webnovel

BAB 63. HUBUNGANKU

"Berapa lama?"

"Aku pun tidak tahu. Kita hanya bisa berkehendak, tapi sang pemilik hiduplah yang menentukan." jelasnya.

"Aku punya hidupku sendiri." tegasku.

Dia hanya tersenyum kepadaku.

"Tapi kenyataannya semua diluar kuasamu."

Kata-katanya benar. Aku bahkan sekarang menjadi bimbang. Saat diberitahu bahwa waktuku akan berakhir, seperti seorang narapidana yang menunggu hukuman matinya.

Apakah aku bisa hidup kembali, bahkan dia tidak menjelaskan.

"Kau mempunyai takdirmu. Walaupun jalanmu berliku tapi dengan watakmu, kau akan menemukan jalanmu."

Aku terdiam mendengarkan semua kata-katanya. Aku mungkin cenderung agnostik sebelumnya. Aku hanya mempercayai logikaku. Ketika hidupku sudah tidak lagi berpijak pada logika, aku mulai mempercayai adanya kuasa yang mengendalikan hidupku.

"Sekarang kau ragu dengan dirimu."

Dia benar. Ada keraguan dihatiku. Ada perasaan berat meninggalkan apa yang kumulai disini.

Daniel memandangiku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ada ketakutan sekaligus kebingungan di tatapannya.

"Apa dia bilang kau akan mati?"

Pertanyaan itu kutahan karena aku khawatir jawabannya akan membuat suasana hatiku semakin buruk.

Mati?

Dulu kata-kata itu bukan apa-apa. Ada perasaan sedih dan kehilangan saat nenek meninggal. Tapi itu tidak lama. Tapi apa bisa semua itu seperti itu saja, saat aku meninggalkan Aryo. Bisakah aku membawa anak dalam kandunganku? Jika aku meninggalkannya, lalu dengan siapa dia?

Ada rasa sakit menyeruak dihatiku. Mungkin seperti ini perasaan setiap ibu, ketika dipisahkan dari anaknya. Karenanya aku tak pernah ingin mempunyai hubungan serius dan berkeluarga. Mempunyai anak adalah sesuatu yang tidak pernah terpikir olehku.

Daniel menarik tanganku dan menggenggamnya seakan aku dapat saja menghilang seawaktu-waktu. Dia mencintaiku. Aku dapat melihat dalam sorot matanya.

Tapi dia datang disaat aku sudah menambatkan hatiku kepada Aryo.

"Pak tua, apa yang bisa kaulakukan?"

"Wanita gila itu yang seharusnya bertanggung jawab. Bukan aku. Aku bahkan tidak tahu mantra apa yang dia gunakan. Tapi dia lari setelah melakukan kesalahan kepadamu."

Jadi tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu?

"Aku akan memberimu sesuatu. Mungkin ini akan bermanfaat menjaga ruh mu tetap utuh saat kembali. Karena kau bisa saja tidak mampu mencapai tubuhmu yang lama."

Kenapa pembicaraannya semakin mengerikan. Bahkan kembali pun aku belum tentu bisa mencapai tubuhku.

Ah, sial sekali!

Pak tua itu menyerahkan bungkusan kecil dari kain berwarna putih yang diikat dengan benang berwarna merah.

"Kau bisa kembali."

Dia mengusirku begitu saja?

"Apa dia mengusir kita?" tanya Daniel tidak senang.

Ya, dia merasa orang seperti pak tua itu tak pantas mengusir dirinya.

"Apa ada yang masih kau butuhkan dari orang tua ini?" tanyanya padaku.

Kenapa?

"Ayo kita kembali saja." kataku. "Aku capek."

Daniel mengiyakan. Dia segera membantuku berdiri, walau sungguh aku tidak membutuhkannya.

"Jika bukan karena dia kemungkinan kau butuhkan, mungkin sudah kupenggal kepalanya." kata Daniel, saat kita dalam perjalanan pulang.

Dibersihkannya tanganku yang bersentuhan dengan pak tua itu dengan saputangan kecil miliknya.

Lalu digenggamnya tanganku. Aku tidak menolaknya, maupun membalas genggamannya. Aku hanya membiarkannya.

"Apa benar kau harus pergi?"

Nada bicaranya seperti seorang yang sedang khawatir.

"Entahlah.."

Aku bimbang. Aku ingin pergi. Tapi juga takut harus pergi.

Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Harusnya aku tidak begitu bodoh mengikatkan diriku dengan segala hal disini, seandainya aku tahu aku harus pergi.

Aku dulu tidak pernah ingin menikah. Tapi disini aku menikahi dua pria sekaligus. Bahkan sekarang aku hamil.

Lalu aku harus pergi. Aku sendiri lagi. Seperti Margaret sebelumnya. Tidak terikat apapun.

Apakah hatiku mampu kehilangan Aryo? Anak ini?

Kugigit bibirku menahan tangisku.

"Margaret?"

Aku lupa bahwa Daniel sedari tadi memandangiku.

"Kau ingin menangis?" tanyanya dengan lembut. "Menangislah?" ucapnya sambil menarik kepalaku ke dadanya dan membiarkanku menangis dipelukannya.

"Apa kau merasa berat?" tanyanya lagi.

Aku semakin menangis.

"Aku mencintaimu. Tapi aku juga tidak bisa menyakitimu. Melihatmu seperti ini membuatku sakit." ungkapnya. "Sekalipun aku sangat menginginkanmu, pada akhirnya aku selalu menyerah."

Dielusnya rambutku. Dibenamkan bibirnya dirambutku.

"Margaret... Aku ingin sekali saja merasa dicintai olehmu... Bisakah?"

Aku menelan ludahku. Pikiranku ada di Aryo bukan pria yang sedang memelukku.

Dimana dia sekarang. Kapan dia akan menjemputku. Aku ingin saat-saat terakhirku ada bersamanya.

Sore itu Daniel membawaku kembali ke Surakarta. Aku akan memberitahu Aryo bahwa aku tidak di Batavia begitu ada kesempatan.

Daniel sudah begitu baik padaku. Aku tidak ingin memancing kemarahannya.

"Aku dengar tentang Pauliene." kataku padanya dalam perjalanan.

Dia tidak menjawab. Tapi hanya tersenyum kepadaku. Dimiringkan kepalanya untuk mencari sesuatu di raut mukaku.

"Aku akan sangat senang jika kau bertanya karena cemburu."

"Tidak... Bukan seperti itu."

Ya, aku tidak ingin Daniel salah paham denganku.

"Aku hanya dengar..."

"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Pauliene." sela Daniel "Aku mendekati dia untuk tahu siapa yang menyebarkan gosip buruk tentang dirimu."

Aku sudah salah paham. Apakah Daniel harus berbuat itu untukku?

"Kenapa?"

"Karena kau adalah istriku. Wanita tercantik di Hindia Timur."

Aku tersenyum. Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk melontarkan rayuan.

Aku mencebikkan bibirku.

"Sungguh. Kau boleh tanya semua pria di Batavia, bahwa Margaret van Jurrien adalah gadis tercantik yang pernah mereka lihat. Siapapun bisa jatuh cinta kepadamu. Apalagi inlander itu. Kau sudah termakan rayuannya."

Aryo? Justru aku yang sudah merayunya. Meluluhkan balok es itu. Aku dianggap sebagai penyihir jahat oleh keluarganya.

"Aryo tidak seperti itu." tukasku.

"Dia sudah mempunyai beberapa istri."

Itu benar. Aku bahkan istri ketiganya.

Perjalanan kali ini terasa lebih panjang. Daniel berkali-kali meminta rombongan untuk beristirahat. Dia benar-benar memperhatikan kondisiku. Kereta berjalan lambat agar tidak menyakitiku.

Aku sungguh merasa semakin tidak nyaman menerima semua kebaikannya.

Dia segera meminta pelayan menyiapkan air mandiku dan pelayan untuk memijat tubuhku setelah perjalanan panjang.

Dan membiarkanku beristirahat tanpa gangguan dimalam harinya.

Genduk ditugaskan untuk mengawasiku dan melayani semua kebutuhanku.

Aku tidak punya kesempatan untuk memberitahu Aryo tentang keberadaanku.

Hari berikutnya Papa mengunjungiku bersama Nyai mengikutinya dibelakangnya.

Dia tampak senang melihat hubunganku dengan Daniel membaik.

"Aku lihat keadaanmu cukup baik."

Aku hanya mengangguk. Daniel sama sekali tidak memberitahunya soal diriku kepada papa.

"Bibi Natalia tinggal di Batavia, karena masih ingin bertemu beberapa temannya di perkumpulan gereja."

Aku mengangguk.

Ya, dia memang mirip biarawati. Dan aku tidak terlalu mengenalnya.

"Aku sungguh ingin kamu bahagia, Margie." kata Papa dengan menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa bersalah dengan keadaanku.

"Aku ingin istirahat, Papa."

Aku tidak ingin banyak bicara. Ada banyak hal yang harus kupikirkan.

"Papa..." bisikku. "Apa aku bisa minta tolong Papa untuk memberitahu Aryo, bahwa aku disini."

"Untuk apa?!" Papa tampak marah. "Hubunganmu dengan Daniel sudah membaik. Lupakan inlander itu!"

Chapitre suivant