webnovel

CERITA KETUJUH: JALAN BERDUA

"Aku pergi dulu!" ujar Rani dengan semangat.

"Hati-hati," sahut Sinta.

Kemudian Rani pun membuka pintu dan pergi ke luar. Setelah beberapa saat, aku pun menyusulnya.

"Aku juga pergi dulu."

"Hati-hati, paman."

Aku langsung membuka pintu dan keluar dari rumah. Setelah di luar, aku langsung menuju jalan. Lalu, aku melihat punggung Rani yang sudah cukup jauh. Aku langsung mengikutinya secara pelan-pelan.

Hari ini adalah hari di mana Rani akan janjian bertemu dengan seseorang dari telepon bernama RInggo. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan, tapi aku merasa harus mengawasi mereka mengingat Ringgo adalah laki-laki yang disukai dua perempuan temannya Rani.

Mungkin saja akan ada masalah, lalu Rani akan dipojokkan oleh kedua temannya itu dan Ringgo tidak bisa mengatasinya. Sehingga, sudah seharusnya aku sebagai anggota keluarga menyelamatkannya.

Benar. Itulah alasannya aku mengikuti Rani sekarang ini. Bukan karena alasan yang aneh, apalagi menguntit. Ini hanya untuk melindungi Rani.

Sekarang kami sudah di jalan dan Rani sudah naik angkot. Untuk sekarang aku tidak mungkin memasuki angkot yang sama, nanti malah ketahuan. Jadi, aku putuskan untuk menaiki angkot yang sama nanti.

Setahuku, angkot berwarna kuning itu akan ngetem nanti. Apalagi di hari minggu, di mana tidak banyak yang keluar. Karena, rata-rata yang menaiki angkot ini saat pagi paling anak sekolah atau ibu-ibu yang baru pulang dari pasar. Sehingga, nanti aku bisa menyusul.

Tidak perlu lama menunggu setelah kepergian angkot yang dinaiki Rani, angkot yang sama sudah tiba. Aku langsung menaikinya dan angkot langsung berjalan.

Setelah cukup lama, akhirnya angkot ini menyisi dan diam. Lalu, aku melihat ke depan dan menemukan angkot yang dinaiki Rani. Dapat dilihat dari kaca belakang angkot itu, ada Rani yang sedang duduk sambil memainkan HP.

Aku langsung memakai topi, jaket besar coklat, serta kacamata hitam dari tas yang kubawa sebelum menuruni angkot dan membayarnya. Setelah turun, aku langsung menaiki angkot yang dinaiki Rani dan duduk di depan. Dengan begini, Rani tidak akan mencurigaiku karena naik di tempat yang beda. Apalagi sekarang dia sedang main HP, pasti tidak akan menyadari kalau ada orang berjaket besar naik angkot ini.

Selain itu, topi yang kugunakan ini tidak pernah kuperlihatkan kepada Rani dan begitu juga dengan jaket. Sehingga, Rani tidak akan bisa mengenal kalau ini aku. Ditambah dengan kacamta hitam yang gelap sekali, maka identitasiku semakin tidak bisa diketahuinya.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya angkot ini kembali berjalan dengan penumpang yang sedikit. Selama di perjalanan, ada yang turun dan naik lagi. Hingga akhirnya Rani yang mengatakan kiri.

Rani membayarnya sebelum turun dari angkot, lewat dari belakang sehingga supir angkot harus sedikit membalik badan untuk mengambil uangnya. Lalu, dia pun turun dan langsung berjalan yang kurasa menuju mall di depannya.

Tentu, aku juga langsung membayar dan turun dari angkot. Setelah turun, sambil berjalan, aku melepaskan kacamata hitamku dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Karena akan menyebabkan aku dilihat sebagai orang mencurigakan. Lalu, aku kembali mengikuti Rani.

Setelah kami menyebrangi jalan, Rani langsung berjalan menuju mall dan memasukinya. Aku pun menyusul dari belakang, dengan jarak yang cukup jauh.

Saat di dalam, dapat kulihat banyak orang berlalu lalang di dalam mall ini. Namun, walau begitu, tidak terlalu padat sehingga aku masih bisa mengikuti Rani tanpa perlu berdesakkan atau bahkan kehilangannya karena terhalang oleh orang-orang.

Setelah beberapa kali melangkahkan kakinya ke depan, Rani mulai mempercepat jalannya. Aku juga ikutan mempercepat langkah. Lalu, dapat kulihat Rani mendekati seorang laki-laki yang kuingat bernama Ringgo berada di dekat eskalator.

Setelah mereka yang kelihatan berbincang sebentar, mereka pun melanjutkan perjalanan dengan menaiki escalator itu. Aku pun menyusul mereka.

Dilihat dari kejauhan, selama mereka berjalan, sepertinya mereka saling berbincang. Selain itu, kelihatannya mereka akrab sekali. Sampai-sampai mereka terlihat senang saling berbicara dan bahkan terkadang Rani tertawa cukup penuh rasa senang.

Kira-kira apa yang mereka bicara sehingga Rani tertawa seperti itu?

Kalau tidak salah mereka satu kelompok dan punya tugas drama, jadi mungkin saja mereka akan membeli beberapa perlatan yang dibutuhkan. Namun, karena teman-temannya memiliki kesibukan mendadak atau tidak, jadinya hanya mereka.

Tapi, tidak menutup kemungkinan kalau sebenarnya mereka berdua memiliki hubungan yang khusus. Sehingga, apa yang mereka lakukan sekarang adalah kencan.

Apapun jawabannya, pasti akan kutemukan hari ini.

Sekarang, mereka mulai memasuki toko peralatan tulis yang cukup besar. Pasti di toko itu memiliki hampir semua peralatan yang dibutuhkan.

Aku mengikuti mereka sampai ke dalam. Tentu dengan jarak yang cukup jauh dan kalau kebetulan mereka melihat ke arahku, aku langsung bersembunyi atau membalikkan badan.

Dilihat, mereka berada di rak bagian pensil mekanik. Banyak sekali jenisnya, ada yang biasa sampai yang dibuat agar imut-imut. Mereka sekarang sedang memilih beberapa pensil mekanik yang imut-imut dan Ringgo selalu memperlihatkan pensil mekanik kepada Rani seperti menanyakan apa pensil itu bagus atau tidak.

Setelah mengambil satu pensil mekanik dengan karakter kucing imut sebagai tombol memunculkan pensilnya, mereka pun pergi dari tempat itu. Hingga, akhirnya mereka berada di rak buku kecil. Mulai dari buku kecil atau note bersampul biasa sampai bersampul imut yang dikhususkan untuk perempuan.

Seperti sebelumnya, Ringgo menunjukkan satu persatu note yang bersampul imut kepada Rani. Hingga, akhirnya diambillah satu yang bergambar karakter kucing yang sama seperti pensil yang dibawa sebelumnya.

Setelah membeli kedua barang tersebut, mereka pun keluar dari toko. Aku hendak mengikuti mereka, tapi tiba-tiba aku merasa ada yang memegang pundakku.

"Hei, kamu. Kamu mencurigakan!"

Kalimat itu terdengar sangat dekat sekali denganku, sehingga aku merasa kalimat itu terarah kepadaku. Aku pun membalikkan badan dan melihat ada seorang perempuan berambut hitam panjang sepundak terurai, memakai kaos putih berlengan pendek dengan celana suspender hitam pendek, dan memasang tatapan tajam kepadaku.

"Maksudmu aku?" tanyaku sebagai responnya.

"Tentu saja. Memang siapa yang aku pegang, hah?"

"Apa alasanmu mengatakan itu?"

"Aku melihat kamu sedari tadi mengikuti mereka!"

"Berarti, kamu yang sedari tadi melihat kepadaku juga mencurigakan."

"Hiiiiii, ka-"

"Kakak!"

Mendengar panggilan itu, gadis di depanku menghentikan kalimatnya dan melihat ke arah lain. Aku refleks mengikuti arah matanya. Seorang gadis berambut hitam panjang sepundak terurai, memakai dress bagian atas berwarna putih polos dengan rok putih dihiasi corak berwarna hitam di sekelilingnya, dan wajahnya terlihat sama seperti gadis yang memegang pundakku.

"Kakak, aku sedari tadi mencari ka… Ah, apa dia kenalan kakak?" tanya gadis itu setelah sampai di dekat kami dan melihatku.

"Bukan, dia hanya orang yang mencurigakan!" jawab tegas kakaknya.

"Ka-Kakak, tidak boleh begitu! Itu tidak sopan. Jangan mencurigai orang begitu saja," ujar gadis itu. "Ma-Maafkan atas sikap kakakku," ujarnya kepadaku.

Sebenarnya aku ingin sekali memarahi orang yang sedari tadi memegang pundakku, tapi karena sedang buru-buru aku urungkan niat itu.

"Tidak masalah," balasku. "Tolong minta kakakmu untuk melepaskan aku."

"Kakak, lepaskan tanganmu dari kakak ini."

"Tunggu, Lala. Kita tidak bisa melepaskan orang me-"

"Lepaskan!"

Setelah mendengarkan bentakkan dari adiknya, gadis yang merupakan kakaknya langsung melepaskan tangannya dari pundakku dan langsung menundukkan kepala seolah menyesal atas tindakkannya atau ketakutan dengan bentakkan adiknya sendiri.

Melihat itu, aku jadi bertanya-tanya. Apa benar dia kakaknya?

"Terima kasih," ucapku kepada si adik. "Kalau begitu, aku pergi."

"Iya. Sekali lagi, aku minta maaf atas perilaku kakakku."

Kemudian, aku pun berlari kecil untuk menyusul Rani. Walau tadi sempat kehilangan, tapi setelah berusaha sedikit aku berhasil menemukan mereka. Mereka sedang memasuki toko boneka.

"Aibo?"

Mendengar itu, aku spontan berbalik badan. Karena aku mengetahui kalau panggilan itu tertuju kepadaku. Dapat kulihat, ada Arkan dengan beberapa kantong belanjaan di kedua tangannya.

"Yo," balasku.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Arkan.

"Aku sedang jalan-jalan."

Kalau aku memberitahu yang sebenarnya, pasti akan menjadi heboh. Jadi, aku akan berusaha untuk mengelabuinya secara natural mungkin.

"Begitu. Ah, aku harus per-"

"Arkan!"

Mendengar panggilan itu, Arkan langsung berbalik badan dan aku ikuttan melihat ke arah yang dilihat Arkan. Seorang perempuan yang kelihatannya lebih tua dariku sedang berlari kecil ke arah kami. Rambutnya hitam panjang sampai punggung, memakai kaos putih dengan cardigan hitam panjang, dan celana jeans biru gelap panjang.

"Kamu dari mana aja? Kakak cari-cari," ujar perempuan itu kepada Arkan.

"Maaf, kak…"

"Itu teman kamu?" tanya perempuan itu setelah menyadari keberadaan dan melihat ke arahku.

"Bukan, tepatnya sahabat sejatiku! Namanya Fiki."

"Oh, Fiki. Salam kenal. Aku kakak Arkan, Puspa Lesmana."

"Salam kenal, kak Puspa."

"Oh iya, Arkan. Ayo kita pergi. Ibu dan ayah sudah menunggu," ujar kak Puspa kepada Arkan. "Fiki, maaf, kami harus pergi dulu."

"Iya, tidak apa-apa."

Mereka berdua pun pergi meninggalkanku. Kemudian, aku langsung berbalik dan memasuki toko boneka. Namun, aku tidak menemukan keberadaan Rani atau Ringgo. Sehingga, aku memutuskan untuk keluar dari toko dan mencari di sekitar.

Sayangnya, aku tidak seberuntung tadi, sehingga tidak berhasil menemukan mereka. Sudah kucari di setiap tempat di lantai ini serta toko-toko yang mungkin dimasuki. Tapi tetap tidak ketemu juga.

"Eh, kak Fiki?"

Mendengar itu, aku berbalik badan dan melihat ada seorang gadis berdiri melihat kepadaku. Dia berambut hitam panjang dengan gaya ponytail, memakai kaos belang kuning putih, celana jeans biru keputihan panjang, dan tas putih perempuan bergantung di pundaknya.

"Oh, Wulan."

Dia adalah salah satu anak yang dirawat di panti asuhan yang sama denganku dulu. Umurnya lebih muda satu tahun dariku dan selalu mau bicara denganku di saat aku tidak terlalu aktif dekat dengan anak-anak panti asuhan yang lain.

"Ternyata memang benar kak Fiki. Bagaimana kabarnya?"

Dia sudah diadopsi sebelum aku diadopsi, kira-kira sebulan sebelum aku diadopsi. Jadi, kami dibilang sudah lama tidak bertemu.

"Sehat. Bagaimana denganmu?"

"Aku sehat-sehat saja, karena ibu dan ayah selalu merawatku dengan baik. Ah, apa kak Fiki diadopsi juga?"

"Iya. Kira-kira sebulan setelah kamu."

"Syukurlah kalau begitu. A-"

"Wulan!"

Mendengar panggilan itu, Wulan spontan berbalik dan aku juga ikutan melihat ke arah yang dilihat Wulan. Ada tiga perempuan dan salah satunya melambaikan tangannya kepada Wulan.

"Ah, itu teman-temannku. Sepertinya aku harus pergi," ujar Wulan kepadaku. "Hm… kak Fiki, apa aku boleh tahu kamu tinggal di mana? Aku… ingin mengobrol denganmu lebih lama."

"Bagaimana kalau aku kasih nomor teleponku?"

"Hm, boleh."

Setelah memberikan nomor teleponku, Wulan pun langsung pergi ke tempat teman-temannya berada.

Sepertinya orang tua yang mengadopsinya adalah orang yang baik dan memiliki teman-teman yang baik, sehingga dia hidup dengan nyaman. Dari lubuk hati yang dalam, aku senang mengetahui itu.

"Waaa!"

Saat aku berbalik badan untuk melanjut mencari Rani, aku dikagetkan oleh sosok yang kucari sudah berdiri di depanku.

"Ternyata memang benar kakek," ujar Rani sambil menatapku dengan ekpresi tidak menyenangkan.

"Me-Memangnya kenapa?"

"Kakek mengikutiku, kan?"

"Ti-Tidak… aku kebetulan ada keperluan di mall ini."

"Bohong. Sebenarnya aku sadar kalau orang yang duduk di depan angkot adalah kakek, tapi karena pakai jaket dan topi aku jadi ragu. Tapi, karena bertemu dengan kakek di sini, sepertinya dugaanku itu benar."

Bagaimana bisa dia memiliki dugaan seperti itu? Aku kan menggunakan jaket, topi, dan bahkan kacamata. Memangnya dia memiliki penciuman yang tajam seperti anjing, sehingga tidak perlu melihat untuk mengetahui siapa orang itu.

"Jadi, kenapa kakek mengikutiku?"

Aku tidak punya bahan yang bagus untuk dijadikan elakkan, jadi aku memilih untuk mengaku saja.

"Itu… aku hanya penasaran dengan janji yang kamu lakukan dengan Ringgo."

"Hmm… begitu, jadi memang benar kamu menguping. Kakek tahu, itu tindakan yang tidak sopan."

"A-Aku minta maaf…"

"Baiklah, tapi dengan syarat."

"Eh, syarat…"

Aku punya firasat yang buruk tentang hal ini.

"Kakek harus menjadi jin yang menuruti tiga permintaanku."

"Hahh… Baiklah, apa permintaanmu?"

"Pertama, aku ingin kakek menemaniku jalan-jalan, karena aku belum mau pulang. Kedua, kakek yang traktir makan siang. Dan yang ketiga…"

Mendengar permintaan pertama yang sedikit wajar dan kedua yang hampir ke kata yang tidak menyenangkan, pasti yang ketiga hal yang merepotkan. Aku harap itu tidak benar.

"Untuk yang ketiga, aku simpan."

"Kenapa tidak sekaligus pakai saja? Mau dibelikan apa? Atau mau dibantu mengerjakan pr?"

"Kalau itu, aku bisa saja memintanya tanpa menggunakan syarat. Aku akan menggunakannya nanti, jadi jangan sampai lupa kalau kakek punya hutang satu permintaan."

"Hahh… iya, terserah, deh."

"Kalau begitu. Ayo kita pergi!"

Dengan Rani yang memimpin jalan, aku pun mengikutinya dengan perasaan yang kurang nyaman. Sampai-sampai aku lupa tentang alasan kenapa dia dengan Ringgo pergi ke mall dan membeli beberapa barang.

Kuharap permintaan ketiganya bukanlah permintaan yang aneh dan merepotkan…

Chapitre suivant