webnovel

BAB 72. RAHASIA MARGARET

Jadi seperti itu.

Aku menelan ludah

Pak tua itupun mengatakan waktuku tidak lama lagi. Jadi sepertinya daya hidupku sudah habis.

Ada kengerian menjalar seluruh tubuhku

Aku tersenyum menatap Aryo. Paling tidak disaat-saat terakhir, aku menikmati waktu bersamanya.

"Aryo..."

"Aku sempat berpikir kau sudah meninggal, saat aku mengangkatmu dari sungai. Orang-orang hanya berteriak, tanpa ada yang berani turun." jelasnya.

"Dan kau menyelamatkan aku." selaku sambil tersenyum.

"Itu..."

Aku mendekatinya. Menempelkan bibirku padanya.

"Kau begitu nyata. Aku sampai mengabaikan aura aneh yang muncul dari tubuhmu."

"Kau merasakannya?"

"Sejak kita bertemu di pesta malam itu, aku merasakan kejanggalan itu. Tapi aku mengabaikannya. Aku hanya sempat berpikir ada semacam ada orang yang membenci ayahmu sehingga melakukan sihir kepadamu."

Karena bagiku kau bukan siapapun waktu itu, aku mengabaikannya. Banyak masyarakat yang masih menggunakan ilmu hitam dan guna-guna untuk menghancurkan seseorang."

Sekarang sudah tidak ada hal yang masuk akal bagiku.

"Aku sudah menceritakan padamu sebelumnya. Saat kita disini untuk yang pertama kali." kataku. "Apakah kau masih mengingatnya?"

Aryo hanya memandangku. Matanya yang hitam dan tajam menatapku redup penuh kesuraman. Direngkuhnya tubuhku.

"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Sedang kau begitu nyata. Aku bisa memelukmu, mencium bibirmu, merasakan aromamu. Bagaimana mungkin ada hal semacam ini?!"

Dirapatkannya pelukannya seakan khawatir aku tiba-tiba menghilang.

"Aku... Aku."

Bagaimana aku menjelaskannya? Tentang seorang dukun wanita yang memperangkapku dalam tubuh gadis van Jurrien ini. Bagaimana aku harus menyampaikan ke Aryo bahwa waktuku tidak akan lama?

"Aku khawatir kau akan menghilang begitu saja dariku.." bisiknya di telingaku. "Apa yang bisa kulakukan agar kau tetap bersamaku?"

Suaranya penuh kesedihan. Dadaku terasa sesak mendengarnya tampak menyedihkan. Hatiku sakit untuknya.

Kurengkuh wajahnya, kusatukan bibir kami. Kusesap indahnya cintaku. Aryo menciumku dengan penuh emosi. Ciuman yang dalam yang membuat kakiku terasa tidak lagi menempel di tanah. Dia membuatku melayang. Seakan isi kepalaku sudah berhamburan entah kemana. Semua terasa begitu ringan. Aku hanya mampu merasa bibir itu semakin mendesak. Lidah kami saling terpaut. Ada rasa takut sesuatu akan memisahkan kita. Didorongnya tubuhku, pelan ke arah pembaringan.

"Aryo lukamu..." saat tubuhku terperangkap dibawah tubuhnya. Bibirnya menyusuri tubuhku.

Kenikmatan ini begitu menyedihkan.

Aryo masih terluka. Apakah ini akan baik-baik saja, jika kita bercinta?

"Aryo... Aaah..." Aku gagal memperingatkan tentang lukanya.

Tubuh kami sudah menyatu. Kami melagukan irama yang sama. Sepenuh hati kami.

Aku mencintai pria ini.

Aku tidak sengaja menggores luka di punggungnya. Dia mendesis menahan perih.

"Maaf...."

Aku tidak dapat meneruskan kata-kataku, bibirku dibungkam dengan bibirnya.

"Apa kau ingin segera mati?" sergahku saat memeriksa lukanya. "Kau masih harus masuk kedalam sungai dengan luka seperti ini?!" tanyaku kesal.

Kenapa kita harus selalu mandi setelah bercinta?

Aryo tiba-tiba sudah mengangkat tubuhku dan membawaku ke tepi sungai.

"Ingat lukamu!"

Dia malah mencium pipiku.

"Ayo..." ajaknya.

Lukanya seperti bukan apa-apa. Dengan nyaman, dia segera membasuh tubuhnya seperti ritual biasanya. Aku mengikutinya. Membaca kalimat yang terdengar seperti mantra. Aku tidak paham, tapi aku tetap melakukannya.

Aryo membuat api unggun malam itu. Dia bercerita tentang kemampuan pamannya dalam bidang pengobatan. Pamannya bahkan curiga bahwa aku bukan manusia. Pamannya curiga bahwa aku jin tingkat tinggi yang mampu menyerupai menusia atau menggunakan tubuh manusia.

Kenapa semakin tidak masuk akal?

"Aryo, dengarkan ceritaku!" perintahku kepadanya. "Dhayu bercerita kepadaku bagaimana aku hidup kembali."

Aku menceritakan tentang dukun wanita itu. Dan bagaimana aku gagal untuk mencarinya. Aku hanya bertemu dengan seorang pria tua yang mengenal wanita itu. Sepertinya pria itu juga memiliki kemampuan. Tapi tetap saja dia hanya mengatakan soal waktuku yang running out. Dia sama sekali tidak memberi solusi apapun. Dia bahkan tidak yakin aku bisa kembali ke duniaku dengan selamat.

Aryo mendengarkanku dengan seksama. Dulu dia berpikir tentang kata "kembali" yang sering kusampaikan adalah aku pulang ke Belanda. Tapi kini dia paham maksudku.

"Bahkan keluargamu menyebutku penyihir." tawaku satir.

Perasaanku tidak menentu. Ini mungkin yang dirasakan penderita kanker yang divonis usianya tidak akan lama lagi.

Kupandangi Aryo, lalu beralih ke tonjolan kecil di perutku.

Apakah aku masih punya waktu untuk melahirkannya?

Aku cemas. Aku takut waktuku sudah habis sebelum dia lahir. Aku takut dia tidak akan sempat lahir ke dunia ini.

Jika dulu aku khawatir rasa sakit seorang wanita yang melahirkan, kini perasaan itu sama sekali berubah. Aku ingin dia lahir dengan selamat, apapun jadinya diriku.

Jika saja metode bedah sudah dikenal, mungkin aku akan sedikit lega.

Sebelah tangan Aryo menggenggam tanganku, sambil sebelah lagi membenahi api unggun di depan kami.

Kami duduk dalam diam. Menikmati kebersamaan kami. Garis wajah Aryo yang tampan tampak berusaha menyembunyikan kegundahannya dengan tetap tersenyum kepadaku.

"Kau baik-baik saja, kah?"

Aku mengangguk.

"Apa kau tidak takut seandainya aku hantu atau jin atau apapun itu?" tanyaku kepadanya.

Aryo tergelak menatapku.

"Kau masih manusia Margaret." katanya. "Aku tahu itu. Hanya saja memang ada pengaruh ilmu hitam yang melingkupimu. Aku sudah mencoba memecahkan itu saat kita baru saja menikah dulu, tapi aku tidak berhasil. Aku diam karena tidak ingin membuatmu ketakutan. Tapi ternyata kita masing-masing sudah salah paham."

Ditariknya tubuhku dan direngkuhnya dalam pelukannya. Kurebahkan kepalaku didadanya.

"Apakah aku menyakitimu?" tanyaku saat aku teringat dadanya yang terluka.

Dia menggeleng dan merengkuhku lebih erat.

"Tidak Margaret. Luka ini bukan apa-apa." katanya meyakinkanku.

"Aryo, aku takut...."

"Margaret, istriku. Aku pun juga tidak memahami bagaimana kau ada disini. Tapi aku mencintaimu Margaret Rutger. Aku akan selalu mencari cara agar kau tetap bisa disini bersamaku."

Chapitre suivant