webnovel

45. Gantungan Kunci

Gelora 💗 SMA

Hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan. Bali adalah tempat di mana aku bisa belajar banyak tentang arti sebuah persahabatan, kemandirian dan juga cinta. Di bumi seribu pura ini aku mengukir sebuah kenangan yang tak mungkin bisa aku lupakan dan akan selalu terpatri di dalam sanubari.

Malam sekitar pukul 22.17 waktu setempat, selepas menghabiskan santapan malam. Aku menemui Randy di pelataran hotel tanpa sepengetahuan teman-teman sekamarku. Beberapa saat yang lalu, ketika kami berada di ruang makan Randy memberikan surat rahasia yang dia tulis di selambar tisu makan. Dalam tisu tersebut dia menuliskan kata, ''TEMUI AKU DI SERAMBI HOTEL." Terdengar sangat jadul, ya ... padahal di jaman semodern ini kalau dia ingin memberikan pesan rahasia dia bisa mengirimkan pesan japri lewat WA atau BBM, tapi nyatanya dia lebih memilih lewat cara tradisional begini, biar terkesan penuh perjuangan dan romantis. __Duh, Randy ... kamu memang selalu menggunakan cara yang berbeda buat meluluhkan hatiku.

Dan kini aku memenuhi permintaannya tersebut.

''Randy ...'' sapaku pelan pas aku tiba di tempat yang dijanjikan. Randy telah menungguku di sini.

''Hai, Poo ...'' balas Randy dengan wajah gembira.

''Sudah lama ya, menungguku?'' tanyaku.

''Tidak, aku juga baru sampai,'' jawab Randy.

''Ohhh ...'' Aku menganggukan kepala.

''Mmm ... kenapa kamu mengajakku ke tempat ini, Ran? Ada apa?'' lanjutku.

''Aku mau mencari kopi bareng kamu ... apa kamu tidak keberatan?''

''Cari kopi? Di mana?''

''Tempat kemarin ... apa kamu mau ikut?''

''Iya ... aku mau, Ran ...'' Aku mengangguk semangat.

''Oke, kalau begitu mari ikuti aku!'' Randy membuka telapak tangannya lebar-lebar lalu tanpa segan dia menggenggam tanganku. Awalnya aku merasa canggung, tapi akhirnya aku menjadi rileks karena genggaman Tangan Randy terasa lembut dan nyaman.

Kami pun melangkah beriringan keluar dari area penginapan.

''Ran ... kita mau ke mana, sih?'' tanyaku heran karena sudah melangkah cukup jauh dari penginapan tapi kami belum juga menemukan penjual kopi.

''Cari tempat yang romantis,'' jawab Randy sekenanya.

''Tempat romantis? Buat apa? Emang kamu tidak jadi cari kopinya, Ran?''

''Lupakan kopi ... karena aku akan memberikan sesuatu yang spesial buat kamu, Poo ...''

''Sesuatu? Spesial? Apa itu?'' Aku bertanya-tanya.

''Nanti kamu akan tahu setelah kita menemukan tempat yang asik buat kita berdua."

''Kamu tidak akan melakukan macam-macam 'kan, kepadaku?''

''Tentu saja, tidak!''

''Maaf, Ran ... aku trauma dengan tragedi Pak Armando yang menimpaku beberapa waktu yang lalu.''

''Jangan khawatir, Poo ... aku tidak akan sejahat itu!''

Randy terus melangkah. Aku membuntutinya. Dia berhenti ketika tiba di sebuah taman kota. Kemudian dia mengajakku duduk di salah satu bangku yang terdapat di dalam taman tersebut. Taman ini cukup luas, penuh pepohonan rindang yang dihiasi dengan lampu kedap-kedip berwarna-warni. Beautiful and romantic look!

''Ran ... kita mau ngapain sih, di sini?'' Mataku jeli memperhatikan suasana di sekitar taman yang nampak temaram karena minim cahaya. Kesan mistisnya tetap ada, karena di beberapa sudut terdapat bangunan pura dan pohon kamboja.

''Kita mau membuat sejarah, Poo ...''

''Sejarah?''

''Iya ...'' Randy tersenyum simpul, "coba buka telapak tanganmu, Poo!'' lanjutnya menyuruhku untuk membuka telapak tanganku. Aku menatap mata Randy yang teduh sebelum aku menuruti komandonya. Sorot matanya memancarkan sebuah aura yang membuatku mempercayainya.

''Oke ... sekarang kamu tutup matamu, Poo!'' titah Randy lagi.

Aku pun perlahan menutup mataku.

''Jangan buka matamu sebelum aku selesai berhitung mundur ya, Poo ...''

''Aduh ... kamu mau ngapain sih, Ran ... penasaran, nih!'' Aku jadi harap-harap cemas.

''Udah ikuti saja perintahku, Poo ...''

''Baiklah ...''

''Tiga!" Randy mulai menghitung mundur.

''Dua!'' Aku jadi deg-degan, nih!

''Satu!'' Randy meletakan sesuatu benda di telapak tanganku. Makin bertambah deg-degan jantungku dan makin penasaran pula.

''Oke ... sekarang kamu boleh membuka matamu, Poo ...'' ujar Randy pelan.

Aku perlahan membuka kelopak mataku. Dan betapa terkejutnya aku melihat sebuah gantungan kunci bentuk miniatur alat kelamin pria, ada di atas telapak tanganku.

''Oh My God ...'' Entah, aku harus bersikap bagaimana untuk mengekspresikan rasa senang, terkejut sekaligus mengharukan ini. Ingin tertawa, tapi aku tahan karena aku takut dianggap tak sopan. Aku hanya tersenyum malu-malu.

''Randy ... ini 'kan yang ada di Pasar Seni Sukawati ...''

''Iya ... itu hadiah buat kamu. Aku tahu kamu menginginkan benda itu ... iya, 'kan?''

''Bagaimana kamu mendapatkan benda ini, Ran ... bukankah saat di pasar itu kita selalu bersama dan aku tidak pernah melihat kamu membelinya ...''

''Hehehe ... pada saat kamu masuk ke bus. Aku diam-diam kembali ke sebuah toko yang ada di sana ... lalu aku membelinya."

''Ah, Randy ... aku jadi terharu ... sumpah ... 'kok kamu bisa tahu sih, aku pengen benda ini."

''Iya ... aku tahu aja. Karena pada saat kamu memegang benda ini di toko itu, kamu nampak terkagum-kagum dan memeganginnya cukup lama .... aku tahu kamu pasti ingin membelinya, tapi kamu malu untuk mengungkapkannya ... iya 'kan?''

''Randy ... kok, kamu bisa baca sih, pikiranku ... aahhhh ... aku jadi malu.'' Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku seperti anak kecil yang ketahuan bertindak kebodohan.

''Hehehe ....'' Randy hanya meringis melihat tingkahku yang kekanakan seperti ini.

''Ran ... terima kasih, ya gantungan kuncinya,'' ujarku masih dengan perasaan malu-malu kucing.

''Iya sama-sama, Poo ...''

''Entah, dengan apa aku bisa membalasnya ....''

''Tidak perlu kamu pikirkan hal itu, Poo ... aku sudah bahagia bila kamu merasa bahagia ...''

''Ah ... Randy, kenapa sih, kamu selalu membuatku baper ...''

Randy jadi tersenyum. Lalu ...

''Poo ...'' ujar dia pelan.

''Iya, Ran ...'' balasku.

''Apa aku boleh meminta sesuatu ...'' ucap Randy yang membuatku jadi penasaran kembali.

''Apa, tuh?'' tanyaku.

''Bolehkah aku menciummu lagi?'' ujar Randy pelan tapi berhasil membuatku ternganga.

Untuk beberapa saat aku terbengong dan terdiam.Namun kemudian aku mencoba untuk memberanikan diri untuk membuka mulutku.

''Iya ... boleh!'' jawabku.

Dan Randy pun mencium bibirku untuk yang kedua kalinya. Ciuman hangat dan lembut yang penuh dengan gairah. Ini adalah ciuman terindah dan teromantis yang pernah aku rasakan. Aku benar-benar menikmati setiap kuluman dan hisapan bibir Randy yang memberikan sensasi kenikamtan yang sulit aku lukiskan dengan kata-kata. Mungkin laksana angin, tidak terlihat namun bisa dirasakan. Oh Tuhan ... aku bahagia sekali.

Chapitre suivant