webnovel

Rekan Kerja Yang Merepotkan

Senin, hari yang begitu sibuk di keluarga Lesmana. Aruna yang jarang mengenakan make up berusaha menahan rasa geli dari kuas-kuas make up yang diaplikasikan pada wajahnya.

Perias yang dikirim langsung oleh keluarga Djojodiningrat beberapa kali memuji kulit Aruna yang lembut bak bayi. Perias itu bernama Tya, dia juga dikenal sebagai perias kalangan artis.

"Jangan tebal-tebal ya kak". Bisik Aruna. Tya tersenyum sadar bahwa Aruna gadis yang jarang mengenakan make up.

"Tenang saja percaya padaku". Tya mengaplikasikan blush on sebagai penutup aktivitas meriasnya.

Dan ketika Aruna berbalik melihat dirinya di cermin, dia benar-benar tidak yakin dengan apa yang dilihat.

"Apa ini aku??". Aruna mengagumi dirinya sendiri.

Tya tersenyum melihat tingkah Aruna.

"Baiklah sekarang pakai ini". Tya menunjukan baju batik modern yang elegan namun terkesan manis, sesuai umur Aruna.

"Ah.. tidak.. kami sudah menyiapkan baju, kemarin ayah memesan baju untuk kami sekeluarga dan aku ingin memakainya". Jelas Aruna.

"Yah.. Sayang sekali.. Batik ini cantik.. Kalau kau tahu fashion, kamu tak akan menyia-nyiakannya". Tya terus memandangi dress batik yang kabarnya adalah hadiah dari calon ibu mertua Aruna.

"Aruna kamu tahu siapa yang membuatnya?".Tya melempar sebuah pertanyaan dengan sengaja, untuk memancing rasa penasaran Aruna. Aruna hanya gelang kepala.

"Ini karya Ivan Gunawan". Lengking Tya. Dan ekspresi Aruna masih sama datarnya tidak sesuai ekspektasi yang Tya harapkan.

"Ya.. sudahlah sepertinya kamu memang buta fashion". Tya menunjukan wajah duka menyayangkan baju indah itu disia-siakan. Aruna tersenyum jahil mengiringi kesibukan Tya merapikan peralatan make up.

Tepat pukul 19.00 seluruh keluarga Aruna telah sampai di hotel Jaya Ritz. Hotel itu sekali lagi milik keluarga Djoyodiningrat. Keluarga Aruna menyusuri Lobi hotel tersebut untuk naik ke lantai 7, ruang makan khusus telah di booking dan di tutup untuk umum. Salah satu asisten yang tampak akrab dengan Ayah, beberapa kali berbincang di sela-sela memberikan pengarahan. Laki-laki itu sempat menyalami Aruna dan dia mengira Aruna adalah Alia.

Kakak Aruna tidak hadir hari ini, seharian Alia tidak bisa mengendalikan kesedihannya. Menangis dan meminta maaf tak henti-hentinya pada Aruna yang menggantikan posisinya. Akhirnya diputuskan Alia sebaiknya tinggal di rumah.

Sedangkan di sisi lain, Aruna malah terlihat sangat tegar. Sebenarnya gadis itu sudah mempersiapkan diri sejak berjumpa dengan pria bermata biru, Mahendra. Tidak ada jalan lain selain menghadapi semuanya. Dia, Aruna adalah gadis yang pandai mengatur emosinya. Semenjak SD Aruna memiliki banyak sahabat dan periang. Bahkan anak-anak di luar komplek perumahan mengenalnya dengan baik. Ramah dan apa adanya membuat gadis itu tumbuh menjadi pribadi yang mudah bergaul dan disenangi. Sedikit berbeda dengan kakak-kakaknya, yang lebih memilih fokus pada hobi saja atau pada kegiatan sekolah.

"Aruna... ". Bunda membisikan panggilan agar Aruna berpaling padanya. Perempuan itu segera merapikan penampilan Aruna yang jelas-jelas sudah rapi. Melihat hal tersebut kakak laki-laki Aruna, Anantha sengaja membuang muka. Risih melihat perilaku ibunya.

Beberapa hari ini kak Anantha selalu menyempatkan dirinya datang ke kamar Aruna selepas pulang kerja. Anantha meyakinkan adiknya untuk tetap tegar dan percaya padanya. Anantha adalah pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan gila kerja, berangkat pagi pulang larut malam hampir setiap hari.

Anantha membangun sebuah perusahaan yang menaungi beberapa aplikasi jual beli online "Rumah Grosir" "taniberdaya" "rumah belajar" dsb. Dia begitu keras kepala mengembangkan perusahaannya tanpa bantuan Ayah. Bermodal sebagai lulusan terbaik Teknik informatika, Anantha mempengaruhi teman-teman seangkatannya untuk bergabung membangun mimpinya. Jatuh bangun bukan main, hingga akhirnya satu tahun terakhir para investor berdatangan. Anantha semakin sibuk dan semakin lupa pulang, namun belakangan Aruna memahami alasannya. Kakaknya adalah seseorang yang paling awal curiga dengan perjalanan kehidupan keluarganya serta rahasia Ayah yang kini terungkap. Sayangnya saat ini Anantha sedang meratapi kelambatannya, karena dirinya belum mampu menyelamatkan adiknya Aruna.

"Jika terjadi sesuatu padamu atau kamu ingin melarikan diri sejauh-jauhnya. Sampaikan pada kakak. Kakak akan lakukan segalanya untuk Aruna". Anantha mengucapkan itu berkali-kali pada adiknya. Dengan pembawaan meyakinkan dan sedikit bumbu keras kepala Anantha seolah menjelma sebagai tentara Kamikaze (legenda tentara berani mati Jepang). Anantha berjanji akan menjadi tameng terdepan jika sesuatu terjadi pada Aruna.

***

Pintu ukiran kayu khas Jati Jepara dibuka perlahan oleh dua orang pelayan hotel. Tiga orang di dalamnya tampak perlahan berdiri dan menyambut mereka dengan senyum. Kemudian disusul laki-laki yang tidak asing bagi Aruna. Dia Mahendra, berdiri belakangan setelah seorang pria tua dengan sengaja mengetukan tongkat antiknya perlahan, raut muka pria tua itu terlihat kesal pada Mahendra tetapi sekejap berubah, berupaya melukis kesopanan.

Ini keluarga Djoyodiningrat. Pemilik Djoyo Makmur Group, masuk dalam 3 orang terkaya di Asia tenggara menurut survei majalah Forbes. Dan mengambil bagian dalam 50 Top Miliarder Dunia tahun 2018.

Aruna menelan ludahnya mengingat artikel yang sengaja dia baca kemarin, rencananya membaca artikel-artikel itu agar dirinya lebih siap menghadapi mereka, keluarga konglomerat Djoyodiningrat. Nyatanya membuat dirinya malah makin ciut nyali.

_Pantas saja baju dan perias yang dikirim sekelas langganan selebriti_ Gumam Aruna.

Ayah Lesmana turut menyambut senyum mereka dengan berbaur memeluk lelaki tua itu. Belakangan Aruna menyadari bahwa lelaki tua itu adalah Wiryo. Nama yang sering terngiang-ngiang di kepala Aruna semenjak ayah menceritakan perjanjian mereka. Pak Wiryo di kepala Aruna adalah laki-laki sebaya Ayahnya. Kenyataan dia lelaki tua hampir berusia 70 tahun.

"Ini putrimu?". Lelaki bernama Wiryo melempar basa basi memecahkan kebekuan.

"Cantik sekali". Puji Wiryo.

"Terimakasih ...". Aruna memanjangkan ucapannya, pikirannya berputar-putar mencari panggilan apa yang layak dan pas buat konglomerat ini.

"Pak..". Lanjut Aruna. Disambut gelak tawa dari pak Wiryo, ayah, ibu dan perempuan tua nan anggun sebaya pak Wiryo.

"Panggil dia Opa, nak Aruna". Perempuan Tua anggun itu menjabat tangan Aruna, memeluknya dan melempar senyum hangat, sehangat nenek Aruna.

"Saya Oma Sukma". Perempuan tua itu memperkenalkan diri selanjutnya Aruna menyadari bahwa Oma Sukma adalah istri Opa Wiryo.

Ada satu lagi anggota keluarga Djoyodiningrat yang baru Aruna temui. Yakni calon ibu mertuanya sendiri yang kabarnya mengirimkan gaun rancangan desainer pesohor negeri ini. Perempuan berwajah sendu, anggun dan berparas ayu khas Jawa. Kulit ke emasan dan berambut hitam di sanggul modern kebelakang. Aruna tahu dari Ayahnya bahwa nama perempuan ayu itu adalah Gayatri. Ibu Gayatri tersenyum dan bersalaman dengan Aruna, namun tatapan mata Gayatri sendu, seperti seseorang yang sedang bersedih tetapi berusaha menelannya.

Aruna mencoba menebak-nebak apa yang dipikirkan Ibu Gayatri, jangan-jangan karena dirinya tidak mengenakan baju pemberian ibu Gayatri.

_Ah.. mungkin itu memang ekspresi wajah sehari-hari_

Cetus pikiran Aruna setelah melihat ketenangan perempuan bernama Gayatri, datar dan tak menunjukkan aktivitas menonjol apa pun.

Sesaat kemudian hidangan datang. Sedari awal perjumpaan Ayah ibu begitu asyik menanggapi obrolan bersama Opa dan Oma keluarga Djoyodiningrat. Sedangkan yang lainnya seolah sibuk dengan pikirannya sendiri. Kak Anantha masih lekat dengan gestur kakunya karena kekesalan dan kekecewaan pada Ayah dan dirinya sendiri yang sulit disembunyikan.

Ibu Gayatri tampak tenang, setenang aliran air sungai di dataran rendah, namun siapa saja yang melihatnya seolah menangkap kesenduan dalam diri perempuan itu. Aruna sendiri tidak bisa menebak berapa usianya. Dimata Aruna ibu Gayatri seperti perempuan berusia 30 tahun atau maksimal 35 tahun. Jelas itu prediksi yang salah mana mungkin usia 9 tahun sudah melahirkan Mahendra, Hendra kabarnya 2 tahun di atas kak Alia tentu saja mungkin dia 27-28 tahun. Otomatis ibu Gayatri kisaran 44-45 tahun.

_Wah.. mustahil_

Aruna menepis lamunannya sendiri, memadupadankan usia dan paras ayu ibu Gayatri yang sama sekali tidak mecing.

_Pantas saja Mahendra begitu tampan_

Gumamnya sambil melirik lelaki yang duduk tepat di sisi kirinya. Karena merasa diperhatikan dengan seksama Mahendra menoleh pada Aruna. Sontak Aruna terkejut dan lekas membenarkan duduknya. Gerakan reflek Aruna mengakibatkan sendok di kudapan penutup makan malam jatuh meninggalkan bekas noda pada batik midi dressnya.

"Sebaiknya kau ke kamar mandi". Bisik Mahendra menyarankan. Aruna berdiri mematung. Dia ingin ke kamar mandi. Namun seisi ruangan memandangnya.

Dia hanya ingin berdiri berpamitan ke kamar mandi, apakah ini perilaku yang mencolok atau lebih tepatnya salah?!?.

Aruna sesaat teringat kelas kepribadiannya bersama kak Alia kala dia SMP dulu.

"Saat jamuan makan resmi, walau kalian ingin buang air kecil atau sekedar kekamar mandi.. sebaiknya ditahan. karena itu sangat tidak sopan". Penjelasan guru Aruna. Ingatan Aruna membuatnya segera duduk kembali.

Dan ternyata benar, Mahendra tersenyum nyengir senang, menangkap basah anak kecil lugu nan polos berhasil dia kelabui.

"Sepertinya kita terlalu lama bicara, sampai-sampai makanan kita belum juga habis". Oma Sukma mencoba menghilangkan ketegangan Aruna.

"Aruna pasti sudah selesai ya..". Lanjut Oma. Aruna tersenyum membalasnya.

"Baiklah.. Hendra tolong temani Aruna melihat-lihat sekitar sini". Sepertinya Oma menangkap apa yang barusan terjadi. Hendra terpaksa membuntuti Aruna keluar ruangan itu. Tepat di samping ruangan terdapat kolam ikan dan taman buatan dihiasi lampu-lampu cantik. Namun Aruna sedang belum ingin kesana.

"Bapak tahu letak kamar mandi dimana?!". Seorang waiters laki-laki mematung sesaat karena pertanyaan Aruna. Kemudian segera tersadar dan menunjukan arah dengan detail. Memandu Aruna sampai di depan pintu berlogo toilet.

Bukan Aruna yang membuat waiters itu gugup. Namun laki-laki yang berdiri mengiringi Aruna lah yang mengakibatkan waiters itu sulit bernapas. Mahendra adalah CEO muda dan penerus tunggal semua aset yang ada di Hotel pencakar langit ini. Waiters itu hanya tahu tentang CEO nya dari kasak-kusuk antar pegawai. Dan hari ini bintang yang setiap saat digosipkan oleh teman-temannya sesama pegawai tiba-tiba berdiri dihadapannya. Menginginkan pelayanannya. Otomatis waiters itu gugup luar biasa.

Apalagi kabar yang beredar, CEO Hendra adalah orang yang konsisten melaksanakan uji produk untuk menjamin mutu pelayanan. Membayar orang-orang tertentu supaya melakukan review standar pelayanan Jaya Ritz Hotel. Jika ditemukan kekurangan karena human error, maka secepat kilat human eror ini dimusnahkan. Siapapun dan dimanapun posisi jabatannya.

"Lama sekali kamu". Tegur Hendra. Disusul mengerutkan kening, melihat bekas noda yang dibersihkan Aruna meninggalkan daerah basah berbentuk lingkaran tepat di antara paha Aruna.

"Kau yakin akan kembali dengan lingkaran aneh itu". Kritik Hendra.

"Aduh.. bagaimana ini". Aruna mencoba mencari sesuatu. Dia menemukan majalah di dekat ruang tunggu. Perempuan itu dengan santai mengkibas-kibaskan majalah. Berupaya mengeringkan Roknya.

"Kau rekan kerja yang merepotkan. Ikut aku... ". Hendra berjalan. Dia sempat berfikir Aruna akan mengikutinya seperti kebanyakan orang yang dia ajak bicara. Nyatanya Aruna masih asik mengipasi rok basahnya.

"Kubilang ikut aku.. ". Hendra menekan kata-katanya. Mata birunya menatap tajam pada Aruna. Melihat beberapa orang ikut melirik mereka. Aruna segera mengikuti permintaan Hendra.

Mereka berdua berakhir di lantai 5 dengan lift khusus. Sebagian lantai 5 adalah kantor pemasaran, pelayanan dan segala aktivitas kepegawaian gedung pencakar langit ini. Hendra tampak menghubungi seseorang via telepon. Sesaat kemudian seorang perempuan berpakaian dress code hotel tergesa-gesa berlari membawakan hair dryer pada Hendra.

Sembari mengikuti langkah kaki Hendra yang demikian cepat, Aruna mengamati ruang perkantoran yang disusun sedemikian menarik. Ini pukul setengah 9 malam dan beberapa orang masih tampak bekerja. Orang-orang itu berhenti sesaat. Mereka seakan mengamati dirinya dan Hendra yang sedang berjalan beriringan. Atau lebih tepatnya Aruna berusaha mengejar kecepatan kaki Hendra.

Langkah kakinya berakhir ketika laki-laki bermata biru itu berhenti di depan pintu. Saat pintu itu dibuka. Sebuah ruangan terhampar disana. Terlalu Luas untuk satu pasang meja kursi berwarna hitam dengan kesan kokoh. Tepat di depannya sofa sudut berwarna putih nyaman lembut diiringi meja senada, kontras dengan warna lain di ruangan. Di sisi kiri ruangan merupakan kaca transparan, dapat melihat langsung suasana Jakarta Malam hari.

"Masuklah... Ini ruang kerjaku". Pinta Hendra

Chapitre suivant