengan Surya. Jangan menghubungi ku".

"Ah dia akhir-akhir ini sama saja. Sedikit membosankan". Timpal Hendra, sembari mulai berdiri.

"Hendra.. tunggu.. tunggu sebentar aku akan menghilangkan kejengkelan mu". Perempuan itu segera memakai masker penutup wajah dan berjalan mengiringi langkah kaki Hendra. Tidak ketinggalan tangan kirinya melingkar di tangan kanan pria itu.

"Sekarang ayo ceritakan apa yang menggangu mu".

***

Bandung

Kota yang memiliki kesan tersendiri untuk setiap orang. Termasuk Damar. Sejak keluar dari stasiun kereta api. Matanya berbinar mengamati panorama jalan hidup, jalan dengan aktivitas orang-orang lalu lalang. Pemuda itu mengais-ngais kenangan masa kecilnya ketika tinggal di tempat ini.

Berbeda dengan Aruna. Setelah menaiki mobil sedan modifikasi yang dikemudikan keponakan Damar. Gadis itu sesekali terganggu dengan senyum kecil dua orang di depan. Mereka saling berbisik dan tertawa sembunyi-sembunyi.

"Akhirnya the legend of jomblo meninggalkan statusnya, yeach..". Teriakan dibumbui candaan menggelora memenuhi ruang sempit mobil, membuat Aruna kikuk.

"Tutup mulut mu, atau ku hajar kalian". Damar kehilangan kenikmatan mengamati kota bunga ini.

"Kak, ceritakan padaku bagaimana kau bisa meluluhkan hati tukang tidur ini". Gadis di kursi penumpang depan itu seraya menoleh, tersenyum lebar.

"Ah!?!!". Aruna terkejut. Gadis yang baru saja menyapanya memiliki wajah serupa dengan pemuda yang mengemudikan mobil.

Damar menjentikkan tangannya di kening gadis itu. Dia mengeluh sakit, mengusap-usap keningnya.

"Mereka saudara kembar". Damar menjelaskan.

Dalam perjalanan Damar sedikit bercerita bahwa Aruna akan menuju rumah masa kecilnya, tempat dia dibesarkan sebelum orang tuanya memutuskan bercerai.

Serta dua anak di depan itu adalah keponakannya, mereka berasal dari Padang. Sengaja mengambil kuliah di Bandung sekalian menjaga, memanfaatkan rumah kosong keluarga.

Gaya bahasa Damar selalu santai dan ringan. Cukup menyenangkan disimak. Sesekali pria itu mengacungkan jari telunjuknya. Memberi tahu apa yang sedang mereka lalui.

"Itu Masjid raya Bandung, Sudah pernah kesana?!". Dan penjelasan-penjelasan lainnya.

***

"Hai kalian!!, Siapa yang akan memberi ku penjelasan tentang ini". Damar menakuti kedua keponakannya.

"Siko lah.. kau.." (kesini lah kau...). Damar meminta keduanya mendekat pada montor Vespa unik yang kabarnya koleksi pribadi Damar.

Damar menunjukan beberapa guratan di spakbor montor Vespanya.

"Kemarin saat kami mencucinya kami baru tahu, jadi kami... ". Belum selesai Chairil menjelaskan.

"Kamu berdua?! Berani-beraninya membohongiku".

"Hehe". Keduanya tertawa dan tersenyum. Seolah-olah mengakui kesalahannya.

"Sudah ku katakan berkali-kali jan gunokan Vespa uda, bla bla bla". Dan Damar mengomel tidak jelas. Seorang kakak yang jengkel pada adiknya. Sesekali ucapannya menggunakan bahasa Padang. Membuat Aruna tidak bisa mengikuti percakapan mereka.

"Stop stop, Udo nak biarkan perempuan cantik ini tapurangah". Damar lekas menatap Aruna. Konsentrasinya teralihkan. Dan itu dimanfaatkan kedua keponakannya, mereka menyelinap pergi melepaskan diri dari Damar.

***

Terpaan angin ketika mengendari Vespa membuat Aruna begitu bahagia. Sesekali pria itu menanyakan apakah dia senang?.

"Kalau senang peluk aku!". Godanya.

Aruna memukul punggung pemuda itu setiap kali dia melempar godaan. Untuk beberapa saat Aruna meninggalkan hiruk pikuk kehidupannya yang menguras energi.

Setelah mengunjungi salah satu cafe unik berkonsep gua, Goldstar 360 Cave. Damar membawanya ke The Lodge Maribaya mereka mencoba sky bike, sky wing dan beberapa permainan lainnya. Begitu menguras adrenalin tapi menyenangkan, Aruna menikmati.

Sama menikmatinya ketika mereka mengakhiri hari dengan melihat hamparan kota Bandung dari Puncak Bintang di Bukit Moko. Setelah lelah berjelajah menyusuri spot foto. Keduanya kini menatap gemerlap lampu kota Bandung dari atas.

Damar mengeluarkan Jaket dari tasnya.

"Akan makin memikat jika aku melepas jaket ku lalu menaruhnya di pundak mu. Sayangnya aku orang tropis terlalu naif di suhu 15°C memerankan adegan tersebut". Damar melapisi jaket Aruna yang tipis dengan jaket yang baru dia tunjukan.

Aruna melempar tawa, geli sendiri mendengar ucapan Damar.

"Seandainya kau perankan adegan itu, aku akan berfikir kau pecinta Drakor".

"Haha". Damar menimpali tawa Aruna.

"Dari mana kesimpulan semacam itu muncul".

"Dea sering menontonnya sambil senyum-senyum dan ku lihat ada banyak adegan seperti itu"

"Oh ya?? semoga ini tidak sama dengan Drakor". Damar mengeluarkan handphonenya, mengirimkan link Google Drive ke WhatsApp Aruna. Pria itu menyarankan Aruna menggunakan earphone nya. Menatap dan memperhatikan dengan seksama ketika perempuan itu mendengarkan karyanya.

~Beritahu aku

~cara hentikan detak jantung ini

~Jika tiap kali kau tertawa

~Rona kemerahan hadir disana

~~~

~Ku pikir sekedar imaji

~Nyatanya datang begitu saja

~Melayang di udara lalu menyihir ku

~Melumpuhkan semuanya

~~~

Reff

~Beritahu aku

~Cara hentikan detak jantung ini

~Telah lama dia ku cerca

~Masih saja menari disana

~~~

~Jangan tanya bagaimana keadaan ku

~Aku lelah dengan diriku sendiri

~Ketika kau minta aku pergi

~Rona kemerahan itu membawaku kembali

Aruna menanggalkan earphone nya tidak tahu harus memulai dari mana. Membisu diam. Hingga kata "e..". Terdengar bersamaan antara dirinya dan lelaki yang memberikan kegundahan.

Aruna tidak berani menatapnya. Terlalu percaya bahwa lirik lagu yang di iringi gitar itu di tunjukan untuknya. Bukankah rona kemerahan-merahan adalah arti namanya.

Lalu mengapa dia tidak lagi mampu mengelak seperti biasa. Menganggapnya bercanda kemudian menghancurkan harapan yang dia minta. Atau jangan-jangan hatinya sudah goyah.

Karena malam ini terlihat indah. Bersama gemerlap lampu kota Bandung yang memantul layaknya kristal. Dan petikan gitar memabukkan. Lelaki itu membisikan dendang pujaan.

"Bagaimana menurutmu". Damar membuka percakapan

"Sebelum didengar banyak telinga, aku berharap dirimu yang pertama kali mendengarnya".

"Aku tahu aku terlalu lancang, membuat lagu tentang perasaan ku. Anggap saja aku sedang merajut kenangan. Jika nanti kamu lelah dengan dunia mu. Ingat kembali, ada seseorang yang pernah mengharapkan mu begitu dalam".

"Jadi akhirnya kau terima bujukan produser musik itu? Setahu ku kamu selalu menolaknya?!. Apa yang terjadi sekarang?!".Aruna mengalihkan topik pembicaraan.

"Sepertinya aku butuh kesibukan supaya berhenti mengganggu mu". Damar melirik gadis disampingnya. Berharap bisa menatap matanya. Minimal Aruna tidak menyembunyikan wajahnya.

"Aku rasa setelah ini, untuk bertemu sang idol Danu Umar, aku harus membuat poster sambil berteriak 'Oppa... Oppa.. nal bwa oppa..".

"Hahaha". Keduanya tertawa.

***

"Hem.. Ayah mengapa telepon malam-malam?". Sapa Aruna kepada ayah Lesmana

"Bagaimana dengan seminar mu? Berjalan lancar?"

"Ya.. seperti biasanya ayah?". _Ah, aku berbohong pada ayah_

"Apa acaranya sudah selesai?. Belum sempat Aruna menjawab.

"Sebenarnya, barusan nak Hendra telpon dia berharap bisa menemui besok pagi". Ayah menambahkan.

"Aku tidak yakin aku sampai Jakarta pagi". _Orang itu apa lagi kali ini?!_

"Dia sengaja mengosongkan jadwal hari Minggu untuk menemui mu, aku berharap Aruna paham. Jadwal mas Hendra cukup padat bahkan akhir pekan". Sepertinya ayah Lesmana bernostalgia dengan statusnya dulu. Asisten pribadi pak Wiryo Djoyodiningrat.

"Tapi, mungkin aku sampai sana siang Ayah".

"Ambil kereta paling pagi, setahu ayah ada keberangkatan pukul 05.00 dan tiba di Jakarta jam delapan. Apa ayah perlu mengirimkan mobil untuk menjemput mu?".

"Tidak.. tidak Ayah. Ayah tidak perlu melakukannya".

"Kau yakin?? Apa ayah perlu meminta ijin penyelenggaraan acara?".

"Itu juga tidak ayah.. aku bisa mengaturnya".

Aruna segera bergegas menyampaikan permintaan maaf pada Damar. Lelaki itu mengantar Aruna dengan berat hati. Dia memilih tinggal sehari dua hari lagi di kota kelahirannya. Melambaikan tangan kepada Aruna sudah cukup berat. Bagaimana bisa dia menemani perjalanan pulang gadis itu.

Damar terlalu rapuh untuk sekedar mendengarkan suara bising kereta api yang membawa pujaan hatinya pergi.

"Tidak ada kenangan yang seutuhnya hilang Aruna, selama isi kepala mu masih bisa digunakan untuk mengingat"

Mantra itu di hembuskan bersama peluit panjang tanda kereta api siap melaju.

***

"Ting tong". Beberapa kali terdengar bunyi bel pintu. Gadis dengan kemeja putih kakaknya tampak tidak nyaman memencet bel yang menempel di mansion calon suaminya.

Lelaki didalam tersenyum, mengamati gadis itu lewat rekaman sisi tv yang terpasang tepat di atas tombol bel pintu. Membiarkannya berdiri disana untuk sekedar menangkap ekspresi terpaksa, malas, manyun bahkan sesekali menendang-nendangkan kakinya pada lantai tak bersalah.

_Dia menggenakan rok?!_ Hendra tersenyum, sekali lagi mengamati. Seolah-olah ada yang dipaksakan.

_Siapa yang mendandaninya?!, mengapa lipstiknya merah begitu?!_ Kali ini gigi pria itu terlihat karena dia tertawa kecil. Tergelitik menangkap penampilan dan polah tingkah Aruna.

Lelaki itu memahami bahwa outfit dan riasan yang melekat pada Aruna sama sekali bukan gayanya. Dia menduga ada yang memaksanya berpenampilan beda. Dan hasilnya cukup menarik untuk disimak.

"Maaf.. lama ya? Habis, aku pikir ada sales yang salah pencet bel pintu". Godaan Hendra hanya di balas dengan lirikan oleh Aruna.

Aruna melangkahkan kakinya kedalam dengan awas. Dia berharap menemukan orang lain di mansion lelaki mulut tajam ini. Namun yang didapati adalah layar kecil yang menempel pada dinding, tidak jauh dari pintu masuk.

_Jadi manusia itu sudah tahu aku di depan, atau jangan-jangan dia sengaja mengulur waktu untuk menjahili ku_

"Apa ini?!". Aruna memancing pertanyaan.

"Layar sisi tv?! ada masalah??"

"Kau sengaja mempermainkan ku". Aruna kesal.

"Karena... ". Pria itu mengarah jarinya pada Aruna lalu mengayunkannya ke atas-bawah.

" ... Sedikit berbeda, aku perlu memastikan itu benar kau". Hendra duduk santai di sofa dengan kaki kanan tertumpu pada kaki kirinya.

"Oh...". Aruna menelan kekesalannya. Padahal Hendra berharap gadis itu menunjukan ekspresi jengkel yang lebih besar, kadang menggemaskan di bandingkan sekedar kata 'Oh...'

percuma berdebat. Dirinya cukup capek saat ini. Setelah tiba di stasiun. Mobil ayahnya melaju cepat membawanya pulang, di sambut bunda.

Ah, bunda lebih tidak menyenangkan lagi. Perempuan itu mendorongnya menyelinap ke kamar kakak dan memaksanya mengenakan pakaian milik kak Alia. Tubuh kak Alia langsing dan sedikit datar dibandingkan Aruna. Tapi bunda tidak ke habisan ide, mengatakan baju-baju Aruna terlalu tomboi. Tidak mencerminkan kepribadian perempuanlah, inilah, itulah. Dan Aruna lelah membela diri.

Lebih parah lagi ketika ibu-ibu itu memberanikan diri memoles wajah putrinya. Aruna tidak punya nyali untuk mengatakan dia bisa melakukannya sendiri. Karena kenyataannya dia tidak bisa make up. Cukup bedak dan lip tint yang menemaninya sehari-hari.

"Kau sudah makan?". Aruna baru sadar dia belum makan apapun dari pagi. Tapi rasa risih di wajahnya melebihi rasa lapar di perut.

"Dimana kamar mandinya?". Hendra mengarahkan telunjuknya ke kanan dan beberapa instruksi lain sebagai arahan. Termasuk memberitahukan bahwa dirinya akan melanjutkan memasak.

"Aku ke kamar mandi dulu".

"Oke, kalau mencari ku. Langsung saja ke pantry". Pintanya.

Sesaat setelah gadis itu menghilang dibalik pintu kamar mandi.

"AAaa...!!". Teriakan Aruna menggema. Hendra segera menghentikan aktivitasnya. Mengetuk pintu kamar mandi, seraya menempelkan telinganya pada daun pintu. Berharap mampu memprediksi apa yang terjadi di dalam.

"Aruna... Aruna.. kau tak pa-pa??". Suara lelaki itu bergetar, menandakan dia khawatir.

"Hendra tolong aku... ".

Chapitre suivant