webnovel

Reuni (4)

Pria beraura beruang tampak masih senang bercakap-cakap dengan Wataru.

"Aku jadi penasaran dengan tunanganmu yang menghebohkan suasana reuni ini," katanya sedikit antusian, "kudengar perempuan itu adalah cinta sejatimu, ya?", suaranya agak dibesarkan karena suara nyanyian dan tepuk tangan penonton begitu bergemuruh memenuhi ruangan.

"Kabar memang sangat cepat menyebar, ya? Benar. Aku sangat mencinta Merry-chan. Perempuan yang unik, sempurna bagiku."

"Aku jadi penasaran. Bukankah kau datang bersamanya? Di mana ia sekarang? Aku ingin menyapanya secara langsung. Perempuan seperti apa yang telah menaklukkan pria dingin sepertimu," pria itu menyapu pandangannya ke sekelilingnya.

Wataru ikut menyapukan pandangannya ke ruangan super besar itu, berusaha menebak-nebak ke mana gerangan si jelek itu berkeliaran. Jangan-jangan, ia sudah membuat masalah tanpa sepengetahuannya? atau dia kekenyangan di suatu tempat tanpa bisa bergerak?

"Aku akan mencarinya dulu. Ponselku ada padanya. Permisi."

"Baiklah. Aku sudah tak sabar ingin melihatnya. Segera temukan dia!" lelaki itu tertawa lepas.

Beberapa detik setelah kepergian Wataru menuju meja hidangan di seberang ruangan, perempuan yang bersama lelaki lawan bicara Sang Playboy tadi memberi isyarat untuk ke toilet, dibalasnya berupa anggukan pada sang wanita.

***

"Kenapa menatapku begitu?" Ishikawa terkekeh geli.

"U-Uesugi-san. Kita baru bertemu. Dan. Dan aku..." Misaki tak sanggup menyelesaikannya kata-katanya, noda di jas masih membandel.

"Aku tak menyangka kalau pribadi Akabane-san begitu menarik," matanya tertawa lembut, "apa ini sifat aslimu?"

"Eh? Hah? Aku ketahuan?" Misaki bicara pada dirinya sendiri, tampang bingungnya sangat menggemaskan.

Ishikawa tersenyum kembali.

"Di LIME, mereka mengatakan Akabane-san adalah ratu gothic dari dunia kegelapan," lelaki itu tertawa kecil sejenak, "mereka menilai Akabane-san terlalu kelewat batas. Tak sedingin dan sekejam ratu es atau semengerikan penyihir jahat, kok, menurutku."

"Apa?" muka Misaki memucat.

Jelek sekali dirinya di mata mereka itu!

Mengetahui hal ini, membuat Misaki goyah, nyaris kehilangan kekuatan untuk berdiri.

Selama ini, Misaki hanya fokus pada komentar positif dari pembacanya. Dan lupa melatih diri menghadapi komentar-komentar buruk, toh, hanya sedikit jumlahnya. Jadi ia mengabaikannya.

Detik ini, mengetahui dan mengalami langsung komentar serta perlakuan buruk semacam itu sangat tidak enak di hati. Sang playboy, mah, lain hal. Dia sudah terbiasa padanya, meski masih seperti lotere juga. Bikin kaget tiba-tiba.

Ishikawa langsung segera menolongnya, "kau tidak apa-apa? Maafkan aku."

"Ah... Ya. Terima kasih. Tidak apa-apa."

Pipinya merona. Tangannya melepas jemari lelaki itu dari sisi bahunya.

"Ternyata Akabane-san tak sekuat yang mereka katakan. Apa kau benar tunangan Miyamoto Wataru?" selidiknya.

"Kenapa Uesugi-san berkata demikian?" ia menghindari kontak mata.

Ishikawa tersenyum, bersandar pada dinding pembatas dekat kaca wastafel. Kedua tangannya terkulai lemas di sisinya, sebelah kakinya ditekuk.

"Dia bukan lelaki baik. Aku akui dia memang seorang dewa bisnis. Semua hal yang ia lakukan nyaris sempurna. Tapi, jika berurusan dengan perempuan? Ia terkenal sebagai sosok yang sangat brengs*k di antara para pria. Para wanita, sih, tak mempermasalahkan hal itu. Dengan latar belakangnya, siapa yang tak ingin mencicipi sedikit kemewahan Miyamoto Group? Ditambah lagi dengan wajah yang rupawan."

Misaki hanya diam saja.

"Apa kau mencintainya?" imbuh ishikawa, suaranya dalam dan serius.

Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia memandang lekat-lekat lelaki itu.

"Tak peduli dia seperti apa. Aku mencintai Wataru dengan setulus dan sepenuh hatiku. Dia memang bukan pria sebaik yang diduga oleh orang banyak. Tapi, aku bisa merasakan kalau ia adalah pria yang penuh dengan kebaikan dan kehangatan yang tersembunyi."

Hening.

"Dia..." ujar Ishikawa lambat-lambat, "... telah merebut wanita yang aku cintai di masa lalu."

Bola mata Misaki membesar, kaget.

"Dan membuangnya begitu saja seperti sampah. Chiako sampai nyaris ingin bunuh diri gara-gara lelaki bej*t itu," terlihat kepedihan dari raut wajah Ishikawa, lalu segera diganti dengan senyum ramah, "kau bisa terluka berhubungan dengan lelaki macam itu, Akabane-san."

"Maaf... Saya turut sedih mendengarnya. Saya tidak tahu harus berkata apa."

Lagi-lagi suasana kembali hening.

Ishikawa menegakkan badan. "Kalau kau tidak tahu harus berkata apa, apa kau bisa membantuku balas dendam padanya? Jadilah kekasihku."

"Apa?"

"Bercanda. Aku tunggu di luar, ya!" lelaki itu tersenyum jenaka, lalu berjalan keluar.

Senyum ramah dan keceriaan raib dari wajah Ishikawa begitu ia berhenti di depan dinding kaca hotel. Ingatannya akan wanita yang ia cintai menderita, membuat hatinya teriris.

Sekumpulan wanita berbondong-bondong memasuki toilet perempuan. Sudut mata Ishikawa menangkap pemandangan itu dari jauh. Perasaannya tidak enak. Ia menggeleng pelan. Mungkin gara-gara percakapannya tadi dengan Akabane-san.

***

BRAK!

Tubuh Misaki didorong begitu kuat hingga punggungnya menghantam pintu bilik toilet hingga berayun terbuka.

"Sa-sakit..." rintihnya, sebelah matanya menutup menahan rasa nyeri di punggungnya. Kedua tangannya menahan berat tubuhnya pada sisi-sisi pintu bilik toilet. Jas Ishikawa terjatuh ke lantai, dan terbenam oleh luapan air dari wastafel.

"Berani sekali kau tadi menghinaku di depan banyak orang. Apalagi di depan Wataru! Cari mati, ya!" kaki wanita itu menginjak perut Misaki.

Sakit yang tiba-tiba menyerangnya membuat kedua pegangannya lepas, tubuhnya jatuh ke lantai menubruk toilet di belakangnya.

"Kana! Jangan berlebihan! Kalau Miyamoto-san tahu, kita bisa celaka!" seorang perempuan bergaun hijau tampak gelisah.

"Kalau kau takut, kenapa ikut? Lagi pula, dia ini bukan tipe Wataru! Mana mau Wataru dengan tipe cewek kegelapan ini?" setelah berkoar galak pada perempuan bergaun hijau itu, ia menatap jijik penuh arogansi pada Misaki, "kau disewa berapa olehnya? Kau perempuan bayaran, kan? Kerjamu di klub mana? atau kau wanita bayaran kelas atas?"

Misaki tak menjawab, rasa sakit di tubuhnya masih membuatnya bergelung di lantai yang dingin.

Akhirnya! Perkataan Reiko terjadi! Bagaimana sekarang? Ia harus bertahan!

"KENAPA DIAM SAJA? KAU ANGGAP AKU APA?" Kana menjambak rambut Misaki hingga jepitannya lepas.

"Wataru tidak akan membiarkan ini," senyum menantang terpasang pada wajah Misaki.

Ia hanya menggertak, untungnya Kana termakan umpan itu. Padahal, Si playboy itu tak akan peduli jika ia disiksa demikian, toh, ia alergi pada tipe sepertinya. Benci dan jijik....

Kana melepas jambakannya. Ia tampak murka, wajah cantik perempuan itu kini seperti awan mendung yang siap mengeluarkan badai.

"Ambilkan aku air...!" perintahnya, tapi tak ada tanggapan dan ia pun berbalik kesal, "kenapa diam saja? BERIKAN AKU AIR! PAKAI OTAK, KALIAN! AMBIL JAS ITU DAN ISI AIR! CEPAT!"

Mereka yang mengikuti Kana tak bisa membantah, perempuan itu merupakan anak menteri yang masih menjabat. Kegundahan dan kebimbangan silih berganti di hati mereka, antara ketahuan Miyamoto dan menolak perintah anak menteri.

Tapi, desakan Kana saat ini lebih nyata, seseorang mengambil jas dan mulai menadahkan air dari wastafel.

"Kenapa kau lakukan ini?" Misaki berusaha bangkit, tapi Kana mendorongnya kembali ke lantai.

Dahinya membentur tepian toilet, bercak darah segar menghiasi kulitnya.

Kacamatanya terjatuh dan tak sengaja disenggol oleh tangannya sendiri hingga terpental ke lantai toilet sebelah.

"HENTIKAN! KALIAN INGIN MEMBUAT WATARU MURKA, YA?" ancam Misaki, ia bangkit dan mendorong Kana hingga menyenggol wanita yang menadah air.

Mereka berdua basah kuyup. Kana menjerit kesal. Ia berdiri dengan luapan amarah di dada, kemudian mencengkeram ujung belakang kepala Misaki, dalam sedetik segera mencelupkannya pada genangan wastafel.

"RASAKAN INI! AKU TIDAK PERCAYA KAU TUNANGAN WATARU! DARI SEGI MANA KAU CANTIK, HAH? KAU ITU JELEK! RIASANMU SAJA YANG BAGUS! RATU NERAKA SEPERTIMU SEBAIKNYA KEMBALI SAJA PADA TEMPAT ASALNYA! AIR INI AKAN MENUNJUKKAN WAJAH ASLIMU, DASAR PELAC*R!"

Misaki setengah mati melawan desakan kuat di belakang kepalanya, perempuan itu menenggelamkannya dengan kedua tangannya dengan sekuat tenaga, air sudah mulai masuk ke hidung dan mulutnya. Ia megap-megap di dalam genangan itu, kedua tangannya berusaha mendorong tubuhnya lepas dari wastafel, tapi sia-sia belaka.

"KANA! KAU BISA MEMBUNUHNYA!" perempuan berbaju hijau tadi memberi isyarat pada yang lainnya agar membantunya menghentikan tindakan gila itu, dan mereka pun kompak mulai menyerbunya.

"Kana! Jika ia benar-benar dicintai oleh Wataru. Riwayat kita semua bisa tamat! Kau tahu, kan, betapa dingin lelaki itu jika sudah bertindak?" perempuan berbaju asimetris menahan lengan Kana yang hendak meraih kembali kepala Misaki.

"AKU TIDAK PEDULI! DIA MEMPERMALUKANKU DI DEPAN BANYAK ORANG! DI DEPAN WATARU! LEPASKAN AKU! AKAN KUHANCURKAN WAJAH SOK ANGKUHNYA ITU!" Kana memberontak melawan kuncian rekan-rekannya, kakinya menyentak-nyentak keras ke arah Misaki.

Sadako mini maret itu kini terkulai lemas di lantai, penampilannya sangat berantakan. Napasnya pendek-pendek, pandangannya mulai gelap, dan telinganya berdenging.

Sekilas ingatan masa lalu yang tak diinginkannya terlintas di pikirannya.

Ia membeku.

Kejadian yang nyaris serupa. Sebuah kenangan samar-samar di toilet semasa SMA.

Apakah ingatannya mulai kembali perlahan sekarang?

Sejak awal tahun, ia mendapat kilasan-kilasan ingatan masa lalu yang cepat dan tidak begitu jelas. Seperti sebuah potongan-potongan mimpi saat bangun pagi hari atau de javu yang membuat kepala sakit memikirkannya.

"Kana! Kau tidak bilang akan sejauh ini! Jika aku tahu, aku tak akan mengikutimu! Keluargaku bisa hancur oleh lelaki itu!" dengan mata berkaca-kaca, perempuan yang paling pendek di antara lima orang itu berlari keluar dengan panik.

"PENGECUT! LEPASKAN AKU!" Kana mendorong teman-temannya ke belakang hingga menabrak tembok.

Mata Kana melirik tas genggam Misaki yang tergeletak di samping wastafel. Seringai jahatnya muncul.

Chapitre suivant