Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah hm...
Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan

Seharian aku dan Bang Sam bersama. Berbagi kasih menjelajah dua dunia. Dua hati. Dua laki-laki. Dua generasi. Remaja dan Remaja dewasa. Berbicara lebih intens. Dari hati ke hati. Empat mata. Saling mengenal lebih dalam. Di antara kami tak tampak hubungan ayah dan anak. Namun terlihat seperti kakak dan adik, atau mungkin lebih dari itu. Bagai sepasang kekasih. Saling menjaga dan saling melindungi.
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia

Makan bersama. Jalan bersama. Bermanja-manjaan. Kami seolah sedang pacaran. Aku senang, Bang Sam juga. Berkeliling desa. Menyaksikan hijaunya perkebunan bunga melati. Menghirup udara segar dan wanginya aroma kembang putih berseri. Memandang alam yang menyajikan pesona keindahan surgawi. Bagai lukisan kehidupan yang hakiki. Mengembangkan jiwa persahabatan di antara kami.
Hingga sore pun tiba. Menyulap biru langit menjadi lembayung senja. Di ufuk barat. Matahari merona seolah enggan lengser dari kursi kekuasaannya. Seperti diriku yang masih tak rela untuk mengakhiri jelajahi alam pedesaan bersama Bang Sam. Rasanya aku ingin menghentikan waktu pada saat ini. Tak ada masa lalu, tak ada hari esok. Biarlah waktu terhenti di sini. Di saat aku berada dalam sisi sang pujaan hati. Bang Sam. Ayah tiriku, Ayah idamanku, Idolaku.
Ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Namun waktu tak pernah kompromi. Ia tetap berputar meski aku mengingkari. Saatnya kami kembali. Pada lindungan rumah dari jahatnya waktu gelap. Malam hari.
Aku duduk di sofa. Melepas senyum ceria meski lelah menghampiri raga. Bersama Bang Sam memang membuatku lupa. Lupa bahwa tubuhku masih ringkih terkena angin jalanan. Angin yang enggan mengenal diriku yang merindu sebuah rasa. Cinta dan arti bahagia.
Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba aku menggigil kedinginan. Telapak kakiku serasa membeku seperti es batu. Super dingin. Badanku seketika berangsur meninggi suhunya. Panas menggelegak. Seperti bara membakar tungku. Kepalaku pusing. Aku meriang lagi.
Bibirku bergetar. Sekujur tubuhku gemetar. Gigiku bergelatukan mencetar.
''Vivo ... kamu kenapa?'' pekik Bang Sam ketika ia menyadari kondisiku. Dengan gesit ia memeriksa tubuhku. Dan rasa cemas pun langsung menghinggapi dirinya.
''Ya, Tuhan ... kamu demam lagi, Vo!'' Buru-buru Bang Sam menggendong tubuhku dan membawanya masuk ke kamarku.

Di ruang ini Bang Sam langsung membaringkan tubuhku dan membungkusnya dengan selimut yang paling tebal di rumah ini. Namun setebal apa pun kain selimut itu tak mampu menghalau serangan dingin di sekujur tubuhku. Aku tetap menggigil meski suhu tubuhku di atas normal. Aneh.
''Vivo ... apa yang kau rasakan, Nak?'' Bang Sam panik tak terkira. Sambil memperhatikan gerak tubuhku yang gelisah tak tenang. Seperti cacing kepanasan.
''Badanmu panas sekali, Vo ... saya harus bagaimana?'' Wajah Bang Sam mengguratkan rasa kecemasan yang begitu dalam. Tak pernah aku melihat mimik wajahnya dalam kegamangan yang seperti ini. Ia seolah takut akan kehilangan diriku. Merasa gagal untuk menjagaku.
Aku tak bergeming. Karena aku merasakan tubuhku semakin memanas seperti terpanggang.
''Harusnya saya tidak membawamu jalan-jalan.''
Aku diam. Menikmati tubuhku yang seperti terbakar.
''Maafkan saya, Vo ... gara-gara saya kau jadi begini.'' Tak kusangka mata Bang Sam berkaca-kaca.
Dalam rasa kekalutan itu ia mengambil sebaskom air dan selembar handuk. Kemudian tanpa berpikir panjang, ia langsung mengompresku. Meletakan handuk basah di keningku. Mulutnya komat-kamit dengan bahasa yang tak jelas. Mungkin ia berdoa, mengharap pada Tuhan untuk kesembuhanku.
Atas ketelatenan dan kesabaran Bang Sam dalam teknik pengompresan akhirnya panas tubuhku beransur-ansur menurun. Perlahan-lahan suhu tubuh ini menduduki garis normal. Hingga akhirnya aku dapat tertidur dengan tenang. Tiada gelisah atau pun keresahan lagi. Dan kurasa Bang Sam pun dapat bernapas dengan lega tanpa kecemasan.
Malam terus bergulir. Menenggelamkan kenangan-kenangan yang telah terukir. Menidurkan otak-otak yang banyak berpikir. Mengistirahatkan tubuh dari aktivitas yang terlampir. Tanpa mangkir, malam pun meniupkan angin yang semilir. Angin dingin. Angin jahat seperti Mak Lampir. Karena hembusannya melipir, hingga membangunkan aku dari tidur suwir-suwir.
Sentilan angin malam itu membuatku terjaga. Membuka kedua mata bersamaan dengan tubuh yang bergidik manja. Merinding. Karena sentuhan sang angin menebarkan hawa dingin seperti di kutub. Aku kembali menggigil. Sekujur tubuhku gemetaran hebat. Aku seperti dihujani ribuan batu es. Terlalu dingin. Amat dingin. Seakan aku hendak membeku.
''Vivo ... '' Bang Sam terjaga dari tidurannya. Aku tak tahu, apakah ia menjagaku hingga ia tertidur di situ. Di sampingku. Di tepi ranjang.
''Tuk ... Tuk ... Tuk.'' Hanya suara gigiku yang gemeretak.
''Kamu demam lagi?'' ucap Bang Sam cemas. Mimiknya menampakan rasa takut yang berlebihan.
''Diiii ... diingiiin ... Baaa.... Baang ....'' Suaraku terpotong-potong karena efek gemetar dari sekujur tubuh.
''Ya, Tuhan ... kamu kedinginan?'' Bang Sam buru-buru menambahkan kain selimut ke sekujur tubuhku. Namun sebanyak apa pun dan setebal apa pun kain selimut-selimut itu tak mampu menghalau rasa dingin yang menyerangku. Aku masih saja dilanda rasa dingin yang kian menjadi-jadi.
Bang Sam panik. Pikirannya kacau. Dirinya putus asa. Merasa sangat bersalah. Dia bingung dan tak tahu harus berbuat apa lagi untuk membantuku mengusir rasa dingin yang semakin mencengkram tulang.
Di tengah rasa kalut dan kebimbangan itu. Tiba-tiba Bang Sam membuka hampir seluruh pakaiannya. Dia hanya menyisahkan celana dalamnya untuk menutupi organ vitalnya. Kemudian dengan sigap ia menelusup ke dalam selimut yang kukenakan dan langsung memelukku. Erat. Sangat erat. Terlalu erat. Seperti pada saat ia memelukku di gubuk kemarin. Dan akibat pelukannya ini, aku mendapatkan energi panas yang terpancar dari tubuh Bang Sam. Energi panas itu terus menjalar ke sekujur tubuhku hingga perlahan-lahan namun pasti mengikis sedikit demi sedikit hawa dingin yang menyelimuti tubuhku. Hingga akhirnya kehangatan pun tercipta. Rasa hangat yang sebegitu nyamannya. Kenyamanan yang tak dapat ku gambarkan dengan kata-kata. Rasa nyaman yang mampu meninabobokan. Menghipnotisku dalam dekapkan yang tak tergantikan.

Dan karena kenyamanan ini pula, aku dapat tertidur kembali dengan pulas. Bermimpi indah seperti berada di alam surga. Penuh cahaya kedamaian, tanpa rasa waswas.