webnovel

Bab 3 | at Spring Breeze Cafe

3. at Spring Breeze Cafe

"Karena sesuatu yang berharga hanya dimiliki untuk sementara. Kita hanya perlu menghapus air mata, mengangkat kepala dan melihat hari esok. Tidak ada yang harus disesali."

***

Kata orang bintang adalah wajah-wajah damai orang yang telah pergi, mereka menggantung lalu mengamati gerak-gerik kita dari atas. Lantas semuanya mereka rekam untuk disimpan pada memori sebagai tontonan saat siang hari. Lalu mereka akan mengamati kembali, jika langit malam berbaik hati menampakkan mereka kembali.

Tapi, kali ini tidak ada bintang di langit. Tidak ada bulan sabit yang biasanya terselip di antara kepingan kecil berwarna putih itu. Langit senyap, bumi dingin, tipikal hari-hari awal di bulan Januari.

Aluna musik dari petikan gitar memenuhi balkon ruangan santai bernuansa pastel yang diisi empat orang remaja, mereka terlihat sedang asik dengan dunianya masing-masing. Lamanda duduk lesehan di atas karpet dengan bantal dipangkuaannya. Ia melirik Kalka -kakak kembarnya- yang masih asik menyanyikan lagu Say You Won't Let Go-nya James Arthur dengan gitar ditangannya. Sedangkan dua temannnya -Arsya dan Kaila- sibuk dengan majalah fashion dihadapan mereka. Sesekali dilihatnya Kaila yang curi-curi pandang ke arah Kalka. Iseng, Lamanda berdeham keras, membuat Kaila mengalihkan pandangannya kembali ke majalah di tangannya dengan salah tingkah membuat Lamanda tersenyum geli. Sedangkan Kalka hanya melihatnya sekilas lalu mengulang-ulang intro lagu itu kembali. Jangan tanyakan Arsya, karena gadis itu akan mendadak budeg jika sudah berhadapan dengan yang namanya majalah. Gadis itu juga menyumbat telinganya dengan headset, mungkin cape ngedumel pada Kalka yang terusan mengulang lagu berkali-kali bahkan sebelum lagu berakhir.

Yang dapat Lamanda lakukan saat ini hanyalah mengalihkan pandangan ke arah jalan raya di bawah.

Ia sangat menyukai malam hari di kafe bundanya ini, terlebih saat lampu jalanan satu persatu mulai menyala. Kafe ini dibangun saat ia masih duduk di bangku satu SMP. Kalau dihitung, kira-kira sudah empat tahun kafe ini berdiri. Ruangannya didominasi warna pastel dan warm brown dengan 2 lantai khusus pengunjung dan lantai 3 khusus ruang pribadi serta gudang penyimpanan barang-barang. Tepat di sebelah kiri toko terdapat toko bunga milik bundanya yang merupakan penyuka bunga sejak kecil.

Dulu, seseorang sering menemaninya disini sekedar untuk menghabiskan waktu bersama. Jika senja sedang berbaik hati menampakkan diri, mereka akan melihatnya di belakang toko bunga sambil menciptakan hening untuk melegakan keduanya dari bisingnya Jakarta.

"Kamu pikir bunga apa yang paling pengen aku kasih ke kamu?" Lamanda menoleh menatap Davino. Lantas ia kembali menerawang ke depan sambil berpikir.

"Mungkin allamanda, mungkin juga iris atau lili. Sesuai nama aku." jawab Lamanda

"Salah," ucap Davino sambil tersenyum jail.

"Mawar maybe, kamu kan terlalu klise dan picisan."

Davino tertawa. Ia meraih tangan Lamanda dan mengayunkannya tidak jelas. "Mau aku kasih kamboja."

"Kok kamboja?"

"Soalnya pahit, kayak kamu"

Lamanda memandang Davino dengan tampang polosnya "Emang kamu pernah ngerasain aku?"

Davino tersenyum penuh arti sambil mendekatkan tubuhnya ke Lamanda. Lamanda mencoba menjauh, gugup setengah mampus. "Sini deketan, aku mau ngerasain kamu."

Lamanda mencubit lengan Davino karena kesal. Yang dicubit hanya tertawa keras melihat tingkah lucu Lamanda.

"Aku mau kasih kamu bunga baby breath-" ucap Davino setelah meredakan tawanya.

Lamanda terdiam menunggu lanjutan Davino.

"-kamu tahu, Lam. Baby breath itu cuma nyelip-nyelip diantara krisan, lili, anyelir, ataupun mawar di karangan bunga yang bunda kamu buat. Tapi entah kenapa, aku suka. Baby breath itu seperti kamu. Ada banyak cewek yang dekatin aku tapi entah kenapa aku tertariknya sama kamu." Davino menarik wajah Lamanda agar menatapnya. Ia tersenyum setelah menemukan mata biru Lamanda. "Kamu itu beda. Seperti napas bayi, kamu polos. Makanya aku sayang banget sama kamu." Davino menjeda ucapannya dan tersenyum. Lagi. "Kamu sayang aku nggak?"

Lamanda menetralkan detak jantungnya. Terlalu dekat dengan Davino nyatanya membuat jantungnya tidak sehat. Ia mengalihkan pandangan pada lantai.

"Sayang."

Davino tersenyum mendengar hal tersebut. Ia memandangi wajah Lamanda yang diterpa sinar matahari. Nyatanya, jalan yang harus mereka lewati masih sangat panjang. Ia juga tidak pernah tahu seberapa banyak jalan rusak di depan nantinya. "Kamu kan tahu aku bakal pindah secepatnya. Dan Prancis-Indonesia itu nggak bisa dibilang dekat." Davino mengalihkan pembicaraan.

Gadis berambut sebahu itu tersenyum kecil. "Jangan bahas itu lagi."

Davino membalasnya dengan mempererat genggaman tangannya. "I love you more than you know," ia menatap mata Lamanda lekat.

Lamanda menunduk, meskipun sudah lama berpacaran, ia masih saja salah tingkah kalau ditatap intens oleh Davino. "I know."

Davino terdiam lama. "Tapi kita nggak bakal bisa LDR an. Mungkin ada saatnya dimana kita harus jalan sendiri-sendiri. Dan aku rasa, sekarang adalah waktu yang tepat. "

Lamanda mendongak, "Maksud kamu apa?"

"Aku nggak perlu memperjelas, Lam. Kamu pasti ngerti maksud aku."

"Kamu ngomong apa sih?"

"Aku mau kita akhiri semuanya."

"Hah?" dari sekian banyak kata yang ingin ia lontarkan entah kenapa hanya tiga huruf itu yang keluar dari mulutnya.

"Aku mau putus."

"Nggak lucu, serius. " Lamanda mencoba untuk menahan emosinya. Baru saja ia diterbangkan oleh perkataan Davino, sekarang apakah ia akan dijatuhkan?

"Lamanda, please ngertiin aku. Kali ini aja. Di sana nanti, nggak mungkin aku nggak dekat sama cewek lain. Aku normal, Lam. Dan nggak nutup kemungkinan kalau aku punya pacar baru disana. Aku juga nggak mau nyakitin kamu dengan selingkuh misalnya. Makanya, aku mau kita akhiri dulu."

Mendengar itu sontak Lamanda melebarkan matanya tak percaya. Ia beranjak berdiri. Belum sempat melangkah ia sudah ditarik kembali duduk di hadapan Davino.

Lamanda memang tidak banyak berharap. Davino terlampau sempurna untuknya. Jika suatu saat Davino memilih untuk pergi, harusnya ia sudah siap. Tapi ia sudah terlanjur takut kehilangan Davino. Ia sangat mencintai Davino. Itu kesalahannya.

Davino menatap Lamanda yang matanya mulai berkaca-kaca. Tidak tega, Davino langsung memeluk gadis itu."Kita coba jalan sendiri-sendiri dulu, Lam. Kamu mau kan?" Lamanda yang sedari tadi mencoba menahan air matanya langsung terisak di dada bidang Davino. "Aku cuma nggak mau nyakitin kamu. Maaf." Lamanda semakin terisak. Ia mencengkeram ujung kemeja Davino untuk menyalurkan emosinya.

Sudah cukup. Davino tidak dapat menahannya lagi mendengar isakan Lamanda. Ia tiba-tiba tertawa lepas melihat gadis didekapannya itu sesenggukan. "APRIL MOPPPPPPPP," teriak Davino mengagetkan Lamanda. Gadis itu mendongak melihat Davino yang masih terbahak.

"Maksud kamu apa?" tanya Lamanda setelah melepaskan pelukannya.

"Bercanda."

"Bercanda kamu bilang?" tanya Lamanda. Davino menggaruk tengkuknya sambil tersenyum lebar lalu mengangguk tanpa dosa.

"Perasaan aku gak sebercanda itu, Dav," emosi Lamanda naik seketika. Ia segera menjauh dari Davino. Ia keluar ruangan lalu menuruni tangga tanpa mempedulikan teriakan Davino yang mulai mengejarnya ataupun tatapan bingung Mbak Rahma -penjaga toko bunga- ketika melewati meja kasir. Lamanda terus melangkahkan kakinya keluar toko. Ia menyusuri trotoar sambil menghapus kasar air matanya.

"Lamanda, tunggu." Davino meraih tangan Lamanda lalu menariknya mendekat. Lamanda terus berontak namun tenaganya tidak sebanding dengan Davino. Jadi ia hanya menangis. "Maaf," kata Davino. Ia tidak mempedulikan tatapan orang-orang yang menjadikan mereka berdua pusat perhatian.

"Nggak lucu, Dav!! "

"Iya nggak lucu. Makanya maafin aku."

"Tadi kamu putusin aku." Lamanda mengalihkan pandangannya pada jalan raya di sampingnya.

Melihat itu Davino merutuki kejahilannya tadi. Ia lantas meraih wajah Lamanda agar mau menatapnya lagi, namun tangannya ditepis kasar. Davino menghapus sisa air mata di pipi gadisnya itu. "Maafin aku. Tadi cuma bercanda. Maafin aku yaa, " rajuk Davino

"Nggak. Sana pulang!" usir Lamanda.

"Nggak mau ish. Maafin dulu, seriusan tadi bercanda, Lamanda."

Lamanda diam. Ia tidak menanggapi dan membiarkan Davino mengoceh terusan sampai puas.

"Maafin aku yaa," kata Davino untuk kesekian kalinya. Ekspresinya sudah nggak ketolong.

***

Next?

Chapitre suivant