webnovel

BAB 81. KEMBALI KE PONDOK

Bagaimana mungkin aku tidak cemas, jika orang yang membawa pesan saja bertampang seperti baru saja keluar dari ruang penyiksaan?

"Apa yang terjadi?!" sentakku kepada Suwoto.

Sesaat dia tampak terkejut, tapi kemudian kembali tenang dan berkata, "Raden baik-baik saja, Noni. Hanya..."

"Hanya apa?"

"Noni.."

Seorang wanita berpakaian seperti pendekar wanita, muncul dari balik tubuh Suwoto. Tubuhnya cukup ramping dengan tinggi yang hampir sama denganku. Artinya untuk wanita inlander dia cukup tinggi.

Aku mengamatinya dengan wajah penuh tanda tanya.

"Mulai sekarang dia akan mengawal Noni."

Apakah aku membutuhkan itu? Tapi pasti karena situasi yang tidak aman, maka Aryo menyiapkan ini semua.

Aku hanya mengangguk sambil mempersilahkan kedua orang itu masuk.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanyaku kepada Suwoto, "Kenapa tampangmu berantakan sekali."

"Saya baru saja terkena jebakan hewan buas di hutan, Noni." jawabnya malu-malu.

Oh, jadi seperti itu.

"Jika Diyah tidak menolong saya, mungkin saya tidak akan bisa sampai sini."

Jadi namanya Diyah. Baiklah akan kuingat.

"Apa dia akan melatihku... Bela diri?" Aku memperagakan tangan seperti saat melihat orang-orang berlatih di rumah Aryo dulu.

"Tidak Noni. Saya tidak berniat melatih silat siapapun."

Baiklah. Dia ternyata bukan wanita yang ramah.

"Noni, saya permisi dulu." ujar Suwoto

"Tunggu!" seruku seraya menarik lengan Suwoto. Dan dia tampak meringis kesakitan. Aku lupa lengannya terluka.

"Aaa... Maaf.. Maaf.." ucapku kepadanya.

Dia meringis memandangku.

"Apa perlu kubantu untuk mengobati lukamu?" tanyaku menawarkan bantuan kepadanya.

"Tidak... Tidak, Noni."

Aku hanya menawarkannya untuk membantunya. Kenapa dia berwajah ketakutan seperti itu?

"Tsk.." Aku berdecak kesal.

Diyah tampak menahan tawa.

"Saya permisi dulu, Noni." pamit Suwoto meninggalkan Diyah berdua denganku di ruangan itu.

Aku mencoba mencari tahu keadaan Aryo melalui Diyah.

Ternyata dia telah lama menjadi orang kepercayaan Aryo. Tapi sayang dia selalu menjawab setiap pertanyaanku dengan jawaban singkat. Aksen Belanda-nya pun cukup baik. Sepertinya dia menerima pendidikan dengan baik. Tidak seperti kebanyakan wanita inlander yang tidak menerima pendidikan yang layak.

Dia mengenal keluarga Aryo dengan baik karena sejak berumur lima tahun, dia sudah berada di rumah keluarga Aryo.

"Ndoro sangat pencemburu." jawabnya atas pertanyaanku. "Suwoto tidak berani lengannya dirawat Noni. Jika Raden Aryo sampai tahu, dia malah bisa kehilangan lengannya. Raden akan sangat marah jika ada pria yang menyentuh ataupun disentuh oleh Noni."

Selama ini Aryo selalu menyusupkan mata-mata dimanapun keberadaanku. Dan mereka akan melaporkan setiap kejadian kepada Aryo. Jadi selama ini dia tahu bagaimana Daniel memperlakukanku. Dia juga tahu beberapa kali Daniel berada di kamar yang sama denganku. Dan Aryo hampir kalap saat mengetahui hal itu. Untungnya keluarganya berhasil menenangkannya, sehingga tidak sampai menyerang kediaman Daniel.

Jadi karena hal-hal itu, ibunya menyebutku penyihir wanita.

Ternyata banyak hal yang aku tidak tahu.

Dihari ketiga Aryo kembali. Walaupun pakaiannya tampak lusuh, tapi wajahnya tampak segar.

"Aryo, bagaimana keadaannya?" tanyaku.

"Baik."

Itu bukan jawaban yang kuinginkan.

Aku berdecak kesal.

"Kenapa?" tanyanya.

"Apa kau juga tidak mempercayaiku?" tanyaku kesal. "Aku sungguh tidak ingin menjadi bebanmu. Aku ingin setidaknya berguna untukmu."

Dia tersenyum seperti biasanya. Senyuman yang mematikan. Yang akan membungkam setiap kesalku.

"Margaret, sungguh pasukan dalam keadaan baik. Strategi gerilya yang kami lakukan cukup merepotkan pasukan musuh."

Dia tampak ragu-ragu dengan kata "musuh"

"Tidak apa, Aryo. Aku bisa memahami itu. Kumpeni memang musuh kalian..."

"Maafkan aku, Margaret."

"Untuk apa?"

Malam itu kami harus meninggalkan kamp itu. Hanya dengan Aryo dan Diyah, kami menyusuri hutan, hingga sampai ke tempat yang sangat kukenal. Pondok cinta kami.

"Kita kembali kesini?"

Bukankah ini terlalu dekat dengan bahaya?

Aryo melihat kebingunganku.

"Pasukan Daniel sudah menyisir tempat ini. Jadi harusnya sekarang tempat ini cukup aman."

Jadi seperti itu.

Aku mendengarkan Aryo memberi instruksi kepada Diyah tentang apa yang harus dilakukannya.

Diyah turun terlebih dahulu dari atas kuda. Dia memeriksa keadaan sekitar sebelum memberi tanda kepada Aryo bahwa situasinya aman. Kamipun membawa kuda kami ke arah pondok.

Pondok itu masih tampak sama. Sama seperti yang kuingat.

"Kita sementara akan berada disini."

Aku mengangguk.

Aryo memintaku beristirahat. Ya, aku merasa sangat lelah. Mungkin karena kondisiku yang sedang hamil, maka perjalanan sepanjang setengah hari terasa sangat melelahkan.

Padahal kami sudah beberapa kali beristirahat selama dalam perjalanan.

Aryo terlalu mengkhawatirkan kondisiku.

Hari sudah hampir pagi, saat aku naik ke tempat tidur yang sudah disiapkan.

Aryo melakukan sembahyang paginya, lalu kembali menemaniku.

"Aku akan berjaga." katanya sebelum beranjak.

Aku mencengkeram lengannya dan menariknya.

"Jangan kemana-mana. Temani aku."

Dia mengamati wajahku lalu kembali duduk disampingku.

"Perutmu semakin besar. Kau tak mungkin lagi mengikutiku. Apakah kau bersedia tinggal bersama ibuku?" tanyanya sambil mengusap keningku dengan lembut. "Aku mengkhawatirkanmu, Margaret."

"Aryo, apakah kau masih ingat tuan yang memeriksaku..."

"Hmmm.."

"Apa kau masih ingat apa yang kuceritakan kepadamu?"

Dia mengangguk.

"Kalau begitu ijinkan aku untuk tetap bersamamu."

Aku hanya tidak tahu kapan waktuku akan berakhir. Aku hanya ingin mengakhirinya bersamanya. Menatap wajah tampannya dan mengenangnya.

Matanya menatapku pedih.

"Aku berjanji tidak akan merepotkanmu."

Aku hanya ingin bersamamu.

Aryo tidak menjawab apapun. Dia berbaring di sebelahku dan menyurukkan kepalanya di tengkukku. Dipeluknya erat tubuhku.

"Bagaimana aku mempersiapkan kepergianmu, Margaret?" tanyanya lirih "Apakah tidak ada jalan?"

Hari sudah beranjak petang lagi saat Diyah membawa pesan.

"Raden, pasukan musuh sudah bergerak. Sebaiknya Raden segera memberi perintah."

Aryo hanya menjawab dengan anggukkan kepala.

"Apa yang kuminta sudah dipersiapkan?"

"Sudah, Raden."

"Baiklah. Jangan sampai ada kesalahan."

Ratih mengangguk dan memberi hormat kepada Aryo sebelum kemudian bergegas entah kemana.

Aryo memanggilku dan menarikku keluar pondok.

"Ayo ikut aku." katanya.

"Kemana?"

"Kau akan tahu nanti." jawabnya sambil tersenyum penuh misterius kearahku.

Chapitre suivant