webnovel

Bab 14 B | Setengah Memory

Kendy meminta untuk mampir makan terlebih dahulu. Karena kebanyakan mengoceh tentang kegiatannya yang membosankan di Austria sepertinya ia lapar. Mereka berhenti di sebuah kafe yang sudah Alta hafal. Ia memang sengaja berhenti di kafe itu. Karena, sudah dua hari gadis yang diincarnya itu tidak ada di sekolah. Padahal, ada banyak hal yang harus Alta selesaikan dengan gadis itu. Dan kebetulan GPS nya menunjukkan dimana posisi gadis itu sekarang.

Alta menghentikan mobilnya di pelataran parkir yang tidak terlalu lebar. Saat matanya menabrak sosok di pinggiran trotoar, ia menyeringai.

Ia tepat waktu. Gadis itu masih disana.

Alta segera turun dari mobil, begitupula dengan Kendy. Ia tidak langsung menuju pintu masuk, membuat Kendy mengerutkan alis dan mengikuti pergerakannya

"Lamanda." Kendy yang barusaja sadar akan maksud dari kelakuan Alta, langsung pias begitu melihat sosok di depannya. Jantungnya berpacu cepat, menanti apa yang akan diperbuat Alta setelah ini.

Sedangkan Lamanda yang sejak tadi fokus pada ponselnya, menoleh ke arahnya. Ia langsung kaget mendapati sosok yang sudah lama tidak dilihatnya itu kembali bersama dengan seseorang yang mengaku masa lalunya. "Kak Ken.."

Alta berdeham, membuat Lamanda mengalihkan pandangan ke arahnya. Kesempatan yang pas. Ia mendekati Lamanda dan meraih pergelangan tangannya.

"Lo makan duluan sana, gue masih ada urusan sama dia," kata Alta pada Kendy yang masih diam saja. Kemudian, Alta menarik Lamanda menuju mobil membuat gadis itu sadar dan memberontak.

"Alta. Apa-apaan sih lo, lepasin!"

"Nggak!"

"Lepasin gue, Alta!!!"

"I want to kill you, now," suara Alta terdengar begitu rendah dan tajam.

"Ma-maksudnya apa?" Lamanda tergagap. Ia bingung dengan semua yang terjadi. Ia hanya sedang menunggu Kalka di parkiran kemudian bertemu Kendy dan Alta. Lalu sekarang Alta mencoba menculiknya dan berkeinginan membunuhnya.

"You're a bad luck. Sejak kapan omongan lo kasar, huh?"

Kemudian Alta menghempaskan Lamanda ke dalam mobil dan menguncinya dari luar tanpa menunggu jawaban Lamanda.

"Lo naik taksi. Nanti barang-barang lo gue antar ke apartement," ucap Alta pada Kendy yang masih bingung harus melakukan apa.

"Jangan nekat, Al!!" bentak Kendy ketika Alta berbalik dan menuju pintu kemudi. Namun Alta tidak peduli ia sudah masuk ke mobilnya meninggalkan Kendy yang kalut.

Sekarang ia sadar bahwa memberikan foto tadi adalah kesalahan terbesar.

***

"ALTA BERHENTI!"

"ALTA!!"

Lamanda histeris karena Alta mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangan Lamanda bergetar hebat, jantungnnya berdetak cepat.

"Diem, Lam!!" bentak Alta.

Lamanda menggeleng dan meraih tangan Alta agar menghentikan laju mobinya. Perutnya terasa sangat mual. Air mata mulai menggenang di mata abunya.

"Gue mau muntah, please berhenti, " lirih Lamanda.

Dengan kesal Alta menepikan mobilnya, ia hanya ingin agar mobilnya tidak kotor. Alta keluar dan membukakan pintu untuk Lamanda.

Lamanda langsung memuntahkan isi perutnya namun tidak bisa karena sejak pagi ia memang belum makan. Lidahnya bahkan terasa pahit ketika hanya cairan yang keluar.

"Masuk!" perintah Alta setelah keadaan Lamanda membaik. Sedari tadi ia menahan diri agar tidak ikutan muntah karena Alta memang tidak bisa melihat orang muntah.

"Nggak mau."

Alta menarik paksa Lamanda, hal itu membuat Lamanda memberontak dan berteriak.

"Gue bilang masuk ya masuk!" bentak Alta.

Lamanda terkesiap. Ia dapat melihat jelas wajah Alta yang memancarkan kemarahan. Namun Lamanda kembali menarik tangannya dari cengkraman Alta. Tapi gagal. Hal itu hanya membuat pergelangan tangannya semakin sakit.

"Allamanda! " geram Alta pada Lamanda.

Panggilan Alta membuat Lamanda terdiam. Ia seperti berhadapan dengan Davino sekarang. Davino selalu memanggilnya begitu jika sedang marah. Pikirannya otomatis kilas balik akan kejadian-kejadian sebelumnya.

Lamanda menggelengkan kepalanya. "Nggak, nggak," racau Lamanda.

"Masuk, Allamamda!"

"Nggak mau!" teriak Lamanda dengan bahu naik turun.

"All-"

PLAK

Satu tamparan mendarat di pipi Alta. Lamanda refleks, ia menjauhkan dirinya melihat Alta menyeringai. "Lo gila, Alta. Lo psycho."

Alta tertawa sumbang, "Belum genap sebulan, lo udah nampar gue tiga kali," ucap Alta mengacuhkan pendapat Lamanda tadi.

Lamanda diam membiarkan Alta melanjutkan biacaranya.

"Seharusnya gue emang nggak ngaku ke lo kalau gue Davino! Percuma, karena lo emang mau Davino mati!! Harusnya gue lupain lo dan nggak banyak berharap ke cewek sialan kayak lo!!" teriak Alta.

Lamanda mati-matian menahan tangisnya mendengar Alta mengatakan hal itu.

"Waktu asma lo kambuh, harusnya gue nggak nolongin lo. Biar lo mati sekalian. Dan waktu Liora labrak lo harusnya gue nggak peduli, karena lo memang pantas disakitin," ucap Alta sarkatis.

Alta memberi jeda agar Lamanda tahu dan sadar seberapa sampah dirinya. Ia tersenyum meremehkan dam menelisik Lamanda dari ujung kaki sampai kepala, "Seharusnya gue juga ngebiarin Vero perkosa lo waktu di ruang musik. Lo memang pantas diperlakukan layakanya jalang."

Lamanda menutup telinganya namun Alta menarik tangan Lamanda dan membuat jarak keduanya lebih dekat.

"Lo tahu kenapa banyak orang nyakitin lo?" Alta menatap tajam Lamanda. Tidak ada lagi sekelabat rasa kasihan dihatinya sekarang. Keegoisan Lamanda justru membuatnya kesal pada gadis itu.

Lamanda menunduk, matanya ngilu menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak menyangka Alta mengatakan hal seperti tadi.

"Itu karma buat lo."

Alta menghembuskan napasnya, aroma mint menabrak penciuman Lamanda.

"Pernah lo nyakitin seseorang?" tanya Alta dengan suara rendah.

Tidak ada jawaban karena Lamanda hanya diam sedari tadi.

Banyak pertanyaan yang bercokol dikepalanya. Seperti bagaimana Alta bisa tahu dan dekat dengan hal-hal yang berhubungan dengan masa lalunya.

Atau, apakah benar kalau Alta adalah Davino?

"Jawab gue!" Alta mengguncang bahu Lamanda.

Air mata Lamanda yang sedari tadi ditahannya mulai mengalir, ia menatap Alta. "Kenapa lo tanya gitu?"

"Gimana kalau orang yang lo sakiti itu gue? Gimana kalau gue emang Davino? "

Lamanda menutup wajahnya dan terisak karena frustasi. "Nggak, Davino udah meninggal!"

Alta berdecih. Ia meraih telapak tangan Lamanda dan meletakkan selembar foto di atasnya. Lamanda tercekat begitu melihat fotonya beberapa tahun yang lalu.

Foto itu diambil saat ulang tahun Aksa, sahabatnya. Orang yang begitu tidak disukai Davino.

Di foto tersebut, ia berdua dengan Aksa tapi bukan itu yang membuatnya merasa bersalah pada Davino dulu. Hingga sekarang. Melainkan, ekspresi bahagianya begitu Aksa mencium pipinya.

"Gue kasih lo waktu buat percaya kalau gue Davino. Kalau lo emang masih nganggap Davino meninggal, opsi alasannya cuma satu. Lo emang mengharapkan Davino meninggal. Karena, lo masih cinta Aksa. Bukan Davino. "

Saat Lamanda akan membuka suara, Alta menghempaskan tubuhnya ke trotoar lalu masuk mobil dan meninggalkan Lamanda di jalan.

Sendirian.

***

Sejak kejadian tadi Lamanda lebih banyak diam. Kalka sudah menanyai gadis itu berulang kali tapi Lamanda hanya diam atau membahas topik lain sebagai pengalihan. Kalka juga bingung ketika Lamanda memintanya menjemput di tempat lain padahal tadi ia menyuruh Lamanda menunggunya di kafe karena Kalka kembali ke sekolah sebentar untuk mengambil LED Flash Light nya yang ketinggalan di loker.

"Kalau lo nggak mau cerita ya nggak apa-apa gue ngerti. Gue juga sering ada masalah dan menyimpannya sendiri. Mungkin lo merasa ini hal yang sensitif dan terlalu pribadi buat lo. Tapi lo harus ngerti juga kalau suatu saat gue nggak pernah nanyain lo lagi bukan berarti gue nggak peduli. Itu karena gue percaya sama lo kalau lo bisa menyelesaikan masalah sendiri." Kalka berkata panjang lebar. Ia melihat Lamanda yang mengalihkan pandangan keluar jendela. "Lo dengerin gue nggak sih?" tanya Kalka kesal.

"Iya denger."

"Terus?"

"Berhentiin mobilnya, udah nyampe."

Kalka mendengus, ia menghentikan mobilnya di depan rumah Kaila dan kebetulan Kaila dan Arsya sudah menunggu di luar. Setelah masuk mobil semua mereka berangkat menuju Tangerang. Tidak ada pembicaraan berarti ketika menuju kesana.

Hall 5 begitu ramai ketika mereka sampai di Ice BSD. Untung saja antrian VIP tidak terlalu ramai jadi memudahkan mereka saat mengantri menukar tiket dan menukarnya kembali dengan VIP access setelah masuk vanue.

Dari check sound sampai pembukaan Lamanda masih tidak fokus, pikirannya masih melayang-layang. Ia merasa keramaian disekitarnya seakan mendadak hening.

"Luke ganteng banget!!" Arsya langsung histeris ketika Luke mulai menyapa para penggemarnya.

Kaila tidak kalah heboh, gadis itu dengan tidak tahu malunya berdiri lalu meloncat-loncat dengan brutalnya dan teriak-teriak histeris.

"Calum I love youuuuu so damn much!!!"

"Aaaa Calummmm."

"Calum!! Bilang 'I love you too dong!!!"

Kalka yang duduk disebelahnya segera menarik pinggang gadis tersebut agar kembali duduk. Kaila sontak berhenti berteriak, ia menahan nafasnya karena degup jantungnya berpacu sangat cepat.

"Anggun dikit kalau mau jadi pacar gue."

Pipi Kaila merah padam. Kalka selalu berhasil membuat moodnya berubah-ubah. Rasanya ia ingin berteriak dan menghambur ke pelukan Kalka sekarang juga. Tapi Kaila masih punya cukup malu dan sadar diri akan posisinya sekarang maka ia menurut saja dan kembali memperhatikan 5 Second of Summer yang mulai menyanyikan lagu She Look so Perfect.

Bagi Kaila, Calum terlihat sangat mempesona tapi lelaki yang duduk di sebelahnya lebih mempesona lagi, Kaila rasa ia gagal move on lagi.

Waktu seakan berjalan sangat lama sampai ketika intro lagu Amnesia terdengar. Mata Kalka tidak sengaja bertabrakan denga mata seseorang yang berada tidak jauh darinya. Ia memalingkan wajahnya dan menghadap Kaila.

"Gue bercanda soal tadi," kata Kalka tiba-tiba. Meskipun suasana riuh akan teriakan penonton tapi Kaila dapat mendengarnya.

"Soal apa?" tanya Kaila bingung.

"Anggun dikit kalau mau jadi pacar gue," Kalka mengulang perkataanya tadi, ia menarik tubuh Kaila agar menghadap padanya, ia berdeham. "Gue cuma bercanda soal itu."

Jleb

"Gue tau kok. Tenang aja, gue nggak baka baper, " ujar Kaila sambil mencoba tersenyum tersenyum.

Kaila mencoba kembali fokus pada Calum dan teman-temannya di atas panggung. Disamping sebelah kanannya Lamanda melihat ke depan dengan tatapan kosong, di sisi lain Arsya terlihat exited dan sesekali memekik dan berteriak. Merasa diperhatikan baik Lamanda ataupun Arsya menoleh ke arah Kaila.

"Apa?" tanya Lamanda bingung.

"Gue mau pulang."

Kakak lo jahat.

Chapitre suivant