webnovel

Lima puluh sembilan

Ketika pagi menyambut, Freya tidak bisa menyembunyikan kantuknya. Jujur saja dia tidak bisa tidur nyenyak karena berada di tempat asing. Dimanapun dia berada, butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Bahkan saat dia pindah ke rumah keluarga Mayer dulu, dia membutuhkan waktu hampir seminggu untuk bisa beradaptasi. Itu membuat dirinya begadang, yang akhirnya baru bisa tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Berbeda denga Troy yang langsung tertidur pulas setelah merebahkan dirinya. Bahkan dengan entengnya troy melingkarkan lengannya memeluk freya. Entah itu disengaja atau tidak.

Agenda yang sudah disusunnya hari ini adalah ke kantor. Karena jadwal yang seharusnya dia menghadiri kelas siang dialihkan karena sang dosen berhalangan hadir. Freya memgalihkan kegiatannya untuk menyibukkan diri di kantor, sebisa mungkin tidak bertemu dengan Troy kecuali malam hari.

"Sarapan siap. Kamu mau makan dulu apa mandi dulu?" pertanyaan Troy menarik Freya dari lamunannya.

Rasa de javu kembali menyergap dirinya. Dulu dia yang selalu menanyakan pertanyaan itu kepada Troy setiap pagi. Dan kini, laki-laki itu yang bertanya kepada dirinya.

"Mandi dulu aja." jawab Freya sembari bangkit dari tempat tidur.

"Oke. Perlu aku siapkan airnya?"

"Nggak, aku bisa sendiri."

Jelas terasa canggung karen dia tidak biasa dilayani, bahkan oleh laki-laki yang konon masih menjadi suami.

Guyuran air dingin rasanya mampu mengembalikan kesadaran Freya. Biar bagaimanapun dia harus bisa mengendalikan dirinya dan bersikap biasa. Jangan sampai dia melakukan kesalahan.

Setelah berganti baju, Freya menatap dirinya di depan cermin yang ada di pojokan kamar. Berusaha melatih senyum terbaiknya untuk ditampilkan kepada orang-orang yang akan ditemuinya.

Di ruang makan Troy yang sudah mengenakan kemejanya tampak dengan sabar menunggu. Tampilannya yang segar dan rapi mengeluarkan pesona yang mungkin tidak dapat ditolak oleh siapapun. Termasuk Freya.

"Jus atau susu? Atau kopi?" pertanyaan itu langsung meluncur dari mulut Troy. Sepertinya dia terlalu bersemangat pagi ini.

"Jus aja." jawab Freya, karena dia melihat botol jus yang berada di meja makan.

Dengan perlahan Troy menuangkan jus kedalam gelas Freya dan menyodorkan sarapan yang sudah dibuatnya. Tak tahu harus bagaimana, Freya hanya menikmati sarapannya dalam keheningan.

"Hari ini acara kamu kemana?"

"Ke kantor." jawab Freya singkat.

Entahlah, Freya merasa percakapan mereka tidak berjalan lancar. Rasanya ada kecanggungan dan apapun itu namanya yang membuat dirinya tidak bisa berbincang dengan lepas. Padahal dalam hati, dia ingin bercerita banyak hal dan membahas banyak hal dengan suaminya itu. Tapi ada sesuatu yang menghalanginya untuk berbicara.

Ketika Freya melihat jam, waktu sudah hampir pukul delapan. Dia harus segera berangkat kalau tidak ingin terlambat. Karena biasanya kakaknya akan sampai di kantor sebelum jam 9 pagi. Dia bisa memanfaatkan waktu yang ada sebelum memulai pekerjaan dengan berbincang sebentar. Bagaimanapun, meskipun jarak mereka hanya 15 menit perjalanan dengan mobil, berpisah dengan kakak sendiri rasanya sepi. Seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

"Aku berangkat." kata Freya, sembari mengambil tas kerjanya.

"Aku antar." buru-buru Troy menyelesaikan sarapannya dan segera mengikuti Freya keluar. Padahal pemuda itu baru saja memulai sarapannya.

Rasanya Freya ingin berteriak kepada Troy bahwa dia tidak perlu bersikap semanis ini kepadanya. Ini justru akan membuat dia merasa semakin canggung dan tidak enak hati. Oke, mungkin dia nanti akan membicarakan ini dengan pemuda itu ketika mereka bertemu lagi. Dalam suasana hati yang baik tentunya.

Perjalanan menuju kantor tetap hening. Freya sengaja menyibukkan diri dengan mengutak-atik ponselnya agar terbebas dari kewajiban mengobrol. Dan sebenarnya memang Freya sibuk karena mempelajari materi meeting nanti siang dan juga beberapa pekerjaan yang mulai dibebankan kepadanya.

...

Setelah mengantar Fenita ke kantornya, Troy melanjutkan perjalanan ke kantornya sendiri. Dalam perjalanan itu dia memikirkan apa saja yang terjadi. Seolah mengevaluasi beberapa hal yang berjalan tidak semestinya. Karena nampaknya apa yang dia lakukan malah membuat Fenita semakin merasa canggung.

"Apa aku berlebihan ya?" pertanyaan itu terus berulang kali keluar dari mulutnya.

Bahkan ketika dia menyusuri jalan menuju ruangannya, pemikiran itu tidak bisa hilang dari pikirannya.

"Sir, anda sudah ditunggu untuk rapat." pemberitahuan dari Mr. Khan menjadi sambutan bagi Troy. Dengan sekali anggukan, Troy lalu memutar tubuhnya menuju ruang rapat.

Bekerja memang menjadi obat galau yang mujarab. Atau setidaknya itu yang dirasakan oleh Troy. Dulu saat dia kehilangan Belle, Troy melampiaskannya dengan bekerja. Tak kenal waktu dan tak kenal lelah. Saat dia harus menghadapi Fenita diawal mereka menikah, Troy juga menghindari istrinya dengan bekerja. Juga saat Fenita akhirnya menghilang dari hidupnya, dia juga membiarkan dirinya tenggelam dalam pekerjaan. Sekarang pun demikian.

Tetapi Troy tidak menghanyutkan diri dalam pekerjaan. Dia hanya mengalihkan pemikirannya sejenak agar bisa mencari solusi yang tepat untuk masalah hatinya.

Sayangnya, ketika jam kerjanya sudah berakhir, pikirannya tak kunjung jernih. Dia masih belum bisa mendapatkan jawaban atas apa yang menjadi ganjalan hatinya.

"Apa aku berlebihan? Apa aku melakukan kesalahan?"

Ah, bahkan pertanyaan yang berputar bertambah satu.

Dengan frustasi Troy mengacak rambutnya. Berusaha keras memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan, karena tentu saja suasana di rumah akan canggung. Tidak mungkin Troy memperlakukan Fenita dengan buruk, itu akan membuat dirinya tidak nyaman yang akhirnya akan memutuskan untuk pulang. Meninggalkan dia dan rencananya untuk bisa tinggal bersama istrinya.

"Anda tidak kembali ke rumah, Sir?" tanya Mr. Khan ketika melihat sang bos masih duduk di kursinya. Ini berbeda dengan kebiasaan beliau belakangan ini, dimana bosnya akan pulang saat jam kantor usai bahkan terkadang sebelum jam kantor usai.

"Apa aku harus pulang? Gimana kalo kita cuma bakal canggung kaya tadi pagi? Tell me, apa yang harus aku lakukan?" cerocos Troy kepada Mr. Khan yang tampak kebingungan.

"Maaf, maksudnya?" dengan ragu dan perlahan Mr. Khan bertanya.

"Ah aku lupa, kamu bahkan nggak punya pacar." kenyataan itu menyadarkan Troy, dia tidak mungkin mendapatkan solusi dari orang yang belum pernah mengalami hal yang dialaminya itu.

"Ambil cuti kamu, cari perempuan dan mulailah berkencan. Biar kamu tahu apa yang aku alami." Troy menambahkan, entah harus merasa jengkel atau kasihan kepada asistennya tersebut.

Siapa yang membuatnya sibuk bekerja bahkan setelah jam kerja usai? Siapa yang dengan entengnya meminta mengerjakan hal remeh disaat weekend sehingga dia tidak bisa bersenang-senang? Batin Mr. Khan.

Bukan bermaksud mengeluh tentang pekerjaannya, karena setiap detik waktu lemburnya akan dibayar, itu yang membuat seorang Mr. Khan betah melakukan pekerjaan ini. Tapi seriously, siapa yang akan berkencan dengan laki-laki yang sudah berusia 35 tahun yang bahkan belum memiliki pengalaman berkencan karen seluruh waktu yang dia miliki dihabiskan untuk mengabdi kepada keluarga Darren?

Setelah mengucapkan kalimat yang sedikit menyinggung perasaan Mr. Khan itu, Troy dengan lemasnya berjalan keluar ruangan. Dia mengabaikan asisten pribadinya yang masih mematung disana. Lalu kembali ke ruangan kantornya untuk meminta maaf.

"Maaf perkataanku terlalu kasar, aku terlalu galau. Tapi aku serius tentang kamu yang mengambil cuti. Aku tahu kamu sibuk bekerja sampai-sampai lupa membuat senang dirimu sendiri."

"No, Sir, anda benar. Saya tidak berpengalaman untuk memberikan anda solusi atas masalah anda." kata Mr. Khan. Tidak mungkin dia akan menyalahkan bosnya.

"Seminggu lagi, kamu bisa cuti. Satu bulan penuh kalau mau. Tapi susun jadwalku seringkas mungkin agar aku paham." kata Troy, dan kini berjalan keluar tanpa menunggu respon dari asistennya.

Chapitre suivant