webnovel

Lima

"Ah kita memang sial O."

"Ahaha iyanih... eh eh, tuh dia kesini nyamperin kita" kata Leo ketika Yoga berjalan mendekat ke arah kami berdua.

..............................

"Hai, aku Steve, senang berkenalan denganmu." Sapa seorang laki-laki berwajah tampan itu, aku terdiam sebentar memperhatikannya dari ujung kakinya sampai aku menyadari ada tangannya yang sedang menunggu untuk kujabat balik.

Hari ini ayah mengajakku berkunjung ke beberapa rumah temannya yang bekerja di paris juga. Lucu sekali, perumahan ini sudah seperti sebuah maze untuk para "indonesian runner" (Yang kumaksud seperti pada film Maze Runner, kalian sudah pernah melihatnya bukan?). Mayoritas orang-orang nusantara semua berlabuh di komplek ini. Bukannya rasis, tapi mungkin memang memiliki budaya yang sama membuat kami lebih nyaman untuk tinggal berdekatan.

Steve adalah anak dari konglomerat paling ternama di komunitas. Aku bisa mengetahuinya dari isi taman dan rumahnya. Bukan bunga, atau sekedar kolam ikan. Sebuah air mancur yang indah menghiasi pusat halaman istana ini. Gazebo-Gazebo kokoh turut menghiasi taman dengan jalan setapak bercorak bebatuan tersebut. Sesekali, dua atau tiga kuda menghampiri dan menyruput air segar itu, hmmm haus aku melihatnya.

"Hans, kau ingin berkeliling?" tanya Steve ramah, tapi aku tak mungkin memisahkan diri dari rombongan di kota baru dengan orang baru ini, bisa saja dia mempunyai kepribadian ganda dan berubah menjadi seorang psikopat atau seorang warewolf nanti, hiii seram pikirku. Jadi aku menolaknya dengan halus, dan dia juga tak tersinggung. Satu hal yang paling kubenci saat menemani orang tua bertamu adalah menunggu kapan mereka selesai. Itu yang kurasakan. Tapi ya mungkin itu bisa terobati karena mataku dimanjakan dengan keindahan rumah ini. Kalian pasti akan berpikir kalau mereka adalah keluarga kerajaan kalau dilihat dari rumahnya.

Aku menyikut tangan ibuku. Memberinya kode. Dan untungnya ibuku mengerti. Ia tau anaknya ini sudah tidak betah berlama-lama disini. Pesanku ia sampaikan ke Ayah. Dan tak lama kemudian kami pamit dari rumah Steve, berangkat menuju rumah-rumah lainnya. Hhhh apa ini yang dilakukan oleh semua orang yang baru saja pindah? Ini melelahkan dan membosankan.

..............................

"Hidupkan lagi mimpi-mimpi

(Cinta-Cinta) cita-cita

Yang lama ku pendam sendiri

Berdua ku bisa percaya

Ku bahagia kau telah terlahir di dunia

Dan kau ada diantara milyaran manusia

Dan ku bisa dengan radarku

Menemukanmu"

Perahu Kertas ~ Maudy Ayunda, tidak ada hubungannya sih sama cerita ini. Tapi baru saja ada bidadari yang menyanyikanku lagu ini dan membuatku semangat menulis lagi. Kalau nanti kamu baca, inget-inget ya kapan kamu nyanyiin lagu ini. Oke Lanjuuut! xD

..............................

"Ya kita ingin ke rumah siapa sekarang?" aku sama sekali tidak peduli, hanya Rin yang peduli untuk menanyakan itu. Pikiran dan hatiku belum menyatu dengan tanah kota ini, padahal awalnya aku sudah bertekad besar untuk menahan homesickku, tapi aku gagal.

"Kita mau ke rumah sepuh nih ahaha, biasanya orang-orang kita yang rumahnya berdekatan suka bikin arisan gitu, ya tradisi orang kita gitulah. nah kita mau ke rumah ketuanya, yang ramah ya kalian."

"Ohh iya siap yah." kata Rin

"Hans?" tegur ayahku untuk menyadarkanku.

"Oh..(aku tersadar dari lamunanku) iya pa tenang aja.."

Kukira keuarga Steve tadilah yang bisa disebut ketua. Meski rumah ini tidak semegah rumah steve, harus kukatakan aku merasakan aura yang beda dari rumah ini. nyaman. Cukup aneh, ini bertolak belakang dengan hukum "Semakin mewah semakin nyaman."

..............................

Tok... Tok...

"Who's there?"

"Hans."

"Hans Who?"

Mungkin saat aku besar nanti, dan pasti aku melakukan seperti apa yang sedang Ayahku lakukan ini, berkeliling ke semua rumah tetanggaku. Lelucon itu akan terucap di setiap pintu yang kujajaki.

..............................

Baru kulihat dari sisi luar pagar saja, sisi rajin dari keluarga ini sudah terlihat. Kami tidak perlu mengetuk pintu untuk memberitahu mereka ada tamu yang ingin masuk ke kediamannya. Pasangan suami istri itu sedang melakukan perawatan kebun bersama, sepertinya asik berkebun bersama seeorang yang kusuka nantinya. Melakukan sesuatu hal untuk alam yang kucintai dengan orang yang kucintai juga Harmonis.

Mereka berdua langsung mempersilahkan kami masuk setelah sebelumnya melepas sarung tangan berkebunnya lalu mencuci kedua tangannya.

"Anggap saja rumah sendiri pak Rafi."

"Ahaha iya pak nanti malam saya tidur disini ya."

"Silahkan-silahkan, servis khusus deh buat pendatang baru jauh-jauh dari jakarta kan."

"Ah bisa aja Pak."

Satu lagi, hal yang tidak kusuka dari sebuah perkenalan adalah awal-awal yang penuh kecanggungan dan basa-basi ini. Biasanya aku tidak akan memperhatikan apa yang mereka ucapkan seperti di rumah Steve tadi. Aku hanya berharap bisa cepat pulang atau punya kesempatan yang lebih mendukung untuk membuat perkenalan itu berjalan lancar. Tapi di rumah ini, aku seperti tidak bisa kehilangan perhatianku. Aku benar-benar merasa seperti di rumahku sendiri. Tapi aku tidak mampu untuk mengingat apa yang familiar dari rumah ini. Apakah susunan barang di rumah ini mirip dengan salah satu rumah temanku? Tidak. Atau sofa yang aku duduki ini yang telah familiar rasanya kududuki? Tidak juga.

"Ini silahkan diminum tehnya..." tutur seorang wanita penguasa rumah ini, aku pikir dia ramah. Tapi tunggu dulu. Aku memperhatikan wajahnya benar-benar.

Aku tidak seperti yang kalian kira. Aku bukan mengharapkan dia seorang pedofil, bukan. Hanya saja...

Hmmm.... Ibu ini... ah! Wanita di foto itu!

Aku baru ingat, garis wajah ibu ini mengingatkanku akan wanita di foto misterius itu. Benar-benar mirip. Aku mencoba memalingkan pandanganku lalu menatapnya lagi, dan dia memang mengingatkanku pada foto itu lagi. Aku mencoba berpikir logis, tapi satu-satunya alasan yang logis adalah dia adalah ibu dari wanita di foto itu. Tapi aku tidak melihat adanya anak perempuan di keluarga ini. semenit kemudian.

"Maaa!! Pa!! aku pulang!!"

Dari pintu depan terdengar suara seseorang masuk ke rumah ini. Ini pasti dia, pikirku. Aku menunggunya dengan sabar. Kukira anak itu akan menjadi wanita yang kuharapkan, ternyata tidak. Ya dia memang seorang wanita, tapi ia bukanlah anak SMA seumuranku seperti yang ada dalam foto. Ia terlihat lelah sehabis kerja, menatapku dan tersenyum manis, sama seperti senyum yang selalu kubuat untuk menyambut setiap tamu yang datang ke rumahku, lalu pergi ke kamarnya. Hanya formalitas.

Kamu tahu tatapan yang dibuat juri ajang pencarian bakat ternama jika melihat ada peserta yang menurut mereka aneh? Mengrenyitkan dahi, menaikan alis sebelah, dan menyempitkan bibir. Ya itulah pandangan yang sedang kubuat untuk menatap Ibu ini lalu memutar-mutarkan pandanganku, mencari setidaknya sebuah foto anggota keluarga mereka. Aku masih yakin kalau gadis itu salah satu dari mereka. Meski aku tau bahkan kita mempunyai 7 kembaran di seluruh pen juru dunia. Untung saja keberadaan ayah dan mama membuat semua orang tidak menyadari keberadaan diriku dan tatapanku ini. Setelah sadar dari renunganku, aku melakukan beberapa gerakan olahraga alis dan muka untuk menenangkan otot-otot wajahku. Dan sepertinya apa yang kulakukan itu membuat ayah bertanya-tanya tentang apa yang kulakukan. Aku hanya tersenyum dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Sepertinya ayah dan mama tidak benar-benar peduli dengan foto misterius itu sehingga tidak menyadari apa yang kusadari.

Setelah beberapa lama berbincang. Kami pun akhirnya pamit dan memutuskan untuk pergi ke pusat pembelanjaan di kota ini. Di jalan aku berusaha mengalihkan pikiranku dari hal-hal aneh tadi. Aku mencari-cari apa yang mungkin menarik bagiku. Tapi tak ada yang lebih menyenangkan selain berburu Pokemon di kota baru ini. Aku sudah bosan bertemu Doduo dan Weedle di sepanjang jalan di Jakarta. Setidaknya aku bisa mengumpulkan lebih banyak tipe pokemon disini karena aku bisa menemukan pokestop yang sedang diLure hampir di setiap persimpangan.

Melihat banyak pemandangan yang mungkin akan dianggap indah oleh teman-temanku di jakarta, aku iseng-iseng membuat Live Streaming di periscope. Dengan gaya ala-ala Vloger Youtube aku melakukan Daily Vlog lewat kamera handphone ku.

Aku baru saja Live selama 5 menit, komentar-komentar sudah bertebaran.

"Oy Tumben on Periscope."

"Pamer nih ya yang lagi di paris."

"Eiffel dong Eiffel, jangan pasar terus!"

Ahaha aku hanya merespon teman-temanku dengan tawa dan makin pamer dengan mengclose up makanan-makanan yang ku beli, promo-promo barang yang jadi lebih murah disini, dan sesekali aku pick a random girl untuk say Hi! di live streamingku. Ya ini salah satu keuntungan untukku. Aku jadi bisa meningkatkan Hitzmeterku di kalangan teman-temanku di Indonesia ahaha. Ya... walaupun aku juga tidak akan terlalu memanfaatkannya, karena aku cuma anak pendiam yang lebih menyukai kesunyian. Dan untuk masalah memperbanyak teman, aku juga tidak pandai dalam bergaul, aku hanya ramah. Ini memang murni hanya iseng karena HomeSick. Aku rindu Indonesia. Aku ingin pulang rasanya setiap aku merasakan perasaan ini.

..............................

Hooaaaammm... Tepat pukul 9 malam kami baru sampai di rumah. Lelah sekali hari pertamaku di kota ini. Tetapi semuanya tentu terbayar dengan suguhan-suguhan manis yang kudapat tadi. makanannya yang lezat dan pemandangannya yang indah, oiya kalian harus melihat senja dan sunset disini, sangat sangat indah. Melihat bola merah berapi-api itu tenggelam meluncu kebawah tanah segaris dengan menara Eiffel.

Aku meletakannya di meja setelah selesai menuliskan beberapa patah kata di diaryku. Aku memang mempunyai kebiasaan yang bertolak belakang di pandangan orang-orang. Seorang anak yang suka olahraga dan mengakhiri harinya dengan menulis diary sebelum memejamkan mata. Tapi selagi ini tidak merugikan mereka, aku tidak peduli dengan itu, yang penting hatiku senang. Keegoisan dalam diriku memang sangat besar jika kau tau. Baiklah, selamat malam!

..............................

Chapitre suivant