webnovel

The Road Home 3

"Wah, jagoan gue ngapain ada disini? Bukannya lu ngga ada jadwal malam ini," seru Bang Ole seraya berjalan menghampiri Aslan yang berdiri di bibir pintu ruangannya.

Aslan membalas sapaan Bang Ole dengan tersenyum simpul. "Cuma main aja, Bang."

Bang Ole langsung mendelik pada Aslan. "Gue ngga yakin, lu kesini cuma main doang." Ia kemudian memerintahkan anak buahnya yang sedang ada di ruangannya untuk segera keluar.

Para anak buahnya segera menuruti perintah Bang Ole dan meninggalkan Bang Ole berdua dengan Aslan. Begitu anak buahnya keluar, Bang Ole langsung menutup pintu ruangannya. "Nah, lu mau ngomongin apa sama gue?"

Aslan menatap mata Bang Ole. "Gue mau minta Abang supaya ngga deketin sasananya Bang John."

Bang Ole langsung mengerjapkan matanya setelah mendengar ucapan Aslan. "Lu liat, kan, mata gue masih bengkak begini?" Ia menunjuk bagian matanya yang masih sedikit bengkak akibat pukulan Bang John.

"Gue tau, Bang John kesini. Dia sendiri yang cerita sama gue," ujar Aslan.

"Terus, lu masih berani nyuruh gue buat ngga deketin sasana reot itu?"

"Sasana reot itu sekarang jadi tempat tinggal sekaligus tempat gue latihan," sahut Aslan.

Bang Ole terdiam dan menatap Aslan. Sepertinya ia baru saja menemukan celah untuk bisa memanfaatkan Aslan. Ia menghela napasnya. "Gue pikir-pikir dulu. Lu tahu, kan, kalau sertifikat sasana itu ada di tangan gue?"

Aslan mengangguk. "Kalau bisa, Abang juga balikin sertifikat itu."

Bang Ole tertawa pelan sambil menatap Aslan. "Lu punya penawaran apa buat gue sampai berani minta sertifikat sasana itu?"

Aslan memejamkan matanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bang Ole. Sambil membuka matanya, ia menghela napas panjang. Lingkaran hitam hidupnya tidak akan pernah berakhir. Namun, dengan caranya sendiri, ia ingin memutus lingkaran hitam yang berputar di sekitar orang-orang terdekatnya. "Gue bakal bertanding buat Abang sampai hutangnya Bang John lunas dan sertifikat itu Abang kembaliin. Tapi, gue mau kita bikin perjanjian."

Bang Ole menatap Aslan tidak percaya.

"Satu lagi, Bang," seru Aslan.

Bang Ole mengerjap-ngerjapkan matanya dan menunggu ucapan apa lagi yang akan keluar dari mulut Aslan.

"Tolong biayain perawatannya Ucok," ujar Aslan. "Gue sadar, uang gue ngga bakal cukup buat bantuin seluruh perawatannya Ucok. Tapi, gue bosa tanding buat gantiin biaya itu ke Abang."

Bang Ole geleng-geleng kepala mendengar permintaan Aslan. Ia tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Aslan. "Gue siapin perjanjiannya. Besok malam setelah tanding, lu kesini lagi." Ia sudah berpikir Aslan akan menjadi ladang uangnya. Dengan menyetujui permintaan Aslan, itu tandanya Aslan akan berada dalam genggamannya. Dan ia akan memanfaatkannya untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya.

"Malam ini, kita nonton aja." Bang Ole merangkul Aslan dan berjalan keluar dari ruangannya. "Lu tahu, banyak cewek-cewek berduit yang dateng ke gue dan minta dilayanin sama lu. Tapi, gue bilang, lu ngga jualan itu."

Aslan langsung terkesiap begitu mendengar ucapan Bang Ole.

"Tenang aja, gue ngga bakalan ngejual lu. Keuntungan dari lu berantem masih lebih gede ketimbang gue ngejual lu," ujar Bang Ole sambil terkekeh.

Aslan sedikit bernapas lega setelah mendengar ucapan Bang Ole.

"Tapi, kalo lu udah ngga nguntungin lagi. Ya, mau ngga mau gue bakal cari cara lain supaya lu tetap menguntungkan," aku Bang Ole.

"Tenang aja, Bang. Gue bakal berusaha biar kita sama-sama untung," sahut Aslan.

Bang Ole kembali menepuk bahu Aslan. "Gue suka semangat lu."

Mereka akhirnya tiba di pinggir ring yang dibatasi oleh kawat pembatas seadanya. Bang Ole menyalakan rokoknya dan mulai menonton pertandingan tinju di hadapannya. Aslan berdiri di sebelah Bang Ole dan ikut menyaksikan pertandingan tersebut.

Ada sedikit rasa tidak nyaman ketika Aslan menonton pertandingan tersebut. Nyatanya, ia yang biasa ada di dalam ring merasa tidak nyaman ketika harus melihat dua orang pria bertarung dengan pengamanan seadanya untuk mendapatkan sejumlah uang.

Ia merasakan sedikit ironi ketika menyaksikan pertandingan tersebut. Ironi tersebut tidak pernah ada dibenaknya ketika ia sendiri yang bertarung. Karena, ketika ia bertarung yang ada di benaknya hanyalah bagaimana ia menghabisi lawannya, menang dan mendapatkan uang.

Akan tetapi setelah pertarungannya dengan Ucok, ia menyadari hal lain. Bahwa tidak semua yang bertarung di dalam ring tersebut membutuhkan uang untuk dirinya sendiri. Aslan langsung terpikir apa yang menjadi alasan dibalik pertarungan dua orang pria yang saat ini sedang tonton.

-----

Leon menghabiskan harinya di kantor sambil merapikan beberapa pekerjaannya sebelum ia bertolak ke Jakarta. Ia ingin memastikan seluruh pekerjaannya di New York selesai sebelum ia pergi ke Jakarta sehingga ia bisa sedikit tenang meninggalkan kantornya di New York.

Tiba-tiba saja pintu ruang kerja dibuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah oriental masuk ke dalam ruangannya. Leon langsung menghentikan pekerjaannya ketika melihat pria tersebut masuk ke dalam ruangannya. "Dad?"

"Am I interupt you?" tanya pria tersebut.

Leon langsung menggeleng cepat. "I'm just finished."

Pria itu tersenyum. Ia tahu Leon sedikit berbohong padanya. Karena ia melihat masih banyak dokumen yang terserak diatas meja kerja Leon.

"Just finished your work. I'll be waiting." Pria itu kemudian duduk di sofa yang ada di ruang kerja Leon.

Melihat Ayah angkatnya yang sudah duduk di sofa ruang kerjanya sembari menelpon seseorang, membuat Leon mau tak mau kembali berkutat dengan pekerjaannya. Ia mencoba untuk sedikit mengabaikan kehadiran Ayah tirinya dan melanjutkan pekerjaanya.

-----

Leon sedikit meregangkan tubuhnya begitu ia selesai membuat laporan yang harus ia serahkan kepada pemimpin perusahaan tempatnya bekerja yang tidak lain adalah Ayah tirinya sendiri. Matanya menangkap sosok pria paruh baya yang masih duduk tenang di sofa yang ada di ruangannya. Leon kemudian memutuskan untuk bangkit dari meja kerjanya dan menghampiri Ayah tirinya.

"Are you done?" tanya Ayah tirinya ketika Leon menghampirinya.

Leon mengangguk. "What makes you here?" Ia lalu duduk di hadapan Ayah tirinya.

"I have something to tell you," jawab Ayah tiri Leon.

Leon menatap pria paruh baya di hadapannya dengan penuh penasaran. Tidak biasanya ia datang menemui Leon di kantor.

"My vision getting worse," aku pria tersebut.

"What do you mean?" tanya Leon.

Alih-alih menjawab pertanyaan Leon, Ayah tirinya justru mencoba meraih sebuah pajangan yang ada di atas meja yang memisahkannya dengan Leon. Mata Leon tertuju pada upaya bagaimana Ayah tirinya berusaha meraih benda tersebut. Ia akhirnya memutuskan untuk mendorong benda tersebut ke dekat tangan ayah tirinya.

"This is what I mean," ujar Ayah tirinya sambil memegang benda tersebut di tangannya.

Leon menatapnya tidak percaya. "Then, go to the doctor. And get some medicine."

"I already got some medicine. But, I want you to not telling this to your mother. Until you came back, don't tell this to her."

"Why?"

Pria itu menghela napas panjang. "She's preparing something behind our back."

Leon tercenung mendengar ucapan Ayah tirinya. Untuk apa ia memberitahunya jika ibunya sedang mempersiapkan sesuatu di belakang mereka.

****

Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..

Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^

pearl_amethyscreators' thoughts
Chapitre suivant