webnovel

Echoes Of Love|GAoW1| [29]

Kepala lagi mumet mikirin ini itu. Kerjaan pada numpuk. Pengen fokus dua-duanya tapi pasti ga punya waktu tidur:(

Happy reading!

________

Aiden membanting tubuh mungil Lova keatas kasur lalu mengurung tubuh kecil itu diantara kedua tangan kekar Aiden yang berada di masing-masing sisi kanan dan kiri. Tatapan tajam dan gelap milik Aiden terus menatap kedua bola mata milik Lova sehingga Lova mulai bergerak gelisah dengan kedua tangan yang menutupi dadanya yang tak tertutupi apa-apa karena Aiden sudah merobek satu-satunya penutup tubuhnya. Tidak. Untung nya ia masih mengenakan celana dalam. Oh..thank's God.

Aiden mendekatkan wajahnya perlahan sambil terus menatap Lova dengan tatapan tajam dan gelapnya.

"A-Apa yang anda lakukan?." Ucap Lova gugup sambil memalingkan wajahnya kesisi lain dengan cepat.

Aiden tidak menjawab dan masih terus menatap Lova dengan tatapan tajamnya dan itu semakin membuat Lova takut dan gugup. Tangan kanan Aiden menyisir anak rambut Lova kebelakang telinga kanan Lova dengan perlahan. Desiran aneh merayap keseluruh tubuh Lova secara tiba-tiba akibat sentuhan jari milik Aiden di permukaan kulitnya. Hanya jari nya saja dapat membuat tubuhnya meremang apalagi kalau bibir itu menjelajah ke setiap jengkal tubuhnya. Mungkin dia akan pingsan saat itu juga. Oh gosh..

"Hen--hentikan!." Ucap Lova panik.

"Apa yang aku lakukan salah, baby?." Tanya Aiden seraya menaikkan salah satu alisnya keatas.

Tangan kanan Aiden menyusuri garis wajah Lova perlahan melewati garis bahu lalu turun ke pinggang ramping milik Lova. Disitu ia menaik-turunkan tangan nya seperti gerakan mengelus. Damn! It's so sensual!.

"Bukankah kita seharusnya melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, baby?" Bisik Aiden tepat di telinga Lova lalu menyeringai senang.

Lova membulatkan kedua bola matanya lalu mendorong Aiden ke belakang karena terkejut dengan pertanyaan Aiden yang sukses membuatnya salah tingkah dan malu.

"I-ini tidak benar." Ucap Lova setelah berdiri dengan muka yang merah padam.

"Bukankah itu yang dilakukan sepasang suami istri setelah menikah?." Tanya Aiden sambil tidur menyamping menghadap Lova dengan tangan kanannya yang ia tekuk menopang kepalanya.

"Tapi tidak berlaku untuk kita!." Jawab Lova kesal sambil meletakkan kedua tangan nya di pinggang.

"Kita memang pasangan suami istri sekarang tapi kita terikat kontrak dan itu berarti kita tidak benar-benar pasangan suami istri." Ucap Lova dengan tegas dan penuh penekanan.

Aiden terkekeh senang sambil menatap Lova dengan tatapan menggoda. Sepertinya perkataan Lova hanyalah angin lalu baginya. Selama dia hidup, tidak ada yang berani memberinya sebuah perintah apalagi dari seorang wanita. Satu-satunya perintah yang dapat ia terima hanyalah dari Lana kecuali dari itu ia tidak akan pernah menurutinya.

Kendali dan kekuasaan akan selalu ada pada dirinya dan perkataan orang lain tidak akan pernah dapat menggoyahkan keinginannya. Saat ia menginginkan sesuatu maka hal itu harus ia dapatkan. Egois? Mungkin itu terdengar sangat egois untuk kalian tapi bagi Aiden. Itu adalah prinsip seorang pria yang sesungguhnya. Pria harus dapat tegas dalam memutuskan sesuatu.

I'm the Boss so i'm in power. You want to be close to me? so you have to follow my rules.

"Seperti bayangan ku selama ini." Ucap Aiden tiba-tiba.

"Apa yang sesuai bayanganmu?." Tanya Lova tidak mengerti dengan perkataan Aiden yang tak sesuai dengan topik yang sedang mereka bahas.

Aiden mengangkat salah satu sudut bibirnya keatas lalu memberi isyarat melalui mulutnya kearah payudara Lova yang terpampang dengan jelas.

Lova mengikuti arah pandangan Aiden lalu langsung menutup kedua payudara nya dengan cepat menggunakan kedua tangannya.

"You!! Pervert!." Teriak Lova malu lalu berlari ke kamar mandi.

Aiden tertawa senang melihat tingkah Lova yang lucu. Padahal dia hanya berniat menggoda Lova setelah membantunya membuka gaun sialan yang sempat membuat kemarahan nya naik selama pesta berlangsung. Bagaimana tidak? Tubuh mulus Lova yang belum pernah ia lihat sama sekali malah dilihat oleh orang banyak. Shit!

Aiden tahu kalau ide itu pasti berasal dari ibunya yang entah kenapa selalu punya ide gila tapi anehnya selalu sukses membuat darahnya langsung naik ke kepala. Mulai dari memaksanya berteman dengan anak temannya hingga tiba-tiba menjodohkan kami saat masih bocah. Gila bukan?.

Tapi tidak apa-apa. Apapun masalah itu bisa ia atasi dengan mudah. Kecuali kejadian waktu itu. Karena lemahnya Aiden saat itu membuat dia kehilangan bunga nya untuk selamanya. Jika saja waktu itu ia sudah memiliki kekuasaan mungkin sekarang ia sudah hidup bahagia bersama Rose.

Aiden merentangkan badannya diatas kasur lalu menutup kedua matanya.

'Rose. if you are still alive,I will believe that love exists and you will be my forever love.'

"Willi!."

Aiden mengerutkan keningnya tapi tetap memejamkan kedua matanya.

"Willi!!."

Rose? Ini suara Rose! Tapi tidak mungkin!

Aiden membuka matanya terkejut lalu langsung berdiri dengan kesadaran penuh.

"Katanya kau ingin membantuku menanam bunga mawar ini tapi kau malah tidur!."

Aiden mengerutkan dahinya bingung saat ia melihat seorang anak perempuan cantik dengan rambut yang dikepang dua. Lalu Aiden melihat sekelilingnya dengan heran.

Taman halaman belakang rumah?

Aiden kembali menatap anak perempuan itu lalu melihat tubuhnya sambil meraba tubuhnya dengan cemas lalu kembali menatap anak perempuan itu dengan tatapan heran.

Tubuhku mengecil? Dan siapa anak ini?.

"Kau sakit perut? Atau kau terkena demam?." Ucap anak perempuan itu seraya menyentuh dahi Aiden namun Aiden langsung mundur satu langkah.

"Kau siapa?." Tanya Aiden bingung.

"Apa kau berpura-pura amnesia karena tidak ingin membantuku menanam ini kan." Anak perempuan itu menghela napasnya lalu kembali duduk di depan sebuah pot bunga.

"Kalau kau tidak ingin membantuku cukup katakan tidak mau. Jangan bertingkah bodoh seperti ini." Ucap anak perempuan itu dengan nada kesal.

Aiden menggarut tengkuk nya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali lalu memperhatikan anak perempuan itu dengan seksama.

"Jangan pernah lupakan aku, Willi."

Tatapan mereka bertemu dan saat itu Aiden baru sadar bahwa anak perempuan yang ada dihadapannya adalah Rose. Sudah berapa lama ia tidak melihat wajah itu? 20 tahun? Atau lebih? Entahlah.

"Aku sedih kalau kau melupakan aku secepat itu."

"Aku tidak pernah melupakan mu."

"Tapi kau akan melupakan ku suatu hari nanti."

"Tidak akan pernah!."

"Kau janji?."

"Aku janji."

Anak perempuan itu tersenyum lega lalu berlari memeluk Aiden dengan sangat erat.

"Sejauh apapun aku pergi nanti tolong bawa aku kembali ya Willi."

"Pasti."

"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa lagi, Willi." Ucap anak perempuan itu sebelum berubah menjadi debu lalu menghilang.

"Rose! Jangan pergi! Rose!!." Aiden berteriak sambil mencari kesana kemari dengan gelisah.

"Rose! Jangan tinggalkan aku! Kita sudah berjanji kan tadi?."

"Rose please... show up."

"Rose!!!." Teriak Aiden putus asa.

"Aiden!! Kau kenapa?!."

Aiden tersentak dari tidurnya lalu menatap Lova dengan kedua mata nya yang sudah basah oleh air mata.

"Apakah kau bermimpi buruk hem?." Tanya Lova khawatir karena Aiden yang terlihat seperti ketakutan.

"Aku ambilkan minum ya?." Tanya Lova kembali.

"Aiden?." Panggil Lova dengan lembut.

"Shut up bitch!." Teriak Aiden kesal lalu pergi keluar dari kamar.

Lova tersentak karena terkejut. Sekujur tubuhnya langsung bergetar namun ia berusaha mengatasinya. Dengan perlahan ia memberanikan diri untuk menatap punggung Aiden yang perlahan menjauh.

"Malam ini aku akan tidur di ruang kerja jadi tidak usah menunggu hal yang tak akan pernah terjadi." Ucap Aiden sebelum benar-benar keluar dari kamar.

Setetes air mata jatuh keatas pipi Lova. Kedua tangan nya ia gunakan untuk menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apapun. Jangan sampai orang tua Aiden tahu kalau mereka menikah hanya untuk saling menyakiti.

__________

To be countinous

Chapitre suivant