webnovel

Membangun Positioning

"Bolehkah aku memberi saran". Surya menyodorkan botol air mineral pada sahabatnya, Hendra. Keduanya lembur dari semalam. Penilaian 'achievement progress' atau perkembangan pencapaian perusahaan ke arah objective perusahaan berdasarkan 'Profit/Laba' adalah rangkaian akhir dari tutup buku seluruh anak perusahaan Djoyo Makmur Grub. Agenda awal bulan yang menyita waktu, biasanya berlangsung selama 2 hari bahkan 3 hari. Dikarenakan seluruh tim Corporate Secretary (direktorat dibawah naungan Surya) berharap dapat menikmati akhir pekan, mereka sepakat menyelesaikannya sampai larut.

Dan Hendra adalah CEO pertama yang secara langsung memimpin achievement progress. Dia tidak mau melewatkan pemeriksaan jurnal maupun grafik-grafik ditiap software accounting anak perusahaan Djoyo Makmur Grup.

Itu sebab Hendra begitu memahami detail pertumbuhan dan kondisi masing-masing anak perusahaan. Dan pemahaman inilah yang membuat setiap direktur dibawah naungan Djoyo Makmur Grup tidak mampu berkutik ketika CEO mereka memberikan penilaian.

Saran lulusan MBA Stanford University selalu tepat sasaran. Bersama dengan sekertarisnya Surya, kedua orang ini bagaikan duo leader yang memberikan efek positif sekaligus mencekam. Peningkatan profit dan saham hingga 30% di 5 tahun masa kepemimpinannya merupakan peningkatan yang belum pernah dicapai selama 2 dekade sebelumnya.

Hendra tidak menjawab sepatah katapun ucapan Sekretarisnya. Dia memilih meneguk air mineral sembari menatap hamparan suasana pagi kota Jakarta dari balik kaca ruang kerjanya di lantai 5 Jaya Ritz Hotel, salah satu dari 4 Icon Djoyo Tower.

"Aku rasa tindakanmu gegabah". Sesaat yang lalu Surya menangkap komunikasi atasanya dengan para pesuruh yang ditugaskan mengawasi Aruna.

"Kita tidak memiliki pengalaman dalam hal ini, bahkan cenderung payah". Surya mengingatkan bahwa keduanya tidak pernah menikmati masa remaja atau semacamnya, lebih tepatnya tidak memiliki waktu untuk mendekati gadis impian mereka.

Surya adalah anak berprestasi dari keluarga biasa saja yang menempuh pendidikan di sekolah elit karena Charity. Dan Hendra meminta ketua kelas itu menjadi asisten karena tidak ingin diawasi oleh orang-orang kakeknya ketika menempuh starata 1 & 2 di Stanford University.

Semua aktivitas kehidupan Hendra bahkan Surya tidak pernah menjadi milik mereka semenjak itu. Mereka mendapatkan sederet jadwal yang sudah di atur, keduanya larut dalam pekerjaan tanpa ada habisnya.

"Dan saingan mu aku rasa dia punya strategi diluar ekspektasi kita. Anak itu, ah.. karya-karyanya cukup menarik disimak". Surya seolah berbicara sendiri.

"Oh, kamu sudah membaca buku fiktif itu?". Balas Hendra.

"Bagaimana lagi? permintaan mu sudah menjadi habit bagiku". (kebiasaan yang secara spontan dilakukan tanpa sadar sebab terjadi berulang-ulang) Pungkas Surya.

Hendra hanya tersenyum mendengar perkataan Surya,

"Kau tahu perbedaan antara aku dan kamu?!, Itu sangat jelas, aku lebih baik dari mu dalam hal ini. (mendekati atau memiliki perempuan) Jadi tidak perlu khawatir dengan strategi yang aku gunakan". Kening Surya mengerut mendengar perkataan Hendra

"Jangan sampai Tania menjadi tolak ukur mu, sebagai standar 'Kau Lebih Baik Dari Ku". Surya merasa keberatan.

"Perempuan itu menempel terus seperti parasit, kau cukup menjadikannya objek untuk datang dan pergi tanpa usaha".

"Ah, i'm not bad as". Hendra tidak setuju. Pria itu melirik Surya dan sedikit mendekat.

"Bukankah untuk membangun Positioning, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengenali target secepatnya". Hendra merebahkan tubuhnya, sofa putih ini tampak sangat nyaman.

Surya terbungkam, berusaha menyusuri sudut pandang lawan bicaranya. Pernyataan barusan tentang pekerjaan semalam ataukah tentang strategi menaklukkan gadis bernama Aruna.

"Kau benar-benar tertarik padanya?". Surya menggali, memastikan sudut pandang mana yang benar.

"Entahlah aku cukup perlu tahu siapa orang yang akan hidup dengan ku". Laki - laki itu masih asik menyembunyikan mata birunya di balik bulu lentik.

Surya sedikit kecewa, dia pikir sahabatnya akan menjalani kehidupan dengan cara berbeda kali ini, nyatanya masih sama. Pewaris itu mengukur keberuntungannya sendiri.

Hendra menangkap ekspresi kekecewaan Surya.

"Apa yang bisa aku harapkan dari pernikahan kontrak ini, selain memanfaatkannya sebaik mungkin". Pria itu membuka mata sambil tersenyum.

"Kau tahu, aku juga tertarik dengan cara pandang mereka tentang hidup". Hendra mencari celah membenarkan kelakuannya mengawasi Aruna.

"Bukankah 'Millennial Kill Everything'?!". Hendra memposisikan dirinya seolah seseorang yang sedang mencari data atau semacam dapat memanfaatkan pengintaiannya sebagai bahan research tentang Millennial Kill Everything. Milenial adalah pembunuh berdarah dingin untuk banyak bisnis dan perusahaan. Dimana Aruna termasuk sahabatnya mewakili kelompok tersebut.

"Sejujurnya aku pernah bertemu dengan anak itu (Aruna) sebelumnya. Ketika aku diminta jadi pemateri tamu di Tripusaka (kampus Aruna). Apa kau mengingatnya?". Surya menangkap Hendra sedang membangun kesan naif. Asisten itu ogah menjawab pernyataannya.

"Ya...h. Dia (Aruna) begitu bersinar di tengah teman-temannya, bahkan disambut riuh tepuk tangan ketika menerima penghargaan sebagai startup muda". Panjang lebar sang CEO menyusun latar belakang.

"Mungkin dia lupa, ada aku waktu itu. Bukankah profilnya layak dijadikan bahan". Jadi bahan research segmentasi pasar milenial, sebuah pembahasan yang menghangat semalam.

Surya bangkit dari tempat duduknya. Dimatanya Hendra belum bisa memenangkan alasan mengintai. Pria yang menjadi sahabat sekaligus sekertaris itu memunculkan ekspresi 'kau cari-cari alasan'

Hendra tertawa kecil menyadari penjelasannya tidak berhasil. Dan kembali menatap punggung kota Jakarta. Sinar mentari perlahan menghangat memunculkan rona keemasan.

"Tak perlu khawatir". Ucap Hendra menenangkan ekspresi Surya.

"Bukan kamu yang aku khawatirkan, tapi nona Aruna". Surya melangkah pergi. Menghantarkan pesan kekecewaan. Sesaat setelahnya, Sang CEO kembali memijat kedua pelipisnya dengan satu tangan.

"Pleasure of love lasts but a moment. Pain of love lasts a lifetime"

(Kebahagiaan karena cinta berlangsung sekejap saja. Kekecewaan karena cinta berlangsung selamanya)

_Dan aku tidak akan menempuh jalan itu_ Ungkapan ini terlampau sering dibisikkan pada hatinya. Tumbuh semakin kuat, seperti pohon yang di pupuk.

***

"Bagaimana ini?". Dua anak muda sedang bersembunyi di ruang laktasi. Mereka berjongkok tepat dibawah jendela. Menyadari sekurang-kurangnya ada 2 orang yang harus di hindari. Laki laki mengenakan headset bluetooth hitam setipe dengan kumpulan orang yang mengejar mereka tadi.

Dua orang mencurigakan sedang berdiri di arah pukul 03.00 dan pukul 10.00. Keduanya tampak tenang, namun matanya awas, seolah memeriksa wajah masing-masing pengunjung yang berseliweran.

"Aruna apa ayahmu.. mungkin melakukan ini?". Damar sedikit ragu menanyakan. Lelaki ini tahu tentang kisah kak Alia yang menyembunyikan hubungannya dari keluarga, terutama ayah Lesmana. Dalam hemat Damar bisa jadi ayah Aruna tidak mau hal yang sama terulang kembali.

_Ayah?_ Aruna coba menggali ingatan dan mengais-ngais kemungkinan yang dapat ditafsirkan. Prediksinya tidak mengarah kepada ayah Lesmana. Ayah tidak memiliki alasan yang kuat untuk berbuat sejauh ini. Walau dia tahu kakaknya tidak jujur, ayah tidak sampai mengirim orang untuk mengawasi kakak. Jika ayah mau mengapa dia tidak melarang Aruna saja semalam.

Firasat gadis itu berlari menuju seseorang. Pria dengan kekuasaan tak terukur. Kabarnya pria ini mendapatkan nominasi sebagai 5 pebisnis paling berpengaruh.

_Apa yang tidak bisa dia lakukan?_.

_Pewaris Djoyodiningrat?, untuk apa dia bermain-main seperti ini?_

Aruna tidak mampu mengendalikan pikiran buruknya. Termenung mencari celah agar tidak ikut terseret dalam keputusasaan.

"Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Sekarang yang terpenting bagaimana kita bisa lepas dari mereka". Damar membuyarkan lamunan Aruna.

Lelaki itu mengambil topi didalam tasnya lalu memakaikannya pada Aruna. Sebelumnya gadis ini menekuk beberapa kali rambutnya lalu menyelipkan di dalam topi, bertransformasi layaknya laki-laki. Sejenak Aruna merasa terlindungi.

"Bajumu?!, Kau harus menggantinya". Instruksi Damar membangun strategi. Jaket dan baju Aruna, tentu saja sudah dikenali. Dengan sigap gadis itu melipat jaketnya lalu dimasukan ke dalam tas.

"Ada baju lain?". Tanya Damar memastikan. Pria itu juga turut menyamarkan kemejanya. Bergegas mengenakan jaket Hoodie yang tersembunyi di tasnya. Selanjutnya menyelinap kepala dalam kantung jaket itu.

"Apa aku perlu ganti baju". Aruna masih belum yakin, dia hanya memegangi bajunya. Pipinya merona bersamaan dengan rona wajah si dia yang di mintai pendapat.

Damar memutar tubuhnya, memastikan dirinya tidak akan melihat. Aruna berganti pakaian di balik punggung Damar.

Ada hati yang meloncat-loncat riang, di dalam tubuh yang membeku bagai batu. Damar meminta dadanya berhenti bergemuruh. Memegangi imajinasi tak terprediksi.

_Berhentilah disana, atau aku akan mengutuk diriku sendiri_

Tiap kali Damar meminta imajinasinya diam. Mereka malah tertawa dan berlarian ke segala arah.

Hingga realitas menyentuh lembut punggungnya lalu berbisik.

"Damar sudah". Bisikan gadis itu menjelma menjadi _Damar hentikan tawa di otakmu!?_

Damar mengumpulkan fokusnya kembali. Mengintip kereta api yang sedang bersiap-siap .

"Aruna perhatikan pintu itu". Aruna serius menatapnya, memenuhi permintaan Damar.

"Pastikan kau bisa berjalan kesana dengan santai, tidak perlu terburu-buru. Yang terpenting sembunyikan wajah mu". Aruna mengangguk mendengar intrusi Damar. Sebuah tekat menyingkirkan Mahendra yang tersenyum menyeringai padanya. Visualisasi itu melayang-layang angkuh memenuhi pikiran Aruna.

"Setelah sampai di dalam, menyelinaplah ke kamar mandi. Aku rasa para penguntit akan memeriksa satu persatu wajah orang yang duduk di kursi penumpang. Diam disana sampai aku mengetuk pintunya". Senyuman Damar mengakhiri instruksinya, dia baru sadar gadis disampingnya begitu serius mendengarkan. Muka polos itu menggerakkan tangan Damar untuk kembali merapikan topi Aruna.

"Baiklah kau sudah siap". Aruna mengganggu sekali lagi. Melangkahkan kaki penuh keyakinan.

_Lihat saja Hendra, kau tidak akan bisa menggangu hidupku_

***

"Aruna apa kau didalam". Ketukan lirih terdengar bersamaan dengan suara yang akrab di telinganya.

_Damar??_

Aruna segera membuka pintu. Dan melebur dalam pelukan Damar. Menyesap sedikit bau parfum pria itu.

"Ah.. didalam bau sekali". Ada rasa terlindungi yang hadir menyapa Aruna.

"Tenanglah". Damar menyambut Aruna, pria itu mengelus rambut Aruna yang terbenam di dadanya.

Aruna lekas melepaskan diri. Menyadari sesuatu yang tidak layak dilakukan.

"Ayo!!". Permintaan Damar telah berubah menjadi komando. Mereka berjalan penuh awas. Dan berakhir di pantry. Memesan coklat hangat, sembari melahap kue harum yang terabaikan sejak pagi.

Belum sempat selesai, beberapa orang berjalan melewati Damar dan Aruna. Sekelompok pria dengan tanda di telinga. Tampaknya mereka tidak menyadari keberadaan target.

Setelah memastikan pria-pria itu menjauh. Serentak Damar dan Aruna bangkit berjalan berlawanan arah dengan para penguntit. Menemukan ruangan kecil, cukup untuk bersembunyi. Gudang bantal persegi panjang khas kereta api.

Keduanya terbenam bersama bantal-bantal itu. Duduk di lantai sembari melempar tawa. Kejadian pagi ini sungguh menggelikan.

_Semenggelikan pelakunya_ Batin Aruna.

Berhasil mengelabuhi orang-orang tadi terasa menyenangkan.

***

"Tuan, target tidak ditemukan". Suara di Heandphone CEO.

"Hentikan semua aktivitas kalian!. Aku mencabut perintah ku". Pria bermata biru itu terdiam beberapa saat.

Mengamati foto perempuan yang terpotret diam-diam. Lukisan langka dilayar heandphone tuan muda. Gadis kecil dengan kuncir kudanya.

Turut berduka cita untuk kebakaran hutan di Riau serta banyaknya demo Mahasiswa ^_^

Mari luangkan waktu sejenak, menghaturkan munajat terbaik demi bangsa Indonesia.

Sekali lagi terimakasih dukunganya.

Bantu saya memberikan penilaian terbaik.

forever love you reader ^^

dewisetyaningratcreators' thoughts
Chapitre suivant