webnovel

BAB 86. NYI ROMPAH

"Siapa dia?" tanyaku kepada Aryo.

"Dia adalah Nyi Rompah."

Wanita itu tetap tertunduk tanpa bergerak sedikitpun seakan tidak sadarkan diri. Tangannya terikat di kursi. Begitu juga dengan kakinya.

"Apakah ini tidak terlalu kejam untuk wanita setua itu?" tanyaku ragu-ragu, melihat seorang renta terikat tak berdaya.

"Apakah kau tidak mengenalinya?" tanya Aryo kembali.

Seorang pengawal Aryo mendekati wanita tua dan mencoba menyibak rambut lusuh yang menutupi wajahnya.

"Ini..."

Aku menggeleng.

Wanita tua itu mengangkat wajahnya. Matanya yang terpejam terbuka pelahan.

"Noni."

Suaranya serak, seakan tenggorokannya kering dan sudah lama tidak berbicara.

"Kau akhirnya bicara!" bentak kepala prajurit yang masuk bersama kita.

Aryo mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat agar kepala prajurit itu diam.

Aku mengamati wajah itu. Aku tidak ingat dimana aku pernah bertemu dengannya.

Aku tidak mengenalnya.

"Aku tidak tahu siapa dia." kataku terus terang.

"Dia adalah dukun yang sudah membangunkan jasadmu." jelas Aryo.

Benarkah ini dukun yang telah kucari-cari?

"Apakah ini benar-benar dia?" tanyaku ragu-ragu "Lalu kenapa dia harus diikat seperti ini?"

Dia menatapku tajam, sebelum akhirnya kembali tertunduk.

"Hei! Kalian!" seruku "Tolonglah dia. Dia sepertinya sudah sangat tua dan tidak berdaya."

"Dia sangat licin, Nyonya." jawab kepala prajurit itu. "Dia berkali-kali kabur. Jika sudah demikian sangat sulit untuk menangkapnya." jelasnya. "Bahkan untuk pelariannya yang terakhir, seorang prajurit kami telah tewas terjatuh kedalam jurang saat mencoba menangkapnya."

Sungguh tak terduga. Seorang wanita renta dengan tubuh yang tampak lemah, bahkan bisa menyulitkan seorang prajurit.

"Nyi?" panggilku. "Nyi bisa dengar suaraku?"

Dia mengangkat wajahnya dan menyeringai kepadaku. Matanya menyipit seakan melihat sesuatu yang buruk.

"Apa kau tahu siapa aku?"

Dia menjawab dengan menganggukan kepalanya

"Lalu… Apakah kau tahu bagaimana cara mengembalikanku?"

Dia menggelengkan kepalanya.

Aku berdecak kesal. Sepertinya percuma saja aku mencari wanita ini. Dia sudah mengacaukan hidupku.

"Lalu.."

Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku tiba-tiba dia menyela, dengan suaranya yang parau itu.

"Beri aku air!" pintanya susah payah dengan suara seraknya. "Tenggorokanku kering."

"Beri dia minum!" perintahku.

Sekalipun mungkin dia tidak tahu cara mengembalikanku, tapi mungkin ada hal berguna yang bisa aku dapatkan.

Kepala prajurit melambaikan tangannya kepada seseorang yang menunggu didepan sel. Tak lama kemudian dia membawa tempat air dari tanah liat, yang mereka sebut kendi, kedalam sel.

"Ini, Tuan."

"Beri dia minum!" perintah kepala prajurit itu kepada laki-laki si pembawa kendi.

Laki-laki itu menengadahkan wajah wanita tua itu dengan kasar dan menuang air kendi itu kedalam mulutnya. Air minum itu membasahi pakaiannya. Untung saja dia tidak tersedak diperlakukan seperti itu.

Lalu aku mendekatinya.

"Lalu apakah kau yakin aku..."

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba dia menyemburkan air dimulutnya ke wajahku.

Aku berteriak terkejut.

Aryo dengan reflek segera menampar wanita itu dengan cukup keras.

"Wanita laknat!" ucapnya marah.

"Cukup Aryo." kataku menenangkannya.

Dia kembali menyeringai kepadaku. Rupanya Aryo telah telah menamparnya sangat keras, ada darah di sudut bibirnya.

"Apa yang kau lakukan!?" bentak Aryo, "Apa kau ingin mati sekarang?"

Aryo menghunuskan goloknya dan Menempelkannya di leher Nyi Rompah.

Tapi tidak ada sedikitpun wajah takut ataupun menyesal. Wanita itu terus bergumam tidak jelas dengan mata tetap menatapku. Bahasa yang sama sekali tidak aku pahami. Dan penterjemah yang berada di sebelahku tidak pula membantu.

"Apa yang dia katakan?"

"Maaf, Mevrow, saya tidak jelas juga."

"Minta dia untuk berbicara lagi dengan pelahan!" perintah Aryo.

Aryo kembali berdiri disebelahku. Wajahnya tidak lagi tegang. Dan terlebih, dia tidak lagi menaruh goloknya di leher wanita itu. Wajah keriputnya dimiringkan seakan dia mencari misteri diriku yang masih tersembunyi.

Kenapa dia melakukannya?

"Saya hanya ingin mengusir aura hitam disekitarnya." katanya dengan suara lebih jelas daripada dengungan sebelumnya.

"Apa?" tanyaku bingung

Aku masih belum paham maksudnya.

"Apa maksudmu?!" tanya pengawal Aryo dalam bahasa yang tidak kumengerti. "Kau pikir kau siapa berani-beraninya melakukan hal kurang ajar seperti itu!" bentaknya.

Dia hanya diam memandang Aryo dan aku.

"Sepertinya dia hanya mau bicara dengan Ndoro dan Den Ayu, Ndoro." kata pengawal itu kepada Aryo.

"Sepertinya begitu. Selama ini dia sama sekali tidak berbicara. Kita sudah mencoba berbagai cara. Tapi dia hanya diam. Baru kali ini dia mau bicara." jelas Kepala prajurit kepada Aryo.

Aryo mengangkat sebelah tangannya memberi tanda agar mengawalnya dan yang lain mundur. Jadi di sel itu hanya menyisakan kita bertiga, Aryo, Nyi Rompah dan diriku.

"Apa maksudmu, Nyi?!" tanya Aryo

"Kau.. Kau pria yang baik dengan takdir yang buruk." katanya dalam bahasa Jawa, lalu tertawa terbahak.

Tapi sejenak kemudian tawanya sirna. Sorot matanya bagiku tampak menakutkan.

"Banyak yang menginginkan kematiannya." ucapnya sambil mengangkat telunjuknya kearahku.

"Aku tahu…" timpal Aryo lemah, sambil menunduk seakan dia telah melakukan suatu dosa.

Aku sungguh tidak memahami percakapan mereka.

Kali ini Aryo dicerca oleh nenek tua itu.

"Aku sudah berusaha, tapi… "

"Aku tahu." sela Nyi Rompah sambil menyeringai. "Kau sudah banyak menolong wanitamu. Bahkan kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri. Kau bodoh."

Aku menggigit bibirku. Aku benar-benar tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa Aryo tampak bersalah. Ada apa ini?

"Apa maksudnya, Aryo?" tanyaku tidak sabar.

"Kau...terikat dengan dia." ucapnya. "Jejak waktu akan akan membawa kalian melampaui takdir."

"Nyi..aku.."

Sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, dia begitu saja menyelaku dengan menggunakan Bahasa Belanda. "Noni sendiri. Noni selalu sendiri."

Dia kembali menyeringai.

Apa dia sedang mengolokku? Ya, memang aku selalu sendiri. Orang tuaku meninggalkanku disaat usiaku masih belia, dan nenekku, yang telah menjadi satu-satunya orang yang kusayangi pun, pada akhirnya harus pergi. Bahkan setelah semua itu, sepertinya takdir masih terus ingin bermain denganku. Disinipun, Papa dan Dhayu harus pergi. Lalu apa?

Apakah Aryo akan pergi juga? Tidak! Aku tidak bisa menerima itu!

Aku mulai gemetar. Aku ketakutan dengan pikiranku. Aku takut aku akan kehilangan Aryo juga.

Melihatku tampak berubah, dia kemudian berkata lagi, "Tapi itu semua akan berubah. Ada saatnya sisi roda itu berada diatas."

Aku masih belum paham. Tapi sepertinya wanita itu sudah enggan untuk berbicara lebih jauh. Dia tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku berikutnya. Dia benar-benar mengabaikanku, hingga aku merasa sangat kesal.

Dia terkekeh. Wajahnya semakin tampak mengerikan saat dia tertawa. Deretan giginya yang tampak hitam-hitam, dimana sebagian telah tanggal, menambah buruk penampilannya.

"Aku sudah sangat lemah. Tadi sudah sangat menguras tenagaku. Kalian keluarlah! Aku perlu istirahat."

Kemudian dia kembali memejamkan matanya lalu menundukkan wajahnya seperti sebelumnya.

Aryo menarikku keluar dari sel itu dan membantuku mencuci wajahku.

"Apa kau bisa menjelaskannya kepadaku?" tanyaku kepada Aryo.

Aryo terdiam memandangku.

"Duduklah disini." ujarnya sambil menepuk balai-balai bambu. "Aku akan menjelaskannya kepadamu."

Chapitre suivant