webnovel

Grup Chatting Keluarga

Surya tidak mengerti mengapa atasannya pergi begitu saja, seharusnya ada agenda lain yang perlu diselesaikan hari ini bersama calon istrinya.

"Harusnya anda tidak pulang secepat ini, apa anda lupa hari ini jadwalnya fitting baju pengantin". Surya mencoba mengingatkan.

"Ah, aku ada urusan penting. Aku berharap kamu bisa menjadwalkannya lain waktu". Jawab Hendra.

"Jadwal penting?? Bukankah kita sudah mengosongkan semua meeting?". Ucapan Surya sepertinya diabaikan, atasnya lebih sibuk memainkan handphone.

"Aku harus bicara apa? Pasti Oma Sukma sedang menunggu foto fitting kalian". Sekali lagi ucapan Surya diabaikan.

"Eh?? Apa??". Hendra mengumpulkan fokusnya kembali.

"Hari ini aku ingin menemui Tania dia sudah menunggu ku dari pagi, lain kali saja kita lakukan itu". Hendra masih asik dengan handphonenya tidak melihat ekspresi khawatir di wajah Surya.

"Mohon maaf kawan.. aku di bayar keluarga mu bukan untuk ini. Aku sudah sering membantumu, tapi kali ini aku perlu memastikan pekerjaan ku selesai terlebih dahulu". Suara Surya begitu tegas dan bersungguh-sungguh. Dia tidak habis pikir Hendra masih saja menemui perempuan itu. Tania teman SMA, sudah saatnya dihindari. Mengingat kedekatan mereka mulai tercium oleh Opa Wiryo.

"Silahkan turun". Surya benar-benar menurunkan Hendra di tepi jalan. Oma sudah mengirim WhatsApp padanya. Itu artinya dia harus segera menyelesaikan tugasnya hari ini.

"Apa-apaan ini, kau benar-benar tega pada ku". Keluh Hendra.

"Mau bagaimana lagi aku tak punya pilihan lain, kau tak bisa memecat ku. Tapi keluarga mu mudah saja melakukannya". Surya membuka pintu mobil untuk Hendra. Dia memasang senyum dibuat-buat agar atasannya risih dan segera keluar dari mobil.

"Aku harus bagaimana?? Beritahu sopir lain agar menjemput ku disini". Pinta Hendra.

"Kau yakin mereka bisa menyimpan rahasia mu". (Merahasiakan pertemuan mu dengan perempuan bernama Tania) Surya memicingkan matanya, menekankan bahwa Hendra tidak mungkin meminta sopir keluarga Djoyodiningrat.

***

"Terimakasih sudah datang, tunggu sebentar kami segera hadir melayani". Suara otomatis dari pintu outlet Surat Ajaib terdengar dua kali itu artinya Surya telah membuka tutup pintu itu dua kali juga. Tapi tak ada tanda-tanda kedatangan orang menemuinya. Mungkin anak-anak muda itu sedang sibuk di lantai 2. Dia putuskan mendekati anak tangga lantai 2. Benar saja, sesuai dugaan terdengar sayup-sayup suara ribut dari atas. Surya membulatkan tekadnya menaiki anak tangga. Sepertinya Aruna sedang membahas tentang pemilik asli undangan yang akan tim Surat Ajaib kerjakan. Yaitu undangan pernikahan dirinya sendiri. Suara ribut itu semakin jelas terdengar, teman-teman Aruna lebih syok dengan pernikahan mendadak yang menimpa Aruna.

"Apa kau hamil??". Salah satu temannya melempar pertanyaan tanpa basa-basi.

"Mana mungkin dia yang sepolos ini Hamil". Teman yang lain menimpali.

"Aargh... tutup mulut kalian. Aruna kan sudah bilang kalau dia diJODOHKAN!!". Surya ingat kali ini yang berbicara bernama Dea. Surya terpaku pada anak tangga kesekian melihat keributan didepan matanya.

"Dijodohkan dengan pria setampan itu, siapa yang mampu menolaknya. Naluri perempuan manapun akan suka rela menjalani". Yang bicara kali ini berwajah oriental.

"Ini bukan tentang senang atau tidak, tapi lebih kepada Aruna wajib menjalani". Lagi-lagi sembari memasang ekspresi jengkel, yang berhijab membuat pembelaan seolah dia yang paling mengerti.

"Bisa tidak kalian tidak ribut dan fokus saja pada pek...". Belum sempat Aruna menyelesaikan ucapannya, Dia tertegun melihat sosok Surya sudah berdiri disana.

"Aaaa . . . !! ". Si hijab berteriak terkejut ketika menyusuri mata Aruna dan mendapati seseorang tersenyum berdiri pada anak tangga tepat di belakangnya.

"Dia jodohmu??". Laki-laki bongsor bicara sembarangan.

"Bukankah itu asistennya". Lili meluruskan.

"Apakah ada yang ketinggalan?". Aruna ingin tahu mengapa Surya kembali.

"Oh tidak, saya sengaja menjemput anda. Semoga anda ingat bahwa hari ini masih ada jadwal fitting baju". Surya mengingatkan. Aruna menyadari bahwa dirinya melupakan itu. Dia berdiri mengais tasnya.

"Kalian hanya berdua? Apa yang bermata biru di bawah". Damar mempertanyakan Hendra.

"Tidak, dia sudah ada jadwal lain". Ucapan Surya di sambut ekspresi kerutan di dahi pemuda jangkung itu. Damar melompat mengiringi langkah kaki Aruna, dirinya melewati Surya dan berjalan lebih cepat dari keduanya.

"Aku ikut". Entah apa isi kepala Damar.

"Laki-laki dan perempuan pergi berdua saja, itu tidak elok". Tambah Damar mencari alasan.

"Hey... Aku dijodohkan bukan karena hamil". Aruna merasa perlu meluruskan apa pun yang berada di kepala Damar.

"Aku tahu, aku hanya ingin berperan sebagai asisten mu". Damar sudah berdiri didepan pintu mobil.

"Pak asisten tolong buka kuncinya". Pinta Damar pada Surya, Surya memencet tombol pada kunci mobil, suara "bib" terdengar.

"Silahkan masuk nona". Damar menirukan gaya bicara Surya.

_Sungguh menjengkelkan anak ini_ gumam Surya.

"Jangan membuat ku malu". Aruna memasuki mobil dan di susul Damar, rasa gemas menyelimuti Aruna untuk sahabatnya satu ini.

"Aku ingin berperan sebagai asisten mu, bukankah dia juga asisten laki-laki bermata biru tadi". Sahut Damar, seolah tak bersalah sudah duduk manis di samping Aruna.

"Atasan saya bernama Hendra". Surya sedikit menikam intonasi. Mengisyaratkan dirinya mulai terganggu dengan tingkah absrud anak muda bernama Damar.

"Oh iya, orang itu maksudnya". Pernyataan Damar mengiringi gerakan Surya mengendalikan mobil.

***

Setelah menyusuri hiruk pikuk jalanan Jakarta mereka berhenti disebuah butik dengan konsep klasik. Beberapa gaun pernikahan dari modern hingga tradisional tersusun rapi pada manekin. Surya segera menyapa salah satu pramuniaga. Sepertinya mereka sudah janjian, pramuniaga itu tergesa-gesah masuk kedalam, beberapa saat kemudian keluar bersama seorang laki-laki berpenampilan stylish dengan scarf LV terkalung di lehernya.

Lelaki itu sepertinya tidak asing. Aruna merasa pernah melihatnya di salah satu infotainment yang tayang tiap sore.

"Oh... Mas Hendra... Senang sekali, akhirnya bisa berjumpa dengan anda". Lelaki itu memasang senyum termanisnya kemudian memeluk Damar. Hampir saja Aruna tidak bisa mengontrol tawa gelinya. Menemukan Damar terpaku linglung menerima pelukan salah alamat dari sang desainer.

"Maaf Dede, tuan Hendra belum bisa hadir, perkenalkan.. nona Aruna dan temanya". Surya segera meluruskan kesalahpahaman. Ah iya, Aruna baru ingat bahwa sang desainer bernama dedebudiardjo. Aruna segera menyambut salam perkenalan dari Dede.

Ketiganya di minta naik ke lantai 2. Sepertinya ruangan di lantai 2 adalah ruang VVIP. Seorang pramuniaga berparas menawan berdiri tegap dengan raut muka tersenyum ramah mengarahkan ke-tiganya duduk di sofa empuk nyaman. Surya tampak asyik mengobrol beberapa saat dengan Dede, tidak lama kemudian Dede meminta Aruna mengikutinya, Aruna ditujukan beberapa gaun pengantin berwarna putih yang siap untuk di coba.

Gaun-gaun itu masih tampak ribet dimata Aruna, melihat potongannya saja Aruna tahu bahwa setiap gaun mengharuskan dia mengenakan high heels agar baju itu lebih menawan. Aruna memilih yang paling simpel diantar yang lain. Gaun putih dengan pita dibelakang dan sedikit saja manik-manik. Ekornya pun tidak panjang, sebuah gaun yang jatuh menjuntai indah. Namun dia tak yakin akan indah ditubuhnya.

Dede mengerutkan keningnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Nona Aruna kali ini silahkan memilih sesuai selera anda, namun gaun ke dua dan seterusnya biar saya yang coba memberi masukan". Dede sedikit gemas dengan pilihan Aruna. Gadis itu memasuki fitting room di bantu dua pramuniaga. Selanjutnya diminta berdiri pada sebuah titik. Dan perlahan tirai di depannya terbuka, ternyata tirai itu mengarah pada shofa empuk yang tadi.

Aruna berdiri kikuk kaku, dia tidak tahu harus tersenyum atau menangis saat ini.

"Nano lihat ke saya sebentar". Surya sibuk mengambil potret dirinya.

"Tersenyumlah 1 2 3". Asisten Hendra berusaha mengambil foto terbaik. Senyum getir yang di paksakan menghiasi raut muka Aruna. Tepat didepannya Damar duduk mengamati. Laki-laki itu menangkap sesuatu yang tidak biasa.

_pernikahan perjodohan adalah siksaan bagi siapa saja, apa Aruna juga sedang tersiksa_ Damar melempar senyum penyemangat. Laki-laki itu mengacungkan jari telunjuk dan jempol membentuk love tanda bahwa dirinya memberi dukungan pada Aruna.

_Bukankah banyak juga pasangan yang berakhir bahagia, walaupun berawal dari perjodohan_ Pikiran Damar mulai kemana-mana.

_Ah sudahlah siapa aku, Aruna sudah memutuskan menerimanya. Artinya tidak ada harapan bagiku_ Damar mencukupkan susunan persepsi dikepalanya.

Tidak lama kemudian Aruna menghilang dibalik tirai dan kembali dengan gaun berbeda. Kali ini bukan hanya Surya yang bersemangat mengambil foto. Damar pun terbelalak oleh pesona berbeda Aruna. Gaun itu memperlihatkan belahan dada, namun tidak terkesan terbuka, sebab terdapat broklat yang terajut Indah hingga leher. Bagian bawahnya mengembang. Aruna bagai seorang putri yang muncul dari kuncup bunga, di perindah dengan veil (hiasan kepala) bunga memikat.

Surya benar-benar merasa puas. Setelah beberapa saat memainkan heandphone wajah laki-laki itu dari senang mendadak berubah menjadi panik.

"Tolong bantu nona Aruna duduk, gaunnya jangan di lepas dulu". Surya menyampaikan permintaannya sembari menelepon seseorang.

"Hendra, kau harus segera kesini!!. Oma mempertanyakan mu. Aku tidak tahu harus menjawab apa?!!". Oh ternyata Surya menelepon atasannya.

"Aku baru saja mulai makan, kau bereskan sendiri. Sudah ku bilang atur jadwalnya di lain waktu". Ditempat lain Hendra baru saja mulai menyantap hidangan yang dia pesan. Hendra malas untuk mengabulkan permintaan asistennya. Apalagi dirinya sedang bersama Tania. Hampir satu bulan mereka tidak dapat kesempatan bertemu.

"Mau bagaimana lagi!?, aku harus menyelesaikan pekerjaanku". Sahut Surya.

"Sepenting apa Fitting baju??". (Sekedar formalitas). Timpal Hendra.

"Kau baca sendiri di grup keluarga, aku tak akan membalas apapun. Kemungkinan besar Oma akan menelepon ku, sayangnya jika aku mengangkatnya aku hanya bisa mengulur sedikit waktu sampai kau datang. Aku yakin dia akan segera meminta Vidio call dengan mu". (Mudah bagiku mencari alasan untuk tidak mengangkat telepon dari Oma Sukma, tapi akan berakhir berbeda untuk mu Hendra) Surya memperingatkan atasannya, sudah berapa kali dia melakukannya di hari ini.

Terkait grup keluarga, Surya satu-satunya asisten pribadi yang ikut bergabung pada grup beranggotakan 4 orang Djoyodiningrat. Oma Sukma, Opa Wiryo, ibu Gayatri dan tentu saja cucu kesayangan mereka Mahendra Djoyodiningrat. Kehadiran Surya lebih karena cucu satu-satunya itu tidak pernah peduli dengan grup tersebut, membaca isi chattingnya saja dilakukan ketika ada permintaan. Padahal grup itu di buat atas inisiatif Oma Sukma untuk mempermudah mendapatkan informasi tentang kesibukan masing-masing anggota keluarga Djoyodiningrat, terutama kesibukan cucunya Mahendra. Akhirnya diputuskan Surya yang mewakili Hendra untuk update jadwal kegiatan dan menjawab berbagai pertanyaan seputar atasannya.

"Ah sialan". Hendra segera meraih kunci mobil Tania. Meminta perempuan itu lebih cepat mengikuti langkahnya.

Ketiga anggota keluarga Djoyodiningrat mempertanyakan foto fitting baju dirinya di grub WhatsApp. Hal yang paling membuat khawatir adalah Opa Wiryo, sang silent reader ikut serta mempertanyakannya.

_Kalau sampai dia curiga, aku atau Tania bisa berakhir disini_ Hendra menyadari bahkan dirinya tidak akan bisa melawan kehendak kakeknya sendiri. Opa Wiryo memiliki kendali yang cukup kuat di segala sektor. Di Mata Hendra kakeknya mampu menyingkirkan siapa pun bahkan cucunya sendiri.

Hendra segera menaiki tangga menuju fitting room. Salam sapa Dede diabaikan begitu saja. Dia fokus memakai tuksedo yang serasi dengan milik Aruna.

"Apa aku terlambat". Hendra memastikan keadaan kepada asistennya.

"Selesaikan saja dulu". Dua pramuniaga yang membantu Hendra merapikan tuksedo ikut panik terburu-buru.

"Kenapa kau bawa dia kemari". Surya mengantisipasi datangnya masalah baru bersama langkah kaki anggun Tania menaiki tangga. Perempuan yang berprofesi sebagai Artis itu membaur di sofa bersama Damar.

"Tidak ada pilihan lain, aku gunakan mobilnya". Hendra mencari pembelaan.

"Kau membuatku sakit kepala". Keluh Surya.

Kini Hendra telah berdiri di dekat Aruna, Lelaki berperawakan tinggi tegap itu benar-benar cocok dengan tuksedo yang dia kenakan. Aruna meliriknya dengan malas ketika Hendra mendekatinya untuk pengambilan foto. Bahkan secara khusus Dede meminta karyawannya memotret mereka sebagai koleksi pribadi.

Setelah acara pemotretan itu selesai. Aruna benar-benar merasa nyawanya terkumpul kembali. Baju yang menggelembung dan high heels yang dipaksakan pramuniaga supaya dipakai sudah lepas total dari tubuhnya.

High heels, ancaman yang luar biasa. Sebenarnya beberapa menit yang lalu Aruna hampir celaka karenanya. Keseimbangannya hilang ketika dia diminta berdiri dari duduknya lalu harus bergeser beberapa langkah agar mendapatkan angle foto yang pas. Aruna tidak tahu cara mengatasi keribetan saat sepatu tinggi itu menginjak gaunnya sendiri.

Untung saja Damar yang sedari tadi mengawasi Aruna segera sigap berlari menangkap tubuh Aruna. Hendra yang berada didekatnya malah tidak menyadari bahwa gadis itu akan jatuh. Kejadian itu sontak membuat Hendra dan orang-orang disekitarnya memperhatikan tiap gerakan Aruna. Beberapa kali Hendra memegangi pundak gadis itu supaya dia bisa berdiri tegap.

Chapitre suivant