webnovel

Bianca Rose

Suara dentingan gelas berisi wine merah dan putih memecahkan keheningan malam di sebuah ballroomternama di kota Jakarta. Sekumpulan laki-laki berjas dan berdasi kupu-kupu sibuk berbincang tentang bisnis, wanita, dan juga kemewahan, sedangkan wanita bergaun warna-warni dan bermerek rancangan desainer ternama juga saling berbincang tentang perhiasan, kemewahan, laki-laki, dan juga barang-barang branded.

Di tengah ballroom berdiri seorang wanita muda dengan gaun luar biasa sexy dan mahal. Wanita itu memakai gaun ketat berwarna merah di tubuh sintalnya dengan potongan V rendah di bagian dada. Di tangannya terpasang beberapa gelang bermerek dan juga tas tangan mahal. Di kakinya terpasang sepatu berwarna senada dengan warna gaun. Rambut panjang yang biasa ia urai kini ia sanggul dan riasan sederhana menyempurnakan penampilannya malam ini. Di sampingnya berdiri laki-laki tua yang terlihat antusias mengenalkan wanita muda tersebut ke kolega dan juga tamu-tamu yang menghadiri penjamuan makan malam yang diadakan MahesaGroup.

"Long time no see Tuan Brotoseno. Saya senang bisa bertemu Anda lagi di pertemuan malam ini. Anda terlihat sangat sehat dan hmmm … siapa wanita cantik nan rupawan ini? Apakah putri Anda?" tanya laki-laki asing itu sambil mencium tangan wanita muda tadi. Ia tersenyum dengan anggun menampilkan barisan gigi putih di bawah bibirnya yang berwarna merah menyala.

"Terima kasih Tuan atas pujiannya. Saya Bianca Rose dan sayangnya beliau bukan ayah saya. Apakah wajah kami berdua sangat mirip?" balas wanita muda bernama Bianca Rose. Bianca Rose bukanlah nama aslinya. Nama itu sengaja ia pakai untuk menutupi jati dirinya. Nama aslinya adalah Maudy.

Laki-laki asing tadi memperhatikan lekuk tubuh nan sensual milik Maudy. Sesekali ia bersiul sambil memuja lekuk tubuh Maudy. Maudy bukannya tidak tahu jika laki-laki yang menatapnya itu menginginkan tubuhnya sama seperti laki-laki kaya lainnya.

"Hahaha tentu saja wanita cantik di samping saya ini bukan putri saya. Dia wanita yang menemani saya sebagai pendamping untuk datang ke acara ini. Anda tahu sendiri istri saya sudah lama meninggal dan Bianca Rose sangat membantu saya," balas Tuan Brotoseno. Sesekali ia mengecup pipi Maudy dan menatap dengan wajah penuh nafsu seakan mau menyantapnya saat ini juga.Tuan Andreas tertawa dan mendekatkan mulutnya ke telinga Tuan Brotoseno.

"I like her, tolong atur pertemuan saya dengannya dan kesepakatan di antara perusahaan kita besok pagi pasti sudah ada di atas meja Anda," pinta Tuan Andreas. Maudy yang mendengar pembicaraan mereka lalu tertawa pelan. Ia mendengar Tuan Andreas menginginkan jasanya, tapi sayang malam ini dirinya sudah terikat janji menemani Tuan Brotoseno dan sebagai lady escort ternama, janji adalah hutang dan ia tidak bisa seenaknya mengingkari.

"Sorry Tuan Andreas. Bianca Rose malam ini adalah milik saya. Anda tertarik? Tunggu jadwal berikutnya." Tuan Brotoseno membawa Bianca Rose keluar dariballroom untuk menghindari tatapan memuja dari laki-laki kaya lainnya. Tuan Brotoseno sudah mengeluarkan uang tidak sedikit untuk bisa menggunakan tubuh Bianca Rose yang terkenal sebagai lady escort kelas atas.

Tidak mudah menggunakan jasanya. Ada jadwal-jadwal tertentu dan siapa pun harus mengikuti peraturan yang dibuatnya dan Tuan Brotoseno sudah menunggu satu bulan untuk bisa menggunakan jasa Bianca Rose. Hal itu tidak akan ia sia-siakan dengan membiarkan laki-laki lain mengganggu kesenangannya.

Kecuali laki-laki yang sedang berdiri di depannya. Tuan Brotoseno melepaskan pegangan Bianca Rose dan menyapa laki-laki yang hampir ditabraknya barusan.

 "Selamat malam, Tuan Ardan," sapa Tuan Brotoseno dengan seramah mungkin. Maudy memilih acuh dan merapikan riasannya sembari membiarkan Tuan Brotoseno menyelesaikan urusannya. Ardan melirik sekilas wanita yang dibawa Tuan Brotoseno. Masih muda untuk menjadi simpanan laki-laki setua Tuan Brotoseno.

 "Anda terlihat buru-buru, Tuan Brotoseno. Sedangkan acara saja belum dimulai." Ucapan Ardan terdengar sinis dan penuh sindiran. Entahlah melihat laki-laki tua dengan wanita muda yang lebih pantas menjadi anaknya membuat Ardan mengingat kelakuan papinya.

 "Ah tidak Tuan, saya hanya menemani pasangan saya mencari udara segar," kilahnya. Maudy tertawa dalam hati dan menyimpan kembali lipstick yang dipegangnya ke dalam tas tangan miliknya. Sesekali ia melirik dan menilai penampilan Ardan yang terlihat sempurna walau kesan dingin, kejam, arogan, dan sombong sangat jelas.

"Wajahnya sangat familiar, rasa-rasanya aku pernah lihat, tapi di mana ya?" Maudy mencoba mengingat tapi nihil, "Ah, mana mungkin dia salah satu klien yang memakai tubuhku. Dia sepertinya bukan tipe laki-laki mata keranjang," sambungnya dalam hati.

 "Oh, kebetulan saya juga ingin menghirup udara segar." Ardan mendekati Maudy lalu memintanya untuk ikut bersamanya. Tuan Brotoseno tak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan Ardan mengambil alih tempatnya. Melawan dan menolak keinginan Ardan sama saja membunuh perusahaannya pelan-pelan. Siapa yang tidak mengenal Ardan Mahesa, selain sebagai pemilik Mahesa Group ia juga terkenal berhati dingin dan tidak jarang menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Tapi …." Maudy melihat ke arah Tuan Brotoseno. Tuan Brotoseno memberi kode agar ia menuruti keinginan Ardan. Maudy membuang napas dan akhirnya mengikuti Ardan menuju rooftop.

"Tuan mau apa?" tanya Maudy. Ardan tidak menjawab dan setelah satu jam menunggu ia pun meninggalkan Maudy tanpa banyak kata. Ardan pun bingung kenapa ia melakukan ini semua, hanya saja ia tidak akan membiarkan laki-laki setua Tuan Brotoseno menyentuh wanita seusia Bianca Rose.

"Maaf mbak lagi nggak cari pekerja."

"Maaf nggak ada lowongan."

"Anda terlalu cantik untuk jadi pelayan."

"Maaf."

"Sorry."

Penolakan demi penolakan Sekar terima setiap ia mengajukan lamaran kerja bahkan untuk menjadi pelayan di restoran saja mereka tidak menerimanya dengan alasan Sekar terlalu cantik untuk menjadi pelayan. Alasan paling tidak masuk akal yang pernah ia dengar.

Sekar meneguk sebotol air mineral dingin sambil memegang ijazah yang dulu sangat ia banggakan tapi sekarang sedikitpun tidak berguna. Nilai tinggi, lulusan terbaik bahkan lulus sebelum waktunya tidak menjadi acuan mudah mencari pekerjaan. Bahkan menurut Sekar, Maudy yang hanya tamatan SMA saja bisa dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa iri. Ternyata gelar dan pendidikan tidak menjamin bisa gampang dalam mencari kerja.

"Semangat Sekar!" teriaknya memberi semangat untuk diri sendiri.

Sekar melanjutkan usahanya mencari pekerjaan dan saat rasa putus asa muncul, tiba-tiba matanya melihat sebuah kertas terpampang di pintu masuk sebuah restoran. Di kertas itu tertulis restoran ini membutuhkan pelayan wanita. Sekar tersenyum girang lalu masuk ke dalam restoran itu dan menyapa wanita tua yang sedang duduk di meja kasir.

"Maaf saya lihat pengumuman di pintu kalau restoran ini sedang mencari pelayan baru ya?" tanyanya dengan ramah. Wanita tua berusia enam puluh tahunan itu mengangguk dan menyuruh Sekar mengikutinya. Mereka lalu masuk ke dalam sebuah ruangan dan wanita tua itu menyuruh Sekar untuk duduk. Sekar lalu menyerahkan map berisi surat lamaran. Wanita itu mulai membaca satu persatu dan terlihat jelas kekaguman atas prestasi yang Sekar miliki.

"Hmmm … Sekar Kinanti. Jadi saya harus memanggil dengan panggilan apa?" tanya wanita itu dengan ramah.

"Sekar saja ibu," balasnya. Wanita tua itu masih membaca dan sesekali berdecak kagum melihat nilai-nilai dan prestasi yang dimiliki Sekar.

"Oke, perkenalkan saya pemilik restoran ini dan nama saya Ibu Marinka. Wah prestasi kamu sangat luar biasa tapi kenapa malah melamar untuk jadi pelayan? Menurut saya dengan prestasi sebagus ini banyak perusahaan bonafit di luar sana rebutan menggunakan jasa kamu," ujarnya. Sekar hanya bisa tersenyum simpul.

"Bagi saya, pekerjaan apa pun akan saya terima, Bu. Karena saya butuh pekerjaan. Apalah arti nilai dan prestasi jika saya bukan berasal dari keluarga ternama?" balasnya singkat. Ibu Marinka tersenyum penuh arti dan menyerahkan kembali surat lamaran tadi ke tangan Sekar.

"Gaji disini tidak terlalu besar, kamu masih mau bekerja disini?" tanyanya lagi. Sekar langsung mengangguk. Baginya, berapa pun gajinya akan ia terima yang penting bisa bekerja saat ini juga. Rasanya ia sudah tak ada muka lagi setiap bertemu Maudy.

"Nggak masalah, Bu. Berapa pun akan saya terima." Ibu Marinka mengangguk senang.

"Nah nak Sekar. Saya suka dengan keuletan kamu dan mulai besok kamu sudah boleh kerja di sini." ujar Ibu Marinka. Mendengar itu Sekar langsung berdiri dan kehilangan kata-kata saking terharunya. Andai ia lancang mungkin saat ini juga Ibu Marinka ia peluk dengan erat dan mengucapkan beribu-ribu ucapan terima kasih karena telah menerimanya untuk bekerja di sini.

"Ibu." Suara berat yang tidak asing di telinganya membuat Sekar sadar dan menghapus air mata yang hampir jatuh. Ibu Marinka berdiri dan menghampiri laki-laki yang menyapanya. Sekar yakin itu anak atau kenalannya. Sekar memilih merapikan dan memasukkan map lamarannya tadi kembali ke dalam tas tangannya.

"Wah tumben kamu siang-siang datang kesini, Ardan Mahesa?" tanya Ibu Marinka dengan nada menyindir.

"Oh, jadi nama laki-laki itu Ardan Mahesa." Sekar tidak terlalu melihat jelas wajah laki-laki itu karena terhalang tubuh Ibu Marinka dan dari namanya sepertinya Sekar salah mengenali orang, lagipula ia baru di kota ini dan mana mungkin bisa mengenal laki-laki itu.

"Ibu pikir aku mau datang kalau nggak ada hal penting? Mbak Rena bilang Ibu mau bicara sesuatu yang penting. Apa itu?" tanya Ardan. Matanya mencoba melihat wanita yang berdiri di belakang ibu tirinya. Tapi tubuh wanita itu terhalang tubuh ibunya. Sekar semakin yakin baru-baru ini pernah mendengar suara laki-laki ini, tapi di mana ya.

"Kamu ini kapan santainya sih? Selalu tegang setiap bertemu dan bicara sama Ibu," balas Ibu Marinka sambil mempersilakan Ardan untuk duduk. Sekar sebenarnya mau izin pamit tapi rasanya tidak sopan mengganggu pembicaraan mereka. Jadi ia memutuskan untuk tetap menunggu Ibu Marinka mempersilakan dirinya untuk keluar.

 "Aku tidak suka basa-basi."

"Sombong dan arogan sekali laki-laki ini, padahal Ibu Marinka sudah sangat ramah dan baik," maki Sekar dalam hatinya.

"Ibu mau kamu menemui salah satu kenalan Ibu. Sudah waktunya kamu menikah."

Chapitre suivant