webnovel

Mendapat Pengawal Pribadi

Makan malam itu terasa sangat romantis, bukan hanya karena makanannya yang istimewa, tetapi pemandangan dari Singapore Flyer yang tinggi membuat mereka dapat melihat Singapura dengan gemerlap lampu-lampunya yang cantik. Ini seperti pengalaman makan di angkasa.

"Ini pengalaman yang menakjubkan..." bisik Finland, "Terima kasih."

"You're welcome. Aku sudah bosan makan di tempat-tempat romantis begini sendirian," jawab Caspar sambil tersenyum. "Aku senang sekarang ada kau yang bisa menemaniku."

Finland bisa membayangkan makan sendirian pasti tidak menyenangkan.

"Kau tidak pernah bersama perempuan lain? Selain Katia maksudku..."

Caspar tahu ini pertanyaan jebakan setiap perempuan. Ia hanya tersenyum dan menolak menjawab.

"Kenapa senyum saja? Ayo jawab pertanyaanku."

"Kau mau sampanye lagi?" tanya Caspar sambil mengangkat botol sampanye di meja. Dengan sedikit menggerutu Finland mengangguk. Ia tak akan membiarkan sampanye mahal terbuang sia-sia. Caspar menuangkan sampanye hingga penuh ke gelas gadis itu dan bertanya dengan nada menggoda, "Apa tadi pertanyaanmu?"

"Dalam hidupmu yang begini panjang, sudah berapa banyak perempuan yang bersamamu?" tanya Finland, kali ini dengan lebih spesifik.

Caspar menggeleng sambil tersenyum lebar.

"Dalam hidupku yang begini panjang, aku sudah tahu bahwa menjawab pertanyaan seperti itu sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan perempuan 'Apakah aku kelihatan gemuk?', tidak akan ada jawaban yang memuaskan." Caspar meneguk habis sampanye di gelasnya, "Jadi aku menolak menjawab."

"Ben bilang kau punya banyak wanita..." kata Finland kemudian. Ia ingat perkataan Ben di mobil waktu itu, bahwa Caspar punya banyak wanita dan tidak terhitung banyaknya perempuan yang mau menikah dengannya.

Caspar memencet sebuah nomor telepon di ponselnya dan berbicara singkat, "Stanis, tolong hapus bonus untuk Ben yang kuminta kemarin. Aku berubah pikiran."

Ia meletakkan ponselnya di meja dan menuang sampanye lagi.

"Ben bilang begitu?"

Finland masih terkesiap saat mendengar Caspar menelepon Stanis untuk membatalkan bonus Ben dan ia tidak mampu menjawab.

Aduh...

"Dia tidak bermaksud buruk kok, aku yang memaksa dia untuk cerita, waktu itu kau baru menyatakan cinta di penthouse, waktu aku bolos kerja satu hari. Aku kesal karena kau tahu banyak informasi tentangku dan aku tidak tahu apa-apa tentangmu, jadi di perjalanan aku banyak tanya Ben. Aku tanya dia apakah kau punya kekasih di setiap benua. Dia bilang kau punya banyak wanita dan begitu banyak perempuan yang mau menikah denganmu, tetapi kau bukan orang seperti itu. Dia bilang orang sepertimu dan keluargamu sangat pemilih. Kalian tidak gampang jatuh cinta." Finland buru-buru menjelaskan, ia tak tega melihat Ben kehilangan bonus karena dirinya.

Caspar memencet telponnya lagi, "Stanis, batalkan perintahku yang tadi. Kau tambahkan bonus untuk Ben 50%."

Finland mendesah lega.

"Oke, jadi kalau aku bertanya tentang sudah berapa perempuan yang bersamamu, aku tidak akan mendapat jawaban yang memuaskan," kata Finland mengambil kesimpulan.

"Benar. Sebaiknya kau ganti pertanyaannya dengan yang lebih positif. Misalnya apakah aku pernah jatuh cinta seperti ini dengan seorang perempuan? Aku akan menjawab tidak pernah. Kau juga bisa bertanya, apakah aku akan mencintai perempuan lain seperti aku mencintaimu, aku juga akan menjawab, 'tidak akan'." Caspar menarik tangan Finland dan menggenggam keduanya dengan tangannya sendiri. "Atau kau bisa bertanya, apakah aku mau menikah dan punya anak denganmu... aku akan menjawab, 'dengan sepenuh hati.'"

"Kau..." Finland kehabisan kata-kata.

"Sekarang bagaimana kalau aku yang bertanya," Caspar mendekatkan wajahnya ke wajah Finland, "Apakah kau sudah yakin dengan perasaanmu? Apakah kau mau menikah denganku dan menjadi ibu dari anak-anakku? Apakah kau mau berbagi hidup selamanya denganku?"

Semuanya pertanyaan berat yang masih hendak dihindari Finland.

"Kau bilang mau menunggu... kenapa mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sekarang?" tanya Finland dengan suara serak.

"Aku akan menjawab pertanyaan sulit darimu, kalau kau mau menjawab pertanyaan sulit dariku. Itu baru adil." jawab Caspar. "Untuk apa aku membuka rahasia hidupku dan menjawab sudah berapa banyak perempuan yang bersamaku, kalau kau ternyata tidak menjadi istriku."

Finland memutar matanya tidak puas, tetapi ia tahu bahwa Caspar memang benar.

"Baiklah... aku tidak akan bertanya lagi."

"Satu hal yang kau perlu tahu... aku sangat jago memasak karena aku sudah menyempurnakan teknik memasak selama ratusan tahun aku hidup. Aku juga bisa melakukan operasi sambil tutup mata karena aku sudah puluhan tahun menjadi dokter bedah, aku juga jago melukis karena latihan cukup lama. Ada begitu banyak kemampuan yang kulatih selama berabad-abad... karena aku telah hidup sangat lama dan bertemu sangat banyak orang...." Caspar tersenyum sangat nakal. "Kau yang akan memperoleh manfaatnya nanti."

Finland tampak tidak mengerti, dan itu membuat Caspar tambah gemas. Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal. Finland mengangkat bahu, tidak mengerti apa yang lucu.

Caspar lalu menghabiskan wine di gelasnya dan bangkit berdiri. Ia menarik tangan Finland dan mengajaknya melihat pemandangan kota dari jendela. Gadis itu berdiri menghadap jendela dan Caspar memeluknya dari belakang.

"Aku masih tidak mengerti," kata Finland 5 menit kemudian. Ternyata ia masih memikirkan ucapan Caspar tadi tentang kemampuan yang dilatihnya selama berabad-abad dan Finland yang akan memperoleh manfaatnya...

"Sudah, tidak usah dipikirkan." Caspar berbisik di telinganya. "Nikmati saja pemandangan cantik ini."

"Uhm... oke."

Mereka pulang ke rumah saat hampir tengah malam. Finland sangat mengantuk karena minum wine kebanyakan dan Caspar harus membopongnya ke paviliun karena gadis itu hampir tak bisa berjalan.

Keesokan paginya mereka kembali sarapan bersama seperti biasa. Caspar harus pergi keluar negeri selama seminggu dan ia membawa Ben bersamanya.

"Aku ada urusan di Jerman. Kau baik-baik saja di sini ya. Aku akan menelepon setiap hari. Ben ikut denganku, nanti salah satu pengawalku yang akan mengantarjemputmu."

"Eh?" Finland mengangkat alisnya penuh pertanyaan, "Pengawalmu mengantar dan menjemput aku? Buat apa?"

"Untuk memberiku ketenangan batin." jawab Caspar sambil menghabiskan tehnya. "Aku tidak mau kehilangan fokus bekerja karena memikirkan keselamatanmu di Singapura."

"Uhm.. oke." Finland mengangkat bahu. "Kalau itu yang kauinginkan."

Finland senang karena dia bisa menghemat ongkos bus. Caspar menolaknya membayar biaya sewa paviliun setelah Finland mengetahui bahwa Rose Mansion adalah miliknya, dan bahkan mengembalikan uang sewa yang telah dibayarkan Finland selama dua bulan sebelumnya. Ia juga sekarang sarapan dan makan malam bersama Caspar di rumah utama. Sejauh ini Finland belum mengeluarkan uang sama sekali. Ia juga tidak perlu membayar ongkos bus karena Ben hampir selalu mengantarnya.

"Aku berangkat dulu." Finland menyudahi sarapannya dan hendak beranjak. "Jam berapa kau ke bandara?"

"Beberapa jam lagi," jawab Caspar. "Kau tidak akan memberiku ciuman selamat tinggal karena kita tidak akan bertemu selama satu minggu?"

Finland mendesah pelan. Pipinya memerah saat ia melihat sekeliling mereka. Ms. Law dan Katrin tidak nampak di mana pun, John juga tidak. Sepertinya mereka mengerti untuk memberikan kedua orang muda ini privasi.

Finland berjingkat ke samping Caspar dan mencium pipinya satu kali.

"Aku perlu ciuman untuk tujuh hari. Barusan tidak cukup." omel Caspar dengan nada tidak sabar. Ia menarik Finland untuk duduk ke pangkuannya dan memeluk gadis itu erat, "Biarkan aku memelukmu sebentar ya... Aku sudah berjanji tidak akan menggunakan aksesku untuk stalking dirimu. Kau tidak tahu betapa beratnya mengabulkan permintaanmu itu."

Finland ingat bahwa ia pernah meminta Caspar untuk berlaku seperti laki-laki normal dan tidak menguntitnya dengan akses informasi tanpa batas yang dimiliki pemuda itu. Rupanya Caspar masih ingat.

Benar, Finland merasa tidak nyaman saat membayangkan Caspar bisa mengetahui segala gerak-geriknya. Kini ia lega karena Caspar bisa memegang janji.

"Aku janji akan rajin menghubungi..." kata Finland menenangkan. "Aku akan baik-baik saja di sini."

"Sering-sering kirim foto." kata Caspar dengan suara serak.

Finland mengerutkan keningnya keheranan. Pemuda di depannya ini bertingkah seolah mereka akan berpisah bertahun-tahun.

"Iya... iya.. " Finland menggeleng-geleng, "Aku janji. Sudah dong, jangan seperti ini. Kau tidak malu kalau dilihat Ben?"

Tepat saat itu terdengar suara batuk Ben dari pintu.

"Maaf, Tuan. Jadeith sudah datang untuk menjemput Miss Finland," katanya dengan suara hampir berbisik.

Ternyata Caspar sama sekali tidak malu dilihat Ben seperti ini. Ia makin mengeratkan pelukannya dan menepuk-nepuk tangan Finland dengan lembut.

"Kau jangan terlalu capek bekerja. Ikuti saran Jean untuk belajar bersenang-senang menikmati hidup. Sering-sering kasih kabar. Jerman berada 7 jam di belakang Singapura, tapi kau bisa menghubungiku kapan saja. Kalau ada hal yang mendesak dan kau tidak bisa menghubungiku, kau bisa hubungi Stanis." Ia mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan menyerahkan kepada Finland.

"Baiklah. Terima kasih. Aku pergi dulu."

Finland sebenarnya merasa sangat tersentuh. Belum pernah ada orang yang sedemikian sayang kepadanya hingga memperlakukannya seperti ini. Karena takut airmatanya menetes dan Caspar melihatnya terharu, Finland buru-buru melepaskan diri dari dekapan Caspar dan mencium bibirnya, kemudian berlari pergi.

Caspar terkesima melihat Finland menciumnya begitu cepat dan kabur. Ia kemudian hanya bisa menggeleng-geleng kepala dan menyentuh bibirnya. Hmm.. setidaknya hari ini Finland yang berinisiatif menciumnya. Hal ini membuatnya sangat senang.

Ben membawa Finland ke halaman Rose Mansion dan di sana sudah ada sebuah mobil Rolls Royce hitam yang menunggunya. Seorang pria berusia 30-an dengan rambut ikal yang dikuncir ala hipster keluar dari mobil dan menyambutnya dengan membungkuk hormat. Wajahnya tampan seperti bintang film action dan kemeja birunya yang pas di badan menunjukkan tubuh yang kekar dengan otot-otot tersembunyi. Saat ia melepas kacamata hitamnya, Finland dapat melihat sepasang mata hijau seperti zamrud yang indah sekali.

"Ini siapa?" tanya Finland keheranan.

"Selamat pagi, Nyonya. Saya Jadeith, pengawal Anda." Pria itu membungkuk dengan hormat sekali lagi.

"Nyonya? Aku masih Nona..." sergah Finland cepat. "Kau pengawalku? Uhm... sampai kapan?"

"Saya ditugasi mengawal Anda selama tuan di luar negeri. Tenang saja, saya tahu Anda tidak suka diikuti. Saya akan mengawal secara diam-diam. Tugas saya sementara hanya mengantar dan jemput Anda." Ia mengeluarkan ponselnya dari saku lalu menelepon suatu nomor.

Riiingg...

Ponsel di tas Finland berbunyi. Rupaya Jadeith meneleponnya.

"Itu nomor saya. Anda bisa menghubungi saya kapan saja."

Finland terkesima. Mungkin begini rasanya hidup seperti Caspar... punya pengawal pribadi dan diantar jemput dengan mobil mewah...

Not bad...

"Baiklah.. kalau begitu kau antar aku ke tempat kerja, tapi..."

"Tapi saya harus menurunkan Nyonya di taman satu blok dari Menara Suntec, saya mengerti.." kata Jadeith cepat.

"Nona."

"Baik, Nyonya."

Akhirnya Finland menyerah. Ia tidak lagi mengoreksi setiap kali Jadeith memanggilnya nyonya. Ia melambai kepada Ben lalu masuk ke mobil dan berangkat kerja.

Di dalam mobil ia cepat-cepat menghapus airmatanya dengan punggung tangannya.

Tanpa menoleh Jadeith mengulurkan sapu tangan kepada Finland di kursi belakang.

"Te.. Terima kasih.." kata Finland tergagap.

"Tuan yang suruh saya siapkan sapu tangan. Di kabinet sebelah kiri Nyonya juga ada minuman."

Finland terkesima mendengar kata-kata Jadeith. Ia menatap sapu tangan di tangannya dan melihat sulaman huruf 'C' di sudutnya.

Tak terasa airmatanya justru menetes tambah deras.

Chapitre suivant