Api unggun yang menghangatkan, iringan lagu yang di nyanyikan oleh mereka yang hadir dan keheningan malam yang menyejukan hati..
~ Ku jentikkan jemariku
~ Melantunkan sedikit nada berirama
~ Jika kau terus menemaniku
~ Ku akan terus bersamamu hingga penghujung usia
(Selalu-Rocketmary)
Tiara masih tidak mengerti kenapa Regar menyatakan perasaan padanya, saat hatinya sedang tidak menentu. Mata Regar yang mengharapkan jawaban dan Tiara yang masih butuh waktu untuk menjawab. Wajah Tiara yang memerah dan terus mengalihkan topik pembicaraan. Dia sangat canggung.
Tiara : "Kak, serius? Kok romantis banget? Kakak bisa romantis juga ya? Haha."
Regar : "Becandaku kelewatan ya? Haha.."
Tiara :"Ada-ada aja kakak ini.. Haha.."
Regar :"Kalau aku serius gimana??"
Tiara :"Sudah kak, jangan becanda terus deh.."
Regar :"Tiara, aku serius. Seribu rius.....!"
Tiara :"Emang ada seribu rius?? Haha."
Regar :"Gak percaya ya? Aku harus ngapain? Manjat pohon gitu?? Haha.."
Tiara :"Jangan kak, nanti jatuh.. Hahaha.. Hmm.. Kak...", saat Tiara ingin menjawab, telepon Regar berbunyi.
Tringgg!!
Tringgg!!
"Hm? Sebentar ya.. Aku jawab telepon dulu..", ucapnya pada Tiara.
"Halo?"
"Gar, ini ada polisi nyari Ketua Pelaksana acara disini. Aku alihkan ya!?"
"Berhubungan dengan apa?"
"Katanya ada kecelakaan. Nanti di jelasin sama mereka. Mereka lagi on the way kesini. Jawab dulu teleponnya, Gar."
"Oke."
"Halo, Selamat malam. Kami dari kepolisian jalur Mountana."
"Iya pak. Saya Regar Ketua Pelaksana dari Universitas BG. Kenapa ya pak?"
"Saya menginformasikan jalur kepulangan bagi semua tamu Mountana Village harus di undur hingga esok sore hari, di karenakan adanya kecelakaan yang baru saja terjadi. Kemungkinan pengendara berasal dari arah vila. Kami akan mengirimkan sejumlah personil untuk pengecekan."
"Hmmm. Baik, saya beritahu dulu ke Dosen Pembina dan kami akan memberikan nama serta jumlah mahasiswa saat ini, Pak."
"Oke. Personil kami akan segera kesana."
Klik.
"Tiara, kita tunda dulu ya."
"Kenapa kak? Telepon dari siapa emang?"
"Polisi.. Aku ke dosen dulu ya.. Ada kecelakaan di jalur kepulangan kita.. Nanti aku kabari lagi. Dahh.."
"Oke...."
---
Tiara berjalan kembali ke tenda perkemahan.
Dia melihat Ferdana yang duduk di depan kemah.
"Hei.", katanya menyapa Tiara.
"Dana.. Bisa ngobrol dulu berdua?"
"Kenapa, Yar?"
"Arumi sudah tidur?"
"Sudah. Tadi nangis mulu. Aku paham sih. Aku juga marah atas tindakan Jian. Harus di kasih pelajaran orang begitu."
"Dan.. Regar nembak aku.", katanya datar.
"Hahhhh??!!!!", Ferdana menunjukan rasa kaget dengan matanya yang melebar.
"Iya! Tadi aku kira, aku kepedean. Tapi, setelah dia banyak tanya soal kejadian hari ini, dia nembak aku. Apa maksudnya tiba-tiba nembak? Terus dia pergi gitu aja gara-gara telepon dari polisi katanya."
"Hahh..??? Jadi??"
"Yaa gitu. Tunda dulu jawabannya. Haha.. kocak deh.."
"Terus kamu mau gitu sama dia?"
"Nanti dia hubungin aku lagi. Hmm.. Katanya polisi di telepon tadi itu ngasih kabar kalau ada kecelakaan di jalur kepulangan kita besok.. Terus sekarang, yang buat aku cemas itu soal Dean. Aku bohongin dia.. Aku bilang nginap di rumah Arumi. Aku mau telepon dia deh Dan..."
"Tenang dulu, Yar.. Ini sudah mau jam dua belas. Kalau kamu telpon Dean sekarang, dia malah curiga kalau kamu sudah bohong ke dia."
"Tapi, perasaanku gak enak loh.. Perasaan takut gitu..? Kenapa ya..?", Tiara mengepal tangannya yang gemetar.
"Maksudnya takut gimana, Yar...??"
Ting..Ting..Ting..
Ting..Ting..Ting..
(suara telpon Tiara berbunyi)
"Sebentar, Dan.", Klik. "Halo?"
"Selamat malam. Apa anda keluarga dari Dean Ishskar?"
"Ya. Benar. Maaf ini siapa ya?"
"Ini dari kepolisian. Ada truk yang tergelincir akibat rem blong dan menjatuhkan beberapa drum berisi oli. Saat ini, korban atas nama Dean Ishskar sedang menuju ke Rumah Sakit Cita Medika."
"Wah, Pak. Saya gak percaya. Kakak saya gak mungkin keluar rumah. Ini bukan april mop pak.. Lagian, Bapak dapat nomer saya dari mana???"
"Kontak anda kami temukan di handphone milik Saudara Dean. Silakan datang ke kepolisian yang berada di jalur barat Mountana. Tas dan beberapa barang yang berada di mobil sudah kami amankan. Anda bisa melihatnya sendiri untuk memastikan."
"Pak? Serius?!! JANGAN BERCANDA. Kakak saya.. Kakak gak mungkin ada di Mountana, Pak!!!? Saya.. Saya.. Saya juga ada di Mountana.....", Tiara mengatakannya dengan sangat lantang, ia meneteskan air matanya. Ia tidak percaya apa yang di dengarnya, bahwa Dean berada di Mountana juga sebelumnya.
"Mohon tenang.. Kami akan mengirimkan personil untuk menjemput anda."
"..Terima..kasih..pak...hikss.."
Klik.
Ferdana yang panik dan cemas turut terkejut mendengarnya.
"..hikss..Danaa..Dan...hikk..hwaaa..Dean..dan..Dean!!?! Perasaanku gak enak.. Hiikss.. Memang terjadi sesuatu sama Dean, Danaa...Hiksss.. Hwaa..hukk..Hikss..", Tiara menangis kencang tanpa memperdulikan orang-orang melihatnya.
Ferdana memeluk dan menenangkannya. "Sudah sudah, tenang dulu. Tadi siapa yang telpon?", Ia melepaskan pelukannya.
"Polisi.. Hik.. Hiks.. Dean.. di bawa ambulan.. Perjalanan ke rumah sakit Cita Medika.. Hik..mobil dan perlengkapannya ada di kepolisian sektor barat di dekat sini..huu..hikss.."
"Terus polisi bilang apa lagii??"
"..Hikss..Mereka akan..menjemputku disini..hikss..hwaaa.. Danaaaa...!? Kenapa harus Dean...hwaaa.. Aku harus bagaimana.. Danaaa.. hwaaa..."
"Yara?", Arumi terbangun, keluar dari tenda dengan matanya yang sembab.
Tiara tidak bisa tenang. Lalu Ia mengatakan pada Arumi.
"Semua ini karena ide kamu! Dean..hiks..kecelakaan..miiii!! Kenapa aku harus bohong sama dia...hikss..hwaa...aku takuttt rumiiii!!!??"
Arumi yang bingung, segera memeluk Tiara. Dengan matanya yang tertuju ke Ferdana di belakang Tiara.
"Ada apa ini?", kata Dosen Pembina, Bapak Robert.
"Pak, sebentar lagi ada polisi yang menjemput Tiara. Kakaknya mengalami kecelakaan lalu lintas di jalur barat.", jelas Ferdana.
"Kok bisa?? Kita juga akan berkumpul sementara untuk mendata mahasiswa yang hadir saat ini. Tolong tenangkan Tiara. Saya sudah tau informasinya dari Ketua Panitia Pelaksana. Ada kecelakaan lalu lintas di jalur barat. Kami belum tau pasti siapa yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas tersebut. Menurut info, korban berasal dari arah Mountana.", kata Pak Robert menjelaskan.
"Baik pak, kami permisi dulu.. Saya harus menemani Tiara..", kata Ferdana.
"Saya juga pak.", sahut Arumi.
"Oke, kalian berdua kabari panitia kalau kembali ke sini."
"Baik, Pak.."
---
Dua puluh menit berlalu, polisi datang menjemput Tiara. Ia di temani oleh Arumi dan Ferdana. Mereka menuju rumah sakit. Sesampainya di depan ruang ICU, Tiara terus menangis tidak percaya bahwa kakaknya sudah terbaring lemas tidak berdaya dengan beberapa luka yang sangat parah.
"Deeeen.... Bangunnn... Hu...huu...hiksss....", Ia menangis meraung sesekali memukul jendela ruang ICU. Ferdana dan Arumi mencoba menenangkannya.
"Sudah.. Yara.. Kita berdoa semoga Dean gak kenapa-napa..", kata Arumi yang di lanjutkan oleh Ferdana, "Iya, Yar.. Kita berdoa semoga Dean setelah operasi segera sadar.. Tenang Yar.."
"Gimana aku bisa tenang..!?? Dean.. Lukanyaa.. Kalian baca sendiri gimana dokter minta aku tanda tangan untuk operasi tangannya! Bedah kepalanya! Kalian bayangin! Apa Dean bisa bertahan setelah ini?! Aku takut, Mi, Dan! Dia keluargaku! Kakakku!"
"Yar..", Arumi memeluknya dan menangis,"Sabar yara.. Tenang.. Aku ngerti, aku tau.. Ini salahku, maaf yar.. Tolong tenanglah.."
Tiara melepaskan pelukan Arumi, duduk meringkuk di kursi panjang rumah sakit. Tangisannya tidak berhenti. Dia juga takut untuk memberitahu orang tuanya. Akhirnya, Tiara tertidur di pangkuan Arumi setelah berjam-jam menangis. Mereka bergantian berjaga. Lebih dari dua belas jam operasi Dean.
"Yar.. Bangun, kita makan dulu ya? Dari semalam kamu belum makan. Ini sudah jam dua siang. Kalau kamu sakit nanti Dean gimana? Dia gak mau liat kamu sakit..", ujar Arumi mengelus pipi Tiara.
Tak lama..
"Keluarga Saudara Dean Ishskar ada disini?", tanya seorang Dokter yang keluar dari ruang operasi. Tiara segera berdiri dan mendatangi Dokter. "Ya, Dok! Saya adiknya. Gimana keadaannya Dok? Dean sudah sadar??!", katanya tergesa-gesa.
"Mohon maaf.. Saudara Dean belum sadar saat ini.. Karena trauma dan syok yang di alaminya. Kalian sudah boleh melihatnya setelah di pindahkan ke ruangan."
Setelah menunggu selama tiga puluh menit, Dean sudah di pindahkan ke ruangannya.
"Tiara, Aku dan Dana akan ke kembali Mountana mengambil barang-barang kita.", kata Arumi.
"Iya, mi.."
"Gak apa-apa kan ku tinggal dulu? Aku juga mampir dulu ke rumahmu untuk memberitahu asisten mamamu.. Kamu makan ya, tadi Dana sudah beli makan, ku taruh di meja.."
"Iya, mi.. Makasih.."
"Kita tinggal ya.."
Tiara menganggukan kepalanya, mengiyakan perkataan Arumi.
Dia yang sedang meratapi keadaan kakaknya, menyalahkan dirinya sendiri. Merasakan betapa sakitnya membohongi kakaknya. Wajah Dean yang bengkak, perban yang terbalut di kepalanya, tangannya yang patah dan beberapa luka di bagian tubuhnya. Tiara masih di samping kasur selalu berkata, "Den.. Bangun.. Maafin aku.. hiks..", dia pun berulang kali meminta maaf pada Dean. Matanya yang sembab, perutnya yang belum terisi makanan, membuatnya tertidur di sisi Dean.
di kehidupan yang paling di takutkan adalah kehilangan keluarga.
tapi, hal sangat menakutkan baru saja dimulai..