webnovel

Kabut

"Jadi, kalian udah sampai mana?" Donna bertanya padaku.

Kami baru selesai mandi bergantian dan sedang duduk di balkon untuk membahas puisi yang akan kami kumpulkan di sekolah nanti. Kami bertiga, dengan Siska.

"Kan kalian tadi ikut jalan bareng kita." ujarku.

"Bukan itu maksudnya, Faza." ujar Siska.

Aku menatap mereka tak mengerti. Namun mereka juga saling menatap satu sama lain.

"Iya juga sih. Masih baru sih ya." ujar Donna yang membuatku semakin tak mengerti.

"Ngomongin apa sih kalian?" aku bertanya.

"Kalian jadian kapan? Kok kita ga tau sih." alih-alih menjelaskan, Donna justru bertanya hal lain.

Uugh, haruskah aku menjelaskan? Bagaimana aku harus menjelaskannya? Mereka pasti akan bingung jika aku berkata aku dan Astro tak menjalin hubungan seperti yang orang lain sebut kekasih.

"Iya, ih, diem-diem aja." ujar Siska.

"Mm ... empat bulan lalu?" ujarku. Jika yang mereka maksud adalah saat aku mengatakan pada Astro aku bersedia menunggunya, itu sekitar empat bulan yang lalu, bukan?

"Hah? Udah empat bulan?" Donna bertanya dengan suara kencang. Sepertinya dia terkejut sekali.

"Sst, Don! Iih!" Siska menegurnya karena sekarang seharusnya sudah masuk jam tidur kami. Kami harus bangun jam empat besok pagi untuk berjalan menuju puncak taman buah lagi demi melihat matahari terbit.

"Empat bulan?!" Donna mengatakan kalimatku lagi seolah benar-benar tak percaya. "Kalian udah ciuman?"

"Hah? Aku ga pernah nyium siapapun." ujarku karena terkejut sekali.

"No way (Ga mungkin)! Empat bulan dan belum pernah ciuman? Kamu pasti bercanda!" ujar Donna.

Aku menatap teman-teman di hadapanku gamang. Aku dan Astro sangat menjaga batasan dan tiba-tiba mereka bertanya apakah kami sudah ... uugh, perutku terasa tak nyaman.

"Kayaknya emang belum deh." ujar Siska yang sedang meneliti ekspresiku.

"Astaga!!" desis Donna.

Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Sentuhan terakhir kami adalah saat aku diam-diam mengelus rambut Astro di toko. Itupun disambut dengan tatapan tak ramah di matanya saat aku ketahuan melakukannya.

"Kenapa sih?" pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari bibirku.

"Okay ... jadi gini ya, Faza ...," Donna baru saja akan menjelaskan, tapi kalimatnya terhenti saat Siska memberi isyarat untuk tak melanjutkan pembahasan.

"Udah Don, ga usah dijelasin. Kayaknya emang mereka ga begitu." ujar Siska.

Mulut Donna yang terbuka mendadak menutup saat Siska mengatakannya. Seperti dilema apakah akan melanjutkan menjelaskan atau tidak.

"Opa kamu tau?" Siska bertanya.

"Kayaknya ... iya." ujarku ragu-ragu. Aku tak pernah memberitahu apapun tentang hal itu pada Opa atau Oma, tapi jika melihat hubungan Astro dengan keduanya, kemungkinan Opa mengetahuinya dari Astro. Atau mungkin justru Ayah yang memberitahu Opa lebih dulu.

Donna mendekap mulut seolah sedang menahan pekikan yang tak terdengar, "Orang tua Astro tau?"

"Tau. Mereka ga keberatan."

Kenapa pula mereka menanyakan hal ini? Bukankah sebuah hal yang wajar jika orang tua Astro mengetahuinya?

Mereka saling bertatapan dan tersenyum satu sama lain, lalu Donna tertawa puas sekali. Sedangkan Siska hanya menggelengkan kepala melihat sikap Donna.

"Kalian kenapa sih? Aneh banget dari tadi." aku bertanya karena tak tahan lagi. Aku butuh seseorang menjelaskan apa yang terjadi.

"Udah ga usah dibahas. Jangan samain mereka sama kamu, Don." ujar Siska.

Donna berdeham sebelum benar-benar berhenti tertawa, "Okay kalau gitu. Make a safe and healthy relationship (Bikin hubungan yang aman dan sehat). I get it (Aku ngerti kok)."

Donna dan Siska sepertinya sudah selesai dengan apapun yang mereka ingin cari tahu karena keduanya kembali fokus ke puisi mereka. Namun mereka meninggalkanku dengan berbagai pertanyaan yang aku tak tahu harus bertanya pada siapa.

***

Pagi buta kami keluar dari homestay. Aku memakai baju berlapis dengan scarf terlilit di leher karena terasa dingin sekali.

"Kamu udah di sini aja?" aku bertanya saat mendapati Astro sudah duduk di teras depan.

Dia yang sedang membersihkan kamera DSLR yang tergantung di lehernya langsung tersenyum saat melihatku. Dia tak menjawab pertanyaanku, tapi langsung bangkit dan mengajakku berjalan mengikuti teman-teman kami yang lain.

"Kalau kedinginan bilang ya. Nanti aku peluk." ujarnya setelah keheningan kami yang cukup lama.

Aku menatapnya tajam. Walau sebetulnya jantungku terasa berhenti berdetak saat dia mengatakannya.

"Diwakilin sama jaketku." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.

Aah, laki-laki ini benar-benar ....

Rasanya aku ingin memukul bahunya saat ini, tapi menahannya karena aku pasti akan menyentuhnya. Aku mengabaikan kalimatnya dan sengaja mempercepat langkah karena sesuatu di dadaku terasa tak berdetak semestinya.

"Hei, jangan ngambek." ujarnya yang berusaha menyusul langkah kakiku.

Aku menoleh dan menatapnya sebal, "Aku ga suka kamu bercanda begitu."

"Sorry."

Aku tak menanggapinya dan berjalan menyusuri rute ke puncak taman buah dalam diam. Kami tak saling bicara lama sekali. Sepertinya pertanyaan Donna dan Siska semalam membuat suasana hatiku buruk karena aku sempat berpikir bahwa mungkin hubunganku dan Astro memang hubungan yang tidak biasa menurut kebanyakan orang.

"Emang kalau pacaran harus ciuman?"

"Apa kamu bilang?" Astro bertanya padaku nada terkejut yang jelas sekali.

Aku menatapnya kembali dengan tatapan terkejut yang sama. Sepertinya aku baru saja mengatakan kalimat yang seharusnya hanya ada di dalam pikiranku, dan dia mendengarnya.

Kami sedang di tengah hutan pinus. Ada banyak orang berjalan di sekitar kami, tapi mereka semua entah kenapa seolah memberi jarak yang cukup untuk kami berjalan berdua. Aku cukup yakin hanya Astro yang mendengarku mengatakannya karena jarak kami cukup dekat.

"Mm ... bukan apa-apa." ujarku yang berusaha menghindar.

"Kamu denger itu dari mana?"

"Ga usah dibahas." ujarku sambil melambaikan tangan tanpa menoleh padanya.

"Faza."

Aku tahu dia sedang memintaku berhenti, maka aku menghentikan langkah dan menatapnya dalam diam.

"Kamu denger itu dari mana?" Astro mengulang pertanyaannya lagi.

"Semalem Donna nanya apa kita pernah ..." aku menggantung kalimatku karena tak sanggup mengatakannya.

Astro menghela napas, "Listen (Denger). Aku punya alasan kenapa aku ga pernah bilang ke kamu kalau aku suka kamu sebelum kamu yang bilang duluan kalau kamu mau nunggu aku."

Di sini gelap sekali. Hanya ada cahaya dari beberapa orang yang membawa senter atau mengaktifkan mode senter di handphone mereka. Aku hanya bisa mencoba menebak ekspresinya dalam remang-remang.

"Aku ga mau kehilangan kontrol diriku, Faza. Pacaran bukan pilihan yang bagus buatku. Aku beberapa kali cerita ke ayah dan ayah bilang aku harus jaga kamu kalau emang aku beneran suka. Ga ada yang boleh bikin hubungan semacem pacaran di keluargaku."

Aku menahan napas saat mendengarnya mengatakannya. Walau semua yang dia katakan merupakan hal yang selama ini ada di dalam pikiranku, tapi mendengarnya mengatakannya benar-benar membuatku membeku.

"Aku akui aku kehilangan kontrol waktu kamu bilang kamu mau nunggu aku. Ga seharusnya aku begitu ke kamu. You are precious, Faza (Kamu berharga, Faza)." Astro melanjutkan penjelasannya.

"Maksud kamu, kamu mau diem aja sampai waktunya kita bisa ... mm ... nikah?"

"Iya."

"Kalau aku ga pernah bilang aku mau nunggu kamu dan kamu ga tau kalau aku suka sama kamu, bisa aja aku pacaran sama orang lain selain kamu kan?"

"Aku tau."

"Trus gimana kita bisa nikah kalau aku mungkin aja jatuh cinta sama orang lain?" aku bertanya. Sepertinya aku tak lagi malu menggunakan kata-kata 'menikah' sekarang, setelah dia menjelaskan semuanya.

"Aku akan menghormati keputusan kamu. Kamu bukan milikku. Belum."

Aku terdiam. Bagaimanapun, dia benar.

"Sebenernya aku udah bilang sama opa kalau aku suka kamu sehari setelah acara sekolah bulan agustus lalu. Opa ga keberatan, tapi minta buat aku bebasin kamu milih sendiri."

Informasi ini baru untukku. Ini berarti Opa memang sudah mengetahui niat Astro sejak saat itu. Tunggu sebentar ..., aku meraba cincin yang ada di balik pakaianku. Apakah itu adalah saat dia memberiku cincin buatannya?

"Kamu bener." ujarnya sambil mendekat padaku dan menatapi jariku yang sedang mengelus cincin yang tersembunyi di balik pakaian.

"Tapi kamu kan ga tau kalau aku suka kamu."

"Aku tau kamu suka aku." ujarnya dengan senyum lebar. Dia percaya diri sekali. Seperti biasanya.

"Mana mungkin?"

"Mungkin. Karena kamu emang suka aku, Nona. Kamu cuma berusaha menyangkal." ujarnya dengan sedikit tawa dalam kalimatnya dan mulai mengambil langkah perlahan.

Aku tahu dia benar. Bagaimana dia bisa tahu bahkan sebelum aku bisa menyadari perasaanku sendiri? Aku kesal sekali memikirkannya.

Kami berjalan dalam diam karena aku tak menanggapi kalimatnya yang terakhir. Aku masih meraba cincin di balik pakaianku dan berkutat dengan pikiranku sendiri hingga sampai di puncak kebun buah setelah keheningan kami yang lama. Sudah ada banyak orang berkerumun di sini.

Spot di pagar pembatas sudah dipenuhi deretan murid yang berjajar dengan handphone dan kamera di tangan mereka. Astro mengajakku duduk di undakan yang lebih lengang dengan beberapa orang dengan jarak duduk yang berjauhan. Dari sini, terlihat semua pemandangan yang kami butuhkan, dengan cahaya jingga yang perlahan muncul dan kabut tebal yang menutupi sungai, hutan dan laut yang kami lihat kemarin sore. Tempat ini benar-benar terlihat seperti kami sedang berada di negeri di atas awan.

"Proyek kamu sama Opa, apa Opa yang minta kamu buat kerjain itu?" aku tiba-tiba bertanya karena baru saja menemukan pemahaman ini. Kuharap dia jujur padaku.

"Ga heran kalau opa sayang kamu kan." Astro tak menjawab pertanyaanku secara terbuka dan sepertinya aku sudah mendapatkan jawaban yang kucari.

"Apa itu juga berarti, kalau proyek kamu berhasil nanti, kita akan ... kamu tau?"

Astro mengangguk dengan senyum menggodanya yang biasa, "Aku usahain lebih cepet. Ayah sama ibu juga nikah muda, jadi mereka ga keberatan kalau kita juga mau begitu."

Aku menatapnya terpesona. Mungkin cahaya matahari yang baru naik memberikan efek pada sosoknya seolah terlihat lebih dewasa. Anehnya, seperti ada beban tak terlihat yang terbang dari dadaku setelah aku mengetahui ini semua. Aku merasa mampu melihat jalan untukku bertahun ke depan. Tak ada lagi kabut yang menutupi seperti beberapa waktu lalu yang membuatku ragu-ragu.

"Apa normal buat anak seumuran kita bahas tentang nikah begini?" aku bertanya.

Astro menatapku lekat, "Keluargaku beda sama kebanyakan orang, Faza. Itu sebabnya aku ga perlu mikirin pendapat orang lain. Akan lebih baik buat kita punya hubungan yang sehat. Aku bisa sabar nunggu karena aku tau kamu juga nunggu aku."

Sepertinya aku memahami ucapan Denada beberapa bulan lalu saat kami melakukan percakapan rahasia kami. Keluarganya memang berbeda dan aku juga menjadi sepertinya karena mereka sudah menganggapku seperti anak sejak lama. Sepertinya sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan.

Astro membuka penutup lensa, mengatur kamera dan mengambil foto kami berdua dengan latar matahari terbit. Entah ini adalah foto kami dengan matahari terbit yang ke berapa, tapi ini adalah foto pertama kami hanya berdua di depan matahari terbit yang sama.

"Proyek kamu harus berhasil, kamu tau?" ujarku pada Astro saat kami memandangi foto di kameranya.

"Aku harus berhasil kalau aku mau dapetin kamu."

Kami saling menatap dan tersenyum satu sama lain. Sepertinya aku benar-benar telah jatuh cinta padanya.

=======

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte

Novel ini TIDAK DICETAK.

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!

Regards,

-nou-

Chapitre suivant