webnovel

REDCON 2 - D-Day

"Hore! Aku menang lagi!"

Sorak seorang wanita wanita kekanak-kanakan saat ia kembali memenangkan satu ronde pertarungan. Ia mengangkat joystick ke atas dan mengayunkannya ke kiri dan ke kanan sebagai selebrasi. Aksesoris telinga kelinci yang terpasang di rambut hitam pendeknya juga berkedut berkali-kali seolah telinga asli.

"Apakah ini sudah keseratus kalinya aku kalah?" Tanyaku dalam nada bosan. Jika ini game sepak bola mungkin aku sudah menang berkali-kali. Sayangnya, dia tidak suka game semacam itu.

Saat ini, di ruang tamu di rumah orang tuaku, aku dan kakak perempuanku sedang bermain game Dead or Alive di PS4. Walaupun sudah mempunyai apartemen kecil yang dekat dengan Markas SFGp di Kamp Narashino, aku terkadang menginap di rumah orang tuaku, beberapa alasannya karena aku tidak tenang tinggal sendirian, melihat dan mendengar hal yang seharusnya tidak ada. Aku juga tidak ingin ibu kesepian, apalagi kakak yang bekerja sebagai ilmuwan beberapa kali pergi keluar negeri untuk penelitian.

"Ayolah, Ha-kun! Apa Ha-kun nggak punya semangat untuk mengalahkanku?" Kakak menyeringai dengan sombongnya.

"Ogah...Aku sudah malas meladeni kakak karena sudah pasti kakak yang menang," Aku menghela nafas panjang sambil menyandar pada kaki sofa, melemaskan otot pundakku. Aku lalu memergokinya menyambungkan sebuah hard disk ke laptop dinasku. "Oh ya kak, Bisa nggak kakak berhenti memasukan file anime ke laptop-ku?"

Seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen, ia kemudian menyembunyikan hard disk itu di balik punggung.

"Owwh, nggak boleh ya?"

Jawabannya dengan polos. Amarahku sudah tak bisa dibendung lagi saat itu.

"Nggak boleh! Itu laptop khusus untuk bertugas! Bukan untuk macam-macam! Kamarku sudah penuh dengan barang-barangmu!" Ingin rasanya menggulungnya dengan tikar dan membuangnya keluar jendela. Mungkin hanya kakak yang dapat membuat aku meledak-ledak, keluar dari sifatku yang biasanya pendiam.

"Hehehe, janganlah marah-marah Ha-kun! Lagipula Ha-kun juga sering nonton anime setelah bekerja keras 'kan?"

Aku benci untuk mengakui kalau aku juga menyukai anime, berkat orang ini. Virus otaku memang sangat cepat menyebar, apalagi dari orang aneh sepertinya.

"Chisato-chan benar. Kamu memerlukan sesuatu untuk melepas penat."

Aku menatap ke arah kamar mandi, dimana seorang wanita paruh baya berparas ayu sedang mengeringkan rambut hitam panjangnya yang basah. Wanita itu adalah Shinohara Akira, ibu kami yang sangat penyayang.

"Dan aku dengar dari Kolonel Suzuki bahwa kamu akan ditugaskan kurang lebih setahun....Apa itu benar?" Tanya ibu sedikit khawatir.

Aku hanya mengangguk perlahan. Belum ada 6 bulan setelah aku kembali ke Jepang, mereka kembali mengirimku ke tempat antah berantah. Walau ibu nampak terlihat biasa saja, aku tahu benar ia ketakutan akan kemungkinan anak bungsunya pergi menyusul mendiang suaminya.

Aku sungguh tidak masalah jika aku mati di medan perang. Itu mungkin akan menghentikan suara dan bayangan mengerikan yang terus-menerus berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Mungkin kematian akan membuatku sedikit tenang, tapi....

"Jadi Ha-kun benar-benar akan pergi...."

Bisik kakak muram. Ia menggigit bibirnya. Aksesoris telinga kelinci juga ikut menunduk sedih. Aku mendengar ia sempat terisak, menahan dirinya untuk tidak menangis.

Aku dan kakak selalu bersama semenjak kecil sehingga aku mengerti semua tentangnya. Walaupun tingkahnya sering membuat aku jengkel, aku selalu menyayangi kakak. Kakak selalu khawatir saat aku bertugas, apalagi saat ini ia mendapat pekerjaan yang berhubungan dengan misiku. Ia tahu kemana aku akan pergi.

"Aku mengerti kakak akan kesepian lagi tapi...aku sudah diperintah. Itu pekerjaanku."

Aku mengelus belakang kepalanya. Kakak menoleh padaku, seperti seekor kelinci kecil yang akan dibuang tuannya. Aku merekah senyuman tulis padanya.

"Tugasku adalah melindungi semua orang di negara ini, termasuk kakak."

"Kalau begitu..." Perlahan kedua mata violet tersebut membalas tatapan mataku yang beriris serupa. "Sebelum Ha-kun pergi, biarkan aku mengalahkanmu di game favoritmu!"

Katanya sambil beranjak ke arah console, mengganti game yang kami mainkan dengan FIFA 20XX. Sifat periang dan menyebalkannya kembali lagi. Lebih baik kakak seperti ini, aku tidak tahan melihatnya bersedih.

"Huh! Takkan kubiarkan kakak menang!"

Tiba-tiba ibu menengok dari balik sofa. "Hajime-kun, Chisato-chan. Ibu juga mau ikut main."

"Ehhh?! Ibu juga?!" Seru Kakak terkejut. Aku segera menghidupkan joystick ketiga dan menyerahkannya pada ibu.

"Oke, ibu satu tim dengan aku, ya."

"Ha-kun curang! Masa aku dikeroyok!"Semenjak aku bergabung dengan Pasukan Bela Diri, waktuku bersama keluarga sangat terbatas. Aku jadi rindu dengan masa mudaku dimana hampir tiap hari aku membantu ibu di rumah dan berjalan-jalan mengantar kakak ke Akiba. Namun, aku sudah memilih jalan yang akan kulalui, yaitu bergabung dengan Pasukan Bela Diri. Sebagai pria aku harus terus menjalaninya, suka atau tidak, seperti yang Ayah katakan, walaupun aku sudah lupa alasanku menandatangani kontrak itu.Membuang semua pikiran tentang pekerjaan, aku kembali fokus pada game.

-----------------------------------------------

"Oi. Oi, Ha- Wand!"

Seruan dari Muse membangunkanku dari lamunan. Kedua mata safirnya menatap mataku dengan penasaran dan khawatir.

"Hmmm? Kenapa?"

"Tolong periksa parasutku," Pinta Muse. Aku mengangguk dan segera memeriksa parasut yang ia kenakan, mengencangkan tali yang kendor.

Setelah mengenakan kemeja tempur bersama kedua rekanku, Blade dan Muse memasang rompi anti peluru dan helm pasukan khusus. Setelah itu kami saling membantu satu sama lain memakai parasut utama dan cadangan yang kami gantung di punggung dan dada. Kami menggantung ransel dan kantong senjata di kaki sebab tidak ada tempat di punggung. Jalan kami menjadi lambat karena itu, tapi setidaknya banyak barang yang bisa kami bawa.

"Kenapa bro? Ngelamun?" Tanya teman masa kecil itu penasaran. Ia memutar tubuhnya membelakangiku agar aku dapat mengecek parasut utama di punggungnya.

Sambil memeriksa tali pengikat, aku menjawab pertanyaannya. "Enggak apa-apa. Cuma kepikiran satu hal."

"Masalah pribadi? Cewek atau keluarga? Oh ya, kamu masih pacaran sama Ayano?" Tanya Muse lagi, mengacu pada Kosaki Ayano, teman sekelas kami waktu SMA yang kini bekerja sebagai pengisi suara Anime. Muse bilang dia sudah menyimpan rasa padaku sejak lama, tapi aku tidak menyadarinya sampai 2 tahun yang lalu saat ia mengungkapkan perasaannya. Kami sempat tinggal bersama sampai....

"Udah putus. 8 bulan yang lalu waktu aku masih di Irak, dia sendiri mutusin lewat Line," Jawabku sambil menepuk pundaknya, menandakan aku sudah selesai mengecek. Ia membetulkan posisi ransel di pahanya, lalu nyeletuk.

"Kamu lemah syahwat sih," Inilah kenapa aku sering sebal jika berada di dekatnya.

"Siapa yang lemah syahwat, hah? Aku bisa tahan sampai 4 ronde," Aku membelalak kesal menatapnya. Namun, aku juga merasa lega Ayano mau sudahan denganku. "Tapi aku maklum dia mau putus. Nggak semua cewek tahan ditinggal berbulan-bulan seperti itu. Ini demi yang terbaik."

Jika seandainya tiba saatku meregang nyawa di medan perang, aku tidak ingin gadis itu merasa sedih. Ia harus terus meniti karirnya sampai puncak.

"Hmmm? Kamu nggak merasa kehilangan sama sekali? Nggak ada rasa galau?"

"Nggak.... Mungkin sebenarnya dari awal aku memang nggak pernah cinta sama dia. Dia yang nembak aku duluan."

Sementara kami berdua sibuk berbincang, Blade yang sudah berdiri di dekat pintu berteriak ke arah kami.

"Alright, schoolgirls, cukup ngegosipnya. Tumpangan kita sudah datang."

"Yes, sir!" Sorak kami secara bersamaan. Kami bertiga beranjak pergi meninggalkan gudang perlengkapan.

Setelah beberapa minggu menginap di Area 51, menjalani berbagai akhirnya hari yang kami tunggu-tunggu tiba. Kami akan di terbangkan ke dunia lain melalui gerhana yang akan terjadi di atas pesisir barat Amerika. AU AS telah mengamankan ruang udara di sana satu jam yang lalu. Karena operasi ini adalah sangat rahasia, kami harus merahasiakannya dari warga sipil, militer asing, atau bahkan musuh bebuyutan operator pasukan khusus seperti wartawan dan pers.

Kami bertiga menaiki pesawat C-130J Super Hercules yang akan membawa kami ke Area Operasi. Pesawat ini sudah di modifikasi agar tahan terhadap tekanan gaya tinggi dan gas tidak dikenal di atmosfer sana. Seharusnya kami menggunakan C-17 Globemaster III, pengganti Super Hercules dengan performa lebih tinggi. Namun anggaran kami hampir habis karena pembuatan satelit orbit dalam, peralatan canggih kami, dan penelitian portal buatan.

Dengan kata lain kami hanya mendapat 'sedikit' dana dari PBB karena mereka tidak begitu tertarik, bahkan ada yang tidak percaya pada itu. Jika kami berhasil mendarat, mereka pasti akan meningkatkan anggaran.

Nama tim ekspedisi kami adalah GREEN Task Force, singkatan dari 'Global REconnaissance ExpeditioNary'. Kami berada di bawah naungan Dewan Keamanan PBB dan seperti namanya, tugas utama kami adalah mengeksplorasi dan mengintai dunia baru. Aku anggota regu nomor 2 sehingga panggilanku adalah GREEN 2, sementara Blade dan Muse adalah GREEN 1 dan 3.

Kami bertiga duduk di kursi di bagian pinggir kabin. Aku hanya terdiam karena raungan mesin pesawat membuatku tak bisa mendengar apa, kecuali percakapan radio yang ada di headset-ku. Setelah menunggu beberapa saat, pesawat mulai bergerak ke landasan pacu.

"Regu GREEN, di sini Homebase, cek kelengkapan!"

Seorang perwira di menara ATC memerintah.

Aku cek semua perlengkapan sebelum memakai masker oksigen. Kami akan melompat dari ketinggian lebih dari 30.000 kaki di atas permukaan darat, jadi masker sangat diperlukan untuk menghindari dekompresi. Aku mengecek ulang masker supaya benar-benar berkerja.

"GREEN 1, siap!"

"GREEN 2, menunggu perintah!"

"GREEN 3, siap melompat ke neraka!"

"Semua unit telah melapor. Regu GREEN semoga berhasil!"

Kata perwira itu sebelum menghubungi pilot pesawat kami.

"Courier 2-6, disini Homebase. Diijinkan untuk lepas landas!"

"Disini Courier 2-6, roger that!"

Jawab si pilot. Syukurlah dia bukan orang yang seminggu lalu mengantarku ke Nevada.

"Tuan-tuan, nama saya Evan Wolcott. Hari ini, saya akan bertindak sebagai pilot anda dalam penerbangan ini."

"Dan aku co-pilot-mu, Deejay!"

Kutarik kata-kataku....

Kemudian aku mendengar seperti suara orang ditempeleng di radio.

"Shut the fuck up!"

"Definitely, sir...."

Evan berdehem lalu melanjutkan pengumumannya.

"Anda sekalian akan diterjunkan dari ketinggian tiga ratus kaki di atas permukaan laut, dan penerbangan diprediksi cukup berawan dengan turbulensi ringan. Jadi mohon kencangkan sabuk pengaman dan jangan meninggalkan kursi sebelum kita sampai di tujuan. Saya mengingatkan Anda bahwa ini adalah penerbangan bebas asap rokok. Dan seperti biasa, kantong muntah berada di bawah kursi Anda. Atas nama co-pilot Daniel Jackson dan awak yang bertugas kami ucapkan selamat menikmati penerbangan Anda bersama Courier 2-6 Airlines."

Kami tertawa kecil setelah mendengar pidato singkat itu.

Setelah pesawat berada di posisi sempurna untuk lepas landas, si pilot mulai menaikkan kecepatan. Keempat Mesin turboprop mendorong mesin terbang besar ini dengan kecepatan tinggi sampai lepas landas. Setelah naik beberapa kaki, roda pesawat dinaikkan dan pesawat menanjak lebih tinggi.

Aku menatap ke luar jendela dan melihat sebagian Benua Amerika Utara di bawah dan bentuk bumi mulai kelihatan melingkar. Jujur, aku tidak habis pikir bagaimana orang masih berpikir kalau bumi itu datar. Apa mereka bolos saat pelajaran Sains?

Setelah mencapai ketinggian tertinggi yang dapat dicapai Super Hercules, aku melihatnya...lubang berwarna hitam yang menganga di angkasa, di depan matahari yang ditutupi bulan.

"Ini dia tuan-tuan..." Aku mendengar suara Blade bicara. "Ini adalah satu langkah kecil bagi tiga orang pria, dan satu lompatan besar untuk umat manusia."

Pesawat kami lalu memasuki ke portal itu. Kami disambut oleh kegelapan selama beberapa menit. Aku tak dapat melihat apapun kecuali bentuk bayangan rekan satu tim. Pesawat yang kami tumpangi bergetar cukup kuat sampai aku harus memegang erat rel di atas.

Entah mengapa aku kembali merasa gugup, seperti misi pertamaku. Jariku mulai mengetuk-ngetuk tas ransel di pahaku, membentuk nada yang tak bisa kudengar karena raungan mesin pesawat. Pikiranku mulai cemas. Bagaimana jika kami terjebak di wormhole ini selamanya? Apa yang akan terjadi?

Setelah beberapa saat, turbulensi pesawat berhenti dan sinar cahaya kembali menyinari kabin. Aku bisa bernapas lega. Muse menepuk pundakku dan menunjuk ke luar jendela. Aku mengangguk dan melihat ke bawah pesawat.

Aku terkejut bukan main. Yang kulihat bukanlah dataran gurun Nevada yang gersang, melainkan sebuah dataran dengan hutan, padang rumput, dan gunung yang indah nan asri. Seperti sebuah dunia baru yang tidak terjamah.

Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Muse sendiri hanya bisa bersiul. Mulutnya bergerak seperti membuat kata-kata.

"Luar biasa..."

Beberapa saat kemudian, Evan mengontak pangkalan.

"Homebase, disini Courier 2-6. Masuk!"

"Disini Homebase, lanjutkan!"

"Kami telah melewati wormhole dan memasuki atmosfer zona pendaratan. Menurunkan ketinggian ke tiga puluh ribu kaki di atas permukaan laut, ganti?"

Sempat terjadi jeda sesaat sampai pangkalan menjawab.

"Dimengerti! Homebase ke Regu GREEN, lampu hijau! Bersiap untuk terjun!"

Setelah mendengar perintah itu, kami bertiga berdiri dan mengecek kembali perlengkapan.

"Status parasut...aman!"

Sesudah memeriksa parasut dilanjutkan dengan memeriksa masker oksigen.

"Status oksigen...aman!"

"Tuan-tuan, kita akan mencapai zona penurunan! Bersiap untuk melompat!"

Evan memberitahu kami sebelum menekan tombol untuk menurunkan pintu ramp. Perlahan ramp mulai turun sementara kami berdiri dan berjalan ke pinggirnya. Aku meletakkan kedua tangan di belakang box persediaan cadangan besar yang berada dalam kabin, mengambil ancang-ancang untuk mendorong box itu dan terjun. Kedua rekanku juga melakukan hal yang sama di sisi kiri dan kanan.

"Tugasku hanya mengantar kalian sampai sini. Setelah ini, terserah kalian! Semoga berhasil! Kami semua bergantung pada kalian!" Lanjut si pilot. Aku menurunkan visor kuning di helm dan mengangguk perlahan, walaupun aku tahu ia tak melihatku.

Beberapa saat setelah pintu ramp benar-benar terbuka, lampu berwarna merah yang berada di kabin berubah menjadi hijau.

"Go! Go! Go!"

Kami mendorong box itu dan melompat keluar.

Aku dapat merasakan angin kencang menerpa badan. Ku putar tubuhku agar bagian depan menghadap ke bawah. Blade dan Muse terjun bebas di sampingku. Kami saling menggenggam tangan satu sama lain agar tak terpisah terlalu jauh.

Setelah melewati awan tebal yang menghalangi pandangan, aku melihat dunia ini jauh lebih jelas.

Hutan dan padang rumput yang sangat luas berada tepat di bawahku. Pegunungan dan sungai yang indah mengelilingi dataran ini. Aku menoleh ke kanan dan melihat beberapa pemukiman penduduk asli. Dunia ini mungkin memang dihuni makhluk berintelijen seperti manusia, atau memang manusia.

Berikutnya aku melihat makhluk menyerupai naga dan griffin terbang rendah di antara pegunungan. Dunia ini tidak hentinya memberiku kejutan. Aku hanya berharap naga itu tidak menyemburkan apinya ke arahku dan membuatku jadi yakiniku.

Jika itu terjadi, mungkin tidak akan seburuk yang aku pikirkan....

"Kita sudah mencapai ketinggian 3000 kaki! Buka parasut!"

Kata Blade setelah melepaskan tanganku. Ia mencabut tali pembuka dan sesaat kemudian parasutnya mengembang. Aku dan Muse mencabut tali parasut kami secara bersamaan. Seharusnya aku merasakan hentakan kuat di seluruh tubuhku saat parasut terbuka dan menghentikanku terjun.

Namun, aku tak merasakan apapun. Parasutku gagal mengembang....

Chapitre suivant